Penyakit Jiwa: Ini Mengapa Rasulullah SAW Bilang Perut Bisa Berbohong
Sabtu, 27 Juli 2024 - 16:30 WIB
Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena gangguan mental . Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi SAW bahwa, "Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) menjelaskan Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa . "Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya," jelas Quraish.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.
Oleh karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong, kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi menegurnya dengan bersabda,
"Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?
Quraish mengatakan seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.
"Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern," ujar Quraish.
Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi qulubihim maradh. Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan hati. Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang."
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan.
Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal berganda.
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan kebimbangan.
Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang.
Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26) : 88-89:
"Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna (tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat."
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, karena: "Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan memperoleh ketenangan ( QS Al-Ra'd [13] : 28).
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) menjelaskan Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa . "Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya," jelas Quraish.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.
Oleh karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong, kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi menegurnya dengan bersabda,
"Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?
Quraish mengatakan seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.
"Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern," ujar Quraish.
Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi qulubihim maradh. Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan hati. Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang."
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan.
Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal berganda.
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan kebimbangan.
Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang.
Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26) : 88-89:
"Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna (tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang sehat."
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, karena: "Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan memperoleh ketenangan ( QS Al-Ra'd [13] : 28).
(mhy)