Memahami Pengertian atau Esensi Riba yang Diharamkan Al-Qur'an
Selasa, 17 September 2024 - 13:56 WIB
Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."
Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut."
Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah).
Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah.
Fa Lakum Ru'usu Amwalikum
Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat 'berlipat ganda' menjadi tidak diharamkan Al-Quran?
Jawabannya, menurut Quraish Shihab, terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279).
Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan.
Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. "Ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktikkan," ujar Quraish.
Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan.
Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).
Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktik riba pada masa turunnya Al-Quran, menunjukkan bahwa praktik tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan.
Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat Al-Baqarah ayat 279, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah.
Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, "Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui."
Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
(mhy)