Israel Eksploitasi Serangan Dataran Tinggi Golan untuk Motif Politik
Rabu, 31 Juli 2024 - 05:15 WIB
Israel bersiap melancarkan serangan besar terhadap Lebanon menyusul serangan roket mematikan di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel. Kendati demikian, para analis memperkirakan, Israel tidak ingin memicu perang habis-habisan dengan Hizbullah .
Israel menyalahkan kelompok bersenjata Lebanon atas insiden serangan di lapangan sepak bolayang menewaskan 12 anak-anak dan pemuda di kota Druze, Majdal Shams.
Di sisi lain, Hizbullah telah membantah bertanggung jawab atas serangan tersebut. Israel mengatakan kelompok itu telah melewati "garis merah" dan akan membayar "harga yang mahal" untuk insiden tersebut.
"[Proyektil] itu jelas merupakan kesalahan, dan Hizbullah tidak tertarik untuk menargetkan Druze, tetapi Hizbullah menyerang posisi Israel sekitar 2,5 km dari Majdal Shams, jadi mungkin saja mereka melakukan kesalahan penargetan," kata Nicholas Blanford, seorang pakar Hizbullah di lembaga pemikir Atlantic Council sebagaimana dilansir Al Jazeera Senin, 29 Juli 2024.
Israel dan Hizbullah telah terlibat dalam konflik berskala kecil sejak serangan yang dipimpin Hamas terhadap komunitas dan pos militer di Israel selatan pada 7 Oktober. Hizbullah telah berulang kali mengatakan akan mengakhiri serangan terhadap Israel jika gencatan senjata dicapai di Gaza, tempat perang Israel telah menewaskan hampir 40.000 warga Palestina.
Jadi, apa arti serangan di Dataran Tinggi Golan bagi kemungkinan eskalasi antara Hizbullah dan Israel?
Menggalang dukungan
Menurut para analis, Israel tampaknya menggunakan serangan itu dalam rangka menggalang dukungan domestik dan internasional untuk serangan besar-besaran terhadap Lebanon.
Di halaman X resmi Israel, gambar bendera Israel dan Druze diunggah dengan judul: "Kita semua Druze."
Unggahan lain berbunyi, "Mereka menyandera bayi. Mereka menembakkan roket ke rumah-rumah. Hizbullah, Hamas, dan Houthi. Mereka semua Iran."
Ketiga kelompok tersebut termasuk di antara kelompok-kelompok di kawasan itu yang berpihak kepada Iran. Meskipun mereka digambarkan sebagai bagian dari "poros perlawanan" yang didukung Iran, masing-masing kelompok tumbuh dari konflik yang spesifik terhadap konteksnya masing-masing dan memiliki kepentingannya sendiri.
Setelah serangan Majdal Shams, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu menunda keberangkatan 150 anak yang sakit dan terluka di Gaza yang seharusnya menerima perawatan medis di Uni Emirat Arab, menurut media lokal Israel.
Di X, Physicians for Human Rights – Israel menyebut penundaan itu “kejam dan berbahaya” dan mengatakan kematian 12 orang muda di Majdal Shams “tidak boleh dieksploitasi untuk motif politik yang sinis”.
Mereka melanjutkan: “Penundaan evakuasi ini sekali lagi mengungkap ketidakpedulian Israel terhadap kehidupan anak-anak dan warga sipil tak berdosa di Gaza. Balas dendam bukanlah kebijakan yang sah.”
Namun, meskipun Israel terus menghancurkan Gaza, para analis yakin Israel akan mencoba meminimalkan korban sipil dengan serangannya di Lebanon karena takut memicu konflik yang lebih luas yang tidak dapat dibendungnya.
“Fakta bahwa para korban [di Majdal Shams] semuanya adalah anak-anak dan remaja membuat mereka merasa terbebani secara emosional, namun saya tidak yakin Israel ingin meningkatkan ketegangan,” kata Blanford kepada Al Jazeera.
Berselisih
Israel menyalahkan kelompok bersenjata Lebanon atas insiden serangan di lapangan sepak bolayang menewaskan 12 anak-anak dan pemuda di kota Druze, Majdal Shams.
Di sisi lain, Hizbullah telah membantah bertanggung jawab atas serangan tersebut. Israel mengatakan kelompok itu telah melewati "garis merah" dan akan membayar "harga yang mahal" untuk insiden tersebut.
"[Proyektil] itu jelas merupakan kesalahan, dan Hizbullah tidak tertarik untuk menargetkan Druze, tetapi Hizbullah menyerang posisi Israel sekitar 2,5 km dari Majdal Shams, jadi mungkin saja mereka melakukan kesalahan penargetan," kata Nicholas Blanford, seorang pakar Hizbullah di lembaga pemikir Atlantic Council sebagaimana dilansir Al Jazeera Senin, 29 Juli 2024.
Israel dan Hizbullah telah terlibat dalam konflik berskala kecil sejak serangan yang dipimpin Hamas terhadap komunitas dan pos militer di Israel selatan pada 7 Oktober. Hizbullah telah berulang kali mengatakan akan mengakhiri serangan terhadap Israel jika gencatan senjata dicapai di Gaza, tempat perang Israel telah menewaskan hampir 40.000 warga Palestina.
Jadi, apa arti serangan di Dataran Tinggi Golan bagi kemungkinan eskalasi antara Hizbullah dan Israel?
Menggalang dukungan
Menurut para analis, Israel tampaknya menggunakan serangan itu dalam rangka menggalang dukungan domestik dan internasional untuk serangan besar-besaran terhadap Lebanon.
Di halaman X resmi Israel, gambar bendera Israel dan Druze diunggah dengan judul: "Kita semua Druze."
Unggahan lain berbunyi, "Mereka menyandera bayi. Mereka menembakkan roket ke rumah-rumah. Hizbullah, Hamas, dan Houthi. Mereka semua Iran."
Ketiga kelompok tersebut termasuk di antara kelompok-kelompok di kawasan itu yang berpihak kepada Iran. Meskipun mereka digambarkan sebagai bagian dari "poros perlawanan" yang didukung Iran, masing-masing kelompok tumbuh dari konflik yang spesifik terhadap konteksnya masing-masing dan memiliki kepentingannya sendiri.
Setelah serangan Majdal Shams, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu menunda keberangkatan 150 anak yang sakit dan terluka di Gaza yang seharusnya menerima perawatan medis di Uni Emirat Arab, menurut media lokal Israel.
Di X, Physicians for Human Rights – Israel menyebut penundaan itu “kejam dan berbahaya” dan mengatakan kematian 12 orang muda di Majdal Shams “tidak boleh dieksploitasi untuk motif politik yang sinis”.
Mereka melanjutkan: “Penundaan evakuasi ini sekali lagi mengungkap ketidakpedulian Israel terhadap kehidupan anak-anak dan warga sipil tak berdosa di Gaza. Balas dendam bukanlah kebijakan yang sah.”
Namun, meskipun Israel terus menghancurkan Gaza, para analis yakin Israel akan mencoba meminimalkan korban sipil dengan serangannya di Lebanon karena takut memicu konflik yang lebih luas yang tidak dapat dibendungnya.
“Fakta bahwa para korban [di Majdal Shams] semuanya adalah anak-anak dan remaja membuat mereka merasa terbebani secara emosional, namun saya tidak yakin Israel ingin meningkatkan ketegangan,” kata Blanford kepada Al Jazeera.
Berselisih