Sahabat Nabi Banyak yang Berdagang, saat Kaum Nasrani Menganggap Dosa
Jum'at, 02 Agustus 2024 - 14:45 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) mengatakan dalam sejarah perjalanan para sahabat Nabi , kita dapati bahwa di antara mereka itu ada yang bekerja sebagai pedagang, pertukangan, petani dan sebagainya.
Rasulullah SAW berada di tengah-tengah mereka di mana ayat-ayat al-Quran itu selalu turun kepadanya, beliau berbicara kepada mereka dengan bahasa langit, dan Malaikat Jibril senantiasa datang kepadanya dengan membawa wahyu dari Allah.
Semua sahabatnya mencintai beliau dengan tulus ikhlas, tidak seorang pun yang ingin meninggalkan beliau walaupun hanya sekejap mata.
"Oleh karena itu, maka kita jumpai seluruh sahabatnya masing-masing bekerja seperti apa yang dikerjakan Nabi, ada yang mengurus korma dan tanaman-tanaman, ada yang berusaha mencari pencaharian dan perusahaan," ujar al-Qardhawi.
Dan yang tidak tahu tentang ajaran Nabi, berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan kepada rekan-rekannya yang lain. Untuk itu mereka diperintahkan siapa yang mengetahui supaya menyampaikan kepada yang tidak tahu.
Sahabat Anshar pada umumnya ahli pertanian, sedang sahabat Muhajirin pada umumnya ahli dalam perdagangan dan menempa dalam pasar.
Misalnya Abdurrahman bin 'Auf seorang muhajirin pernah disodori oleh rekannya Saad bin ar-Rabi' salah seorang Anshar separuh kekayaan dan rumahnya serta disuruhnya memilih dari salah seorang isterinya supaya dapat melindungi kehormatan kawannya itu.
Abdurrahman kemudian berkata kepada Saad: "Semoga Allah memberi barakah kepadamu terhadap hartamu dan istrimu, saya tidak perlu kepadanya."
Selanjutnya kata Abdurrahman: "Apakah di sini ada pasar yang bisa dipakai berdagang?"
Jawab Saad: "Ya ada, yaitu pasar Bani Qainuqa".
Maka besok paginya Abdurrahman pergi ke pasar membawa keju dan samin. Dia jual-beli di sana. Begitulah seterusnya, akhirnya dia menjadi seorang pedagang muslim yang kaya raya, sampai dia meninggal, kekayaannya masih bertumpuk-tumpuk.
Abubakar Ash-Siddiq juga bekerja sebagai pedagang, sehingga pada waktu akan dilantik sebagai khalifah beliau sedang bersiap-siap akan ke pasar. Begitu juga Umar, Usman dan lain-lain.
Begitulah masyarakat Islam dalam menghadapi dunianya dalam naungan agamanya, mereka berdagang, juga membeli. Tetapi perdagangan dan jual-belinya itu tidak sampai melupakan berzikrullah. Di mana waktu itu orang-orang di abad-abad pertengahan kebanyakannya di bawah kekuasaan raja-raja dan negara-negara Eropa Kristen masih bimbang dalam menghadapi pertentangan yang hebat antara pikiran-pikiran apa yang disebut penyelamatan yakni menyelamatkan diri dari dosa yang menyelubunginya.
Pikiran ini bertentangan dengan pikiran Aklirus yang menganjurkan berusaha dan berdagang di satu pihak, dan di pihak lain adanya perkataan yang berkumandang, bahwa celakalah manusia yang berani menantang ajaran pemimpin-pemimpin agama (rijaluddin) dan sibuk dengan urusan pencaharian, perusahaan dan perdagangan.
Dikatakannya juga, bahwa dosa bukan hanya suatu kejelekan yang pelakunya akan dibalas sesuai dengan banyaknya dosa yang dilakukan, tetapi dosa, seperti yang biasa dikatakan, yaitu dosa abadi dan laknat di bumi dan langit dalam kehidupan di dunia dan akhirat nanti. Untuk itu seorang Uskup bernama Agustine mengatakan: "Kesungguhan dalam urusan perdagangan pada hakikatnya suatu dosa, karena dapat memalingkan orang dari ingat kepada Allah."
Yang lain pun berkata: "Seseorang yang membeli sesuatu kemudian pulang dan menjualnya lagi dengan tidak ada imbangan yang harus dia lakukannya, maka orang tersebut akan termasuk golongan pedagang yang menjauhkan surga dan kesuciannya."
Al-Qardhawi mengatakan pendapat-pendapat ini tidak lebih hanya latah terhadap ajaran-ajaran Paulus yang mengatakan: Bahwa seorang penganut Masehi tidak layak menentang kawannya yang lain dengan suatu pertentangan yang mematikan. Untuk itu, maka tidak ada perdagangan yang berkembang di kalangan orang-orang Masehi."
Rasulullah SAW berada di tengah-tengah mereka di mana ayat-ayat al-Quran itu selalu turun kepadanya, beliau berbicara kepada mereka dengan bahasa langit, dan Malaikat Jibril senantiasa datang kepadanya dengan membawa wahyu dari Allah.
Semua sahabatnya mencintai beliau dengan tulus ikhlas, tidak seorang pun yang ingin meninggalkan beliau walaupun hanya sekejap mata.
"Oleh karena itu, maka kita jumpai seluruh sahabatnya masing-masing bekerja seperti apa yang dikerjakan Nabi, ada yang mengurus korma dan tanaman-tanaman, ada yang berusaha mencari pencaharian dan perusahaan," ujar al-Qardhawi.
Dan yang tidak tahu tentang ajaran Nabi, berusaha sekuat tenaga untuk menanyakan kepada rekan-rekannya yang lain. Untuk itu mereka diperintahkan siapa yang mengetahui supaya menyampaikan kepada yang tidak tahu.
Sahabat Anshar pada umumnya ahli pertanian, sedang sahabat Muhajirin pada umumnya ahli dalam perdagangan dan menempa dalam pasar.
Misalnya Abdurrahman bin 'Auf seorang muhajirin pernah disodori oleh rekannya Saad bin ar-Rabi' salah seorang Anshar separuh kekayaan dan rumahnya serta disuruhnya memilih dari salah seorang isterinya supaya dapat melindungi kehormatan kawannya itu.
Abdurrahman kemudian berkata kepada Saad: "Semoga Allah memberi barakah kepadamu terhadap hartamu dan istrimu, saya tidak perlu kepadanya."
Selanjutnya kata Abdurrahman: "Apakah di sini ada pasar yang bisa dipakai berdagang?"
Jawab Saad: "Ya ada, yaitu pasar Bani Qainuqa".
Maka besok paginya Abdurrahman pergi ke pasar membawa keju dan samin. Dia jual-beli di sana. Begitulah seterusnya, akhirnya dia menjadi seorang pedagang muslim yang kaya raya, sampai dia meninggal, kekayaannya masih bertumpuk-tumpuk.
Abubakar Ash-Siddiq juga bekerja sebagai pedagang, sehingga pada waktu akan dilantik sebagai khalifah beliau sedang bersiap-siap akan ke pasar. Begitu juga Umar, Usman dan lain-lain.
Begitulah masyarakat Islam dalam menghadapi dunianya dalam naungan agamanya, mereka berdagang, juga membeli. Tetapi perdagangan dan jual-belinya itu tidak sampai melupakan berzikrullah. Di mana waktu itu orang-orang di abad-abad pertengahan kebanyakannya di bawah kekuasaan raja-raja dan negara-negara Eropa Kristen masih bimbang dalam menghadapi pertentangan yang hebat antara pikiran-pikiran apa yang disebut penyelamatan yakni menyelamatkan diri dari dosa yang menyelubunginya.
Pikiran ini bertentangan dengan pikiran Aklirus yang menganjurkan berusaha dan berdagang di satu pihak, dan di pihak lain adanya perkataan yang berkumandang, bahwa celakalah manusia yang berani menantang ajaran pemimpin-pemimpin agama (rijaluddin) dan sibuk dengan urusan pencaharian, perusahaan dan perdagangan.
Dikatakannya juga, bahwa dosa bukan hanya suatu kejelekan yang pelakunya akan dibalas sesuai dengan banyaknya dosa yang dilakukan, tetapi dosa, seperti yang biasa dikatakan, yaitu dosa abadi dan laknat di bumi dan langit dalam kehidupan di dunia dan akhirat nanti. Untuk itu seorang Uskup bernama Agustine mengatakan: "Kesungguhan dalam urusan perdagangan pada hakikatnya suatu dosa, karena dapat memalingkan orang dari ingat kepada Allah."
Yang lain pun berkata: "Seseorang yang membeli sesuatu kemudian pulang dan menjualnya lagi dengan tidak ada imbangan yang harus dia lakukannya, maka orang tersebut akan termasuk golongan pedagang yang menjauhkan surga dan kesuciannya."
Al-Qardhawi mengatakan pendapat-pendapat ini tidak lebih hanya latah terhadap ajaran-ajaran Paulus yang mengatakan: Bahwa seorang penganut Masehi tidak layak menentang kawannya yang lain dengan suatu pertentangan yang mematikan. Untuk itu, maka tidak ada perdagangan yang berkembang di kalangan orang-orang Masehi."
(mhy)