Kurban Wajib bagi yang Mampu: Begini Dalil Ulama yang Berpendapat Sunah
Kamis, 06 Juni 2024 - 15:22 WIB
Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dalam kitab Ahkaamu Al-‘iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah yang diterjemahkan Ummu Ishaq Zulfa Husein menjadi "Hari Raya Bersama Rasulullah" menjelaskan ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban .
Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih kurban hukumnya sunah adalah sabda Nabi Muhammad SAW .
“Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya”.[HR Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa’i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220)]
Mereka berkata: “Dalam hadis ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ….” , seandainya wajib tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah) seseorang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al-Fatawa telah membantah syubhat ini setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya.
“Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Siapa yang ingin menyembelih kurban …..” Mereka Berkata : “Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah (kehendak/keinginan)!”
Ini merupakan ucapan yang global, karena kewajiban tidak disandarkan kepada keinginan hamba maka dikatakan: “Jika engkau mau lakukanlah”, tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum yang ada.
Seperti firman Allah :
“Apabila kalian hendak mengerjakan salat maka basuhlah ….” [ QS al-Maidah/5 : 6]
Dikatakan: Jika kalian ingin salat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur’an maka berta’awudzlah (mintalah perlindungan kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur’an (Al-Fatihah) di dalam salat itu wajib.
Dalam ayat ini Allah berfirman :
“Al-Qur’an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus” [ QS at-Takwir /81 : 27-28]
Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istikamah itu wajib”.
Kemudian Ibnu Taimiyah berkata: Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata: “Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ….. “
Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda Rasulullah: “Siapa yang ingin menyembelih kurban ...” sama halnya dengan sabda beliau : “Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ……..”
Imam Al-‘Aini telah memberikan jawaban atas dalil mereka yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab “Al-Hadayah” yang berbunyi : “Yang dimaksudkan dengan iradah (keinginan/kehendak) dalam hadis yang diriwayatkan -wallahu a’lam- adalah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya -pent)”.
Al-‘Aini menjelaskan:“Yakni: Tidaklah yang dimaksudkan takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : “Siapa yang bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian”, dan ini tidak menunjukkan dinafikkannya kewajiban, sebagaimana sabdanya:
“Siapa yang ingin salat maka hendaklah ia berwudlu“
Dan sabda beliau.
“Siapa diantara kalian ingin menunaikan salat Jum’at maka hendaklah ia mandi“ [Diriwayatkan dengan lafaz ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor (877), 9894) dan (919)]
Yakni siapa yang bermaksud salat Jum’at, (jadi) bukanlah takhyir ….
Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana diriwayatkan dalam “Sunan Abi Daud” (2810), “Sunan At-Tirmidzi” (1574) dan “Musnad Ahmad” (3/356) dengan sanad yang sahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.
Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.
Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih kurban hukumnya sunah adalah sabda Nabi Muhammad SAW .
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya”.[HR Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa’i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220)]
Mereka berkata: “Dalam hadis ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ….” , seandainya wajib tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah) seseorang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al-Fatawa telah membantah syubhat ini setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya.
“Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Siapa yang ingin menyembelih kurban …..” Mereka Berkata : “Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah (kehendak/keinginan)!”
Ini merupakan ucapan yang global, karena kewajiban tidak disandarkan kepada keinginan hamba maka dikatakan: “Jika engkau mau lakukanlah”, tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum yang ada.
Seperti firman Allah :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
“Apabila kalian hendak mengerjakan salat maka basuhlah ….” [ QS al-Maidah/5 : 6]
Dikatakan: Jika kalian ingin salat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur’an maka berta’awudzlah (mintalah perlindungan kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur’an (Al-Fatihah) di dalam salat itu wajib.
Dalam ayat ini Allah berfirman :
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ﴿٢٧﴾لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
“Al-Qur’an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus” [ QS at-Takwir /81 : 27-28]
Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istikamah itu wajib”.
Kemudian Ibnu Taimiyah berkata: Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata: “Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ….. “
Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda Rasulullah: “Siapa yang ingin menyembelih kurban ...” sama halnya dengan sabda beliau : “Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ……..”
Imam Al-‘Aini telah memberikan jawaban atas dalil mereka yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab “Al-Hadayah” yang berbunyi : “Yang dimaksudkan dengan iradah (keinginan/kehendak) dalam hadis yang diriwayatkan -wallahu a’lam- adalah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya -pent)”.
Al-‘Aini menjelaskan:“Yakni: Tidaklah yang dimaksudkan takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : “Siapa yang bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian”, dan ini tidak menunjukkan dinafikkannya kewajiban, sebagaimana sabdanya:
“Siapa yang ingin salat maka hendaklah ia berwudlu“
Dan sabda beliau.
“Siapa diantara kalian ingin menunaikan salat Jum’at maka hendaklah ia mandi“ [Diriwayatkan dengan lafaz ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor (877), 9894) dan (919)]
Yakni siapa yang bermaksud salat Jum’at, (jadi) bukanlah takhyir ….
Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana diriwayatkan dalam “Sunan Abi Daud” (2810), “Sunan At-Tirmidzi” (1574) dan “Musnad Ahmad” (3/356) dengan sanad yang sahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.
Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.
(mhy)