Perkembangan Ilmu Tafsir dan Hadis Masa Dinasti Abbasiyah

Kamis, 19 September 2024 - 17:03 WIB
Beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang mereka dengar dari Nabi. Ilustrasi: Ist
PADA masa awal Islam, ilmu tafsir belum dibutuhkan karena umat Islam dapat mengerti apa yang dimaksud oleh setiap ayat al-Qur’an. Namun ketika wilayah Islam sudah meluas dan orang-orang bukan Arab telah menganut agama Islam, mulai dirasakan perlunya menafsirkan al-Qur’an.

Beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib , Abdullah bin Abbas , Abdullah bin Mas’ud , Ubay bin Ka’ab menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan apa yang mereka dengar dari Nabi. "Mereka ini dipandang sebagai pendiri ilmu tafsir ," tulis Syamruddin Nasution dalam bukunya berjudul Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013).

Bentuk tafsir al-Qur’an pada awal Islam dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an didasarkan pada apa yang mereka dengar dari Nabi dan sahabat-sahabat senior atau dikenal dengan tafsir bi alriwayah, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an didasarkan pada riwayat.



Tafsir bi al-ma’tsur ini mengalami perkembangan di masa Daulah Abbasiyah , seperti Jami’ al-Bayan fi tafsir al qur’an oleh Ibn Jarir al-thabari dan Maqarin al Tanzil oleh al-Baidhawi.

Tafsir-tafsir telah tersusun secara sistematis menurut urutan ayat. Tafsir bi al-Ra’yi pun berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah. Tafsir yang didasarkan pada pemahaman akal ini terdapat beberapa corak, seperti Tafsir Mu’tazili berjudul al-Kasysyaf al Dhawamiri al-Tanzil oleh al-Zamakhsari. Tafsir al-Ilmy berjudul Mafatih alGhaib oleh Fakhrurazi. Tafsir Sufi seperti yang yang dilakukan oleh al-Junaid dan Sofyan Tsuri dan lain-lainnya.

Tafsir Al-Qur’an yang mengambil bermacam-macam bentuk atau corak itu adalah pengaruh dari kebebasan berpikir pada masa itu. Sehingga latar belakang pemikiran mereka sangat mewarnai tafsir yang mereka lakukan.

Ilmu Hadis

Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam pada mulanya belum ditulis seperti al-Qur’an karena dikhawatirkan bercampur baur dengan al-Qur’an. Karena itu Nabi melarang menulis sesuatu darinya selain alQur’an. Pemeliharaan Hadis oleh para sahabat dilakukan melalui hafalan.



Pembukaan Hadis untuk pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar bin abd al-Aziz di awal abad kedua Hijrah. Dalam mengumpulkan Hadis dari para penghafal Hadis, diadakan suatu metode yang disebut Isnad yaitu membahas persambungan Hadis.

Selain itu digunakan pula metode al-Jarh wa al-ta’dil yang membahas asal-usul penghafal Hadis.

Pada masa Daulah Abbasiyah, pembukuan Hadis mengalami perkembangan pesat. Muncul tokoh-tokoh Muhadditsin terkemuka dan terkenal sampai saat ini. Mereka itu adalah : Imam Malik , Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, altTurmudzi, al-Nasa’i, dan Ibn Majah.

Penulisan Hadis di masa Daulah Abbasiyah dilakukan secara gencar dalam rangka memelihara eksistensinya sebagai sumber kedua ajaran Islam, selain itu untuk kebutuhan umat juga, karena para penghafal Hadis banyak yang meninggal dunia sehingga dikhawatirkan terjadi kepunahan Hadis.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Rabb Tabaaraka wa Ta'ala kita turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: Siapa yang berdo'a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku pasti Aku ampuni.

(HR. Bukhari No. 1077)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More