PPN Naik Menjadi 12%: Bagaimana Pajak dalam Islam?
loading...
A
A
A
DALAM Istilah Bahasa Arab , pajak dikenal dengan Adh-Dharibah atau bisa juga disebut dengan Al-Maks, yang artinya pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak .
Imam al-Ghazali dan Imam al-Juwaini menyebut pajak adalah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum) ketika tidak ada kas di dalam baitul maal.
Abdul Qadim Zullum dalam Gusfahmi, "Pajak Menurut Syariah" (Raja Grafindo Persada) berpendapat pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai berbagi kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.
Ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah di antaranya adalah:
a. Al-jizyah: upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam
b. Al-Kharaj: pajak bumi yang dimiliki oleh Negara Islam.
c. Al-Usyur: bea cukai bagi para pedagang non-muslim yang masuk ke Negara Islam.
Karakteristik Pajak Menurut Syariat
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut Syariat yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis Non-Islam.
Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu hanya boleh dipungut ketika baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan.
"Berbeda dengan zakat yang tetap dipungut sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan," tulis Gazali dalam artikelnya berjudul "Pajak dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif" yang dilansir Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Muamalat (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram). "Sedangkan pajak menurut Non-Islam adalah abadi."
1. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut tidak boleh lebih.
Sedangkan pajak menurut non-Islam ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
2. Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari non-muslim. Sebab dharibah dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-muslim.
Sedangkan teori pajak Non-Islam tidak membedakan muslim dan non-muslim dengan alasan tidak boleh diskriminasi.
3. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi diri dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya.
Dalam pajak non-Islam, kadang kala juga dipungut atas orang miskin, seperti Pajak Pertambahan Nilai atau PPN serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tidak mengenal tiap subjeknya, melainkan melihat objek (barang atau jasa) yang dikonsumsi.
4. Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan tidak boleh lebih.
Imam al-Ghazali dan Imam al-Juwaini menyebut pajak adalah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum) ketika tidak ada kas di dalam baitul maal.
Abdul Qadim Zullum dalam Gusfahmi, "Pajak Menurut Syariah" (Raja Grafindo Persada) berpendapat pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai berbagi kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang atau harta.
Ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah di antaranya adalah:
a. Al-jizyah: upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam
b. Al-Kharaj: pajak bumi yang dimiliki oleh Negara Islam.
c. Al-Usyur: bea cukai bagi para pedagang non-muslim yang masuk ke Negara Islam.
Karakteristik Pajak Menurut Syariat
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut Syariat yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis Non-Islam.
Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu hanya boleh dipungut ketika baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan.
"Berbeda dengan zakat yang tetap dipungut sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan," tulis Gazali dalam artikelnya berjudul "Pajak dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif" yang dilansir Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Muamalat (Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram). "Sedangkan pajak menurut Non-Islam adalah abadi."
1. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut tidak boleh lebih.
Sedangkan pajak menurut non-Islam ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
2. Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari non-muslim. Sebab dharibah dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-muslim.
Sedangkan teori pajak Non-Islam tidak membedakan muslim dan non-muslim dengan alasan tidak boleh diskriminasi.
3. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi diri dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya.
Dalam pajak non-Islam, kadang kala juga dipungut atas orang miskin, seperti Pajak Pertambahan Nilai atau PPN serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tidak mengenal tiap subjeknya, melainkan melihat objek (barang atau jasa) yang dikonsumsi.
4. Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan tidak boleh lebih.