Kisah Politik Islam yang Terpecah saat Byzantium Mempersatukan Eropa
Jum'at, 26 Juli 2024 - 10:43 WIB
Menjelang Perang Salib I, semangat persatuan di negara-negara Kristen Eropa sedang tumbuh. Sebaliknya, umat Islam dalam keadaan tidak adanya persatuan. Hubungan antara pemerintahan Islam tengah renggang-renggangnya.
Finbarr B Flood dan Gulru Necipoglu dalam bukunya berjudul "A Companion to Islamic Art and Architecture" (Oxford: John Wiley and Sons Inc., 2017) memaparkan Turki Seljuk memang muncul sebagai kekuatan di utara; dan di Irak, Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad hanyalah sebuah simbol keislaman.
"Latar belakang sejarah ketiga dinasti; Kekhalifahan Abbasiyah, Kekhalifahan Fatimiyah, dan Dinasti Turki Seljuk juga tidak harmonis," tuturnya.
Sejarah antara ketiganya sangat rumit. Kekhalifahan Fatimiyah dibangun atas sebuah kekecewaan terhadap pendirian Kekhalifahan Abbasiyah, karena mereka berpendapat keturunan Ali (Manshur al-Hakim bi-Amrillah)-lah yang pantas memimpin dan menjadi khalifah dalam dunia Islam, dan bukan keturunan Bani Abbas.
Kekhalifahan Fatimiyah beraliran Syiah , sedangkan Abbasiyah beraliran Suni. Kekhalifahan Abbasiyah dengan Turki Seljuk juga tidak harmonis karena Turki Seljuk yang dulunya hanya sebagai tentara dari Kekhalifahan Abbasiyah kini tampil sebagai pemimpin, dan Kekhalifahan Abbasiyah sendiri sebagai bawahannya.
Turki Seljuk juga tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Kekhalifahan Fatimiyah karena selalu bersaing dalam menentukan posisi terkuat di dunia Islam.
Kekhalifahan Fatimiyah berhasil menjadi yang terkuat karena berhasil menaklukkan Syam dan juga memasukkan dua kota suci, Makkah dan Madinah, sebagai wilayah kekuasaannya.
Keadaan politik yang tidak stabil, serta persaingan yang tidak sehat menjadikan kekuatan Islam tidak mengetahui bahwa di Eropa sedang dibangun kekuatan yang luar biasa untuk merebut Yerusalem kembali dan mendirikan kerajaan surga di Yerusalem.
Deklarasi Perang Salib
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" memaparkan fakta sejarah menunjukkan bahwa Perang Salib terjadi karena adanya seruan dari Paus Urbanus II pada tahun 1095 untuk merebut Yerusalem dari kekuasaan Islam.
Deklarasi Paus Urbanus dilatarbelakangi oleh permintaan Raja Byzantium Alexios I Komnenos untuk melindungi Byzantium dari serangan Turki Seljuk.
Paus Urbanus pada waktu itu menjadi pemimpin tertinggi Katolik, mempunyai ide tidak hanya mengalahkan Turki Seljuk namun juga untuk merebut Yerusalem yang dikuasai Islam dalam waktu yang sangat lama.
Semenjak Yerusalem ditaklukkan oleh Khalifah Umar, tidak ada usaha yang nyata dari Kristen Eropa untuk merebut Yerusalem. Usaha Byzantium tidak mendapatkan dukungan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa yang mayoritas menganut Katolik.
Di Eropa, Katolik-lah yang dianggap Kristen yang benar, sedangkan di Timur lebih berkembang Kristen Ortodoks. Boleh dikatakan bahwa paus adalah rajanya para raja di Eropa.
Hampir seluruh raja di Eropa menganut Katolik dan kewajibannya untuk tunduk terhadap perintah paus, terutama perintah yang masih berkaitan dengan kekristenan.
Momen ekspansi Turki Seljuk di Anatolia adalah peristiwa yang tepat bagi Paus Urbanus II untuk menyatukan Katolik dan Kristen Ortodoks di Timur.
Paus Urbanus juga ingin menyatukan Roma dengan Konstantinopel karena hubungan keduanya merenggang setelah Romawi dibagi menjadi dua.
Perang Salib merupakan sebuah perang yang diserukan oleh Paus di Roma. Paus yang merupakan pemimpin tertinggi Kristen Katolik sehingga keputusan yang diambil Paus harus dipatuhi oleh umat Katolik bahkan seorang raja tetap mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada seorang Paus situ sendiri.
Finbarr B Flood dan Gulru Necipoglu dalam bukunya berjudul "A Companion to Islamic Art and Architecture" (Oxford: John Wiley and Sons Inc., 2017) memaparkan Turki Seljuk memang muncul sebagai kekuatan di utara; dan di Irak, Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad hanyalah sebuah simbol keislaman.
"Latar belakang sejarah ketiga dinasti; Kekhalifahan Abbasiyah, Kekhalifahan Fatimiyah, dan Dinasti Turki Seljuk juga tidak harmonis," tuturnya.
Sejarah antara ketiganya sangat rumit. Kekhalifahan Fatimiyah dibangun atas sebuah kekecewaan terhadap pendirian Kekhalifahan Abbasiyah, karena mereka berpendapat keturunan Ali (Manshur al-Hakim bi-Amrillah)-lah yang pantas memimpin dan menjadi khalifah dalam dunia Islam, dan bukan keturunan Bani Abbas.
Kekhalifahan Fatimiyah beraliran Syiah , sedangkan Abbasiyah beraliran Suni. Kekhalifahan Abbasiyah dengan Turki Seljuk juga tidak harmonis karena Turki Seljuk yang dulunya hanya sebagai tentara dari Kekhalifahan Abbasiyah kini tampil sebagai pemimpin, dan Kekhalifahan Abbasiyah sendiri sebagai bawahannya.
Turki Seljuk juga tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Kekhalifahan Fatimiyah karena selalu bersaing dalam menentukan posisi terkuat di dunia Islam.
Kekhalifahan Fatimiyah berhasil menjadi yang terkuat karena berhasil menaklukkan Syam dan juga memasukkan dua kota suci, Makkah dan Madinah, sebagai wilayah kekuasaannya.
Keadaan politik yang tidak stabil, serta persaingan yang tidak sehat menjadikan kekuatan Islam tidak mengetahui bahwa di Eropa sedang dibangun kekuatan yang luar biasa untuk merebut Yerusalem kembali dan mendirikan kerajaan surga di Yerusalem.
Deklarasi Perang Salib
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" memaparkan fakta sejarah menunjukkan bahwa Perang Salib terjadi karena adanya seruan dari Paus Urbanus II pada tahun 1095 untuk merebut Yerusalem dari kekuasaan Islam.
Deklarasi Paus Urbanus dilatarbelakangi oleh permintaan Raja Byzantium Alexios I Komnenos untuk melindungi Byzantium dari serangan Turki Seljuk.
Paus Urbanus pada waktu itu menjadi pemimpin tertinggi Katolik, mempunyai ide tidak hanya mengalahkan Turki Seljuk namun juga untuk merebut Yerusalem yang dikuasai Islam dalam waktu yang sangat lama.
Semenjak Yerusalem ditaklukkan oleh Khalifah Umar, tidak ada usaha yang nyata dari Kristen Eropa untuk merebut Yerusalem. Usaha Byzantium tidak mendapatkan dukungan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa yang mayoritas menganut Katolik.
Di Eropa, Katolik-lah yang dianggap Kristen yang benar, sedangkan di Timur lebih berkembang Kristen Ortodoks. Boleh dikatakan bahwa paus adalah rajanya para raja di Eropa.
Hampir seluruh raja di Eropa menganut Katolik dan kewajibannya untuk tunduk terhadap perintah paus, terutama perintah yang masih berkaitan dengan kekristenan.
Momen ekspansi Turki Seljuk di Anatolia adalah peristiwa yang tepat bagi Paus Urbanus II untuk menyatukan Katolik dan Kristen Ortodoks di Timur.
Paus Urbanus juga ingin menyatukan Roma dengan Konstantinopel karena hubungan keduanya merenggang setelah Romawi dibagi menjadi dua.
Perang Salib merupakan sebuah perang yang diserukan oleh Paus di Roma. Paus yang merupakan pemimpin tertinggi Kristen Katolik sehingga keputusan yang diambil Paus harus dipatuhi oleh umat Katolik bahkan seorang raja tetap mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada seorang Paus situ sendiri.
(mhy)