Tafsir Al-Qur'an: 2 Syarat Pokok bagi Penggunaan Takwil Menurut Al-Syathibi

Jum'at, 20 September 2024 - 14:42 WIB
Dua syarat pokok bagi setiap pentakwilan salah satunya makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Ilustrasi: SINDOnews
Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitab "Al-Muwafaqat, tahqiq Syaikh Abdullah Darraz" mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap pentakwilan dalam menafsirkan Al-Quran :

1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya.

2. Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.

Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan takwil, tanpa suatu alasan yang mendukungnya.



Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996) berpendapat kita dapat memahami motivasi sebagian mereka --seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib.

"Namun bila hal ini diperturutkan tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan dalam pemikiran sementara pembaru," ujarnya.

Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang Mutlak itu).

"Tetapi, tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tidak logis," jelas Quraish.

Menurutnya, apa yang dikemukakan di atas hanya berarti apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya tidak bertentangan dengan akal --walaupun belum dipahami hakikatnya-- maka redaksi tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.



Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti hanya menggunakan takwil pada ayat-ayat yang telah pernah ditakwilkan oleh para pendahulu.

Perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, sehingga, bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka tidak ada jalan lain kecuali menempuh pentakwilan.

Hal demikian tentunya lebih baik daripada pengabaian teks, sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan Al-Quran dan ulama. Karena, bukanlah Al-Quran mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama pun telah sepakat untuk menggunakannya?

(mhy)
Lihat Juga :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Zaid bin Khalid Al Juhaini bahwasanya dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memimpin kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah pada suatu malam sehabis turun hujan. Setelah selesai Beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak lalu bersabda: Tahukah kalian apa yang sudah difirmankan oleh Rabb kalian? Orang-orang menjawab, Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Allah berfirman: Di pagi ini ada hamba-hamba Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir, orang yang berkata bahwa Hujan turun kepada kita karena karunia Allah subhanahu wa ta'ala dan rahmat-Nya, maka dia adalah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata bahwa Hujan turun disebabkan bintang ini atau itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.

(HR. Bukhari No. 801)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More