Hukum Haji Menggunakan Dana Talangan
Jum'at, 17 Mei 2024 - 17:45 WIB
Hukum haji menggunakan dana talangan adalah mubah, demikian fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di sisi lain, simposium Perhajian Indonesia Tahun 2022 mengeluarkan rekomendasi larangan penggunaan dana talangan haji karena mengakibatkan antrean haji semakin panjang.
Fatwa MUI yang diputuskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) X tahun 2020 menyebut pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat bukan utang ribawi dan orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.
Sementara itu, Fatwa Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjelaskan pada dasarnya, naik haji itu tidak wajib hukumnya atas orang yang belum mempunyai isthitha’ah (kemampuan).
Allah SWT berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [ QS Ali Imran, 3 : 97].
Orang yang memakai jasa talangan haji belum bisa dikategorikan sebagai orang yang isthitha’ah. Sebab ia memaksakan diri dengan mencari pinjaman atau berutang kepada pihak lain. Dengan memakai dana talangan haji dikhawatirkan akan menyusahkan dirinya sendiri. Memang dengan dana talangan haji terdapat kebaikan, namun kemudaratannya juga tidak sedikit.
Dalam kaidah usul fikih ditegaskan bahwa lebih baik menghindari kemudaratan daripada mendatangkan kemanfaatan. Bahkan umat Islam diperintahkan agar waspada terhadap setiap potensi kemudaratan (sadd al-dzariah).
Karenanya, dalam Fatwa Tarjih disebutkan bahwa jika seseorang belum mempunyai biaya, maka tidak wajib hukumnya menunaikan ibadah haji. Tidak perlu berutang hanya karena untuk mengerjakan sesuatu yang belum menjadi kewajiban. Lebih baik menabung agar jika kelak Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk pergi ke Baitullah, kita dapat beribadah dengan batin yang lebih tenang, tentram, dan khusyuk.
Fatwa MUI yang diputuskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) X tahun 2020 menyebut pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat bukan utang ribawi dan orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.
Sementara itu, Fatwa Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjelaskan pada dasarnya, naik haji itu tidak wajib hukumnya atas orang yang belum mempunyai isthitha’ah (kemampuan).
Allah SWT berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [ QS Ali Imran, 3 : 97].
Orang yang memakai jasa talangan haji belum bisa dikategorikan sebagai orang yang isthitha’ah. Sebab ia memaksakan diri dengan mencari pinjaman atau berutang kepada pihak lain. Dengan memakai dana talangan haji dikhawatirkan akan menyusahkan dirinya sendiri. Memang dengan dana talangan haji terdapat kebaikan, namun kemudaratannya juga tidak sedikit.
Dalam kaidah usul fikih ditegaskan bahwa lebih baik menghindari kemudaratan daripada mendatangkan kemanfaatan. Bahkan umat Islam diperintahkan agar waspada terhadap setiap potensi kemudaratan (sadd al-dzariah).
Karenanya, dalam Fatwa Tarjih disebutkan bahwa jika seseorang belum mempunyai biaya, maka tidak wajib hukumnya menunaikan ibadah haji. Tidak perlu berutang hanya karena untuk mengerjakan sesuatu yang belum menjadi kewajiban. Lebih baik menabung agar jika kelak Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk pergi ke Baitullah, kita dapat beribadah dengan batin yang lebih tenang, tentram, dan khusyuk.
(mhy)