Doa Mustajab Muhammad bin Wasi’ di Tengah Kecamuk Perang
Jum'at, 28 Agustus 2020 - 15:48 WIB
PADA tahun 87 H, ketika itu pahlawan Islam dan panglima besar Qutaibah bin Muslim Al-Bahili memimpin pasukannya yang tangguh dari kota Marwa menuju Bukhara. Mereka hendak menguasai sisa negeri yang ada di seberang sungai. Beliau juga hendak berperang di pinggiran negeri Cina dan menarik Jizyah dari mereka. (
)
Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menceritakan belum lagi pasukan Qutaibah bin Muslim menyeberangi sungai Seihun, penduduk Bukhara telah melihat kedatangan mereka. Mereka pun memukul genderang tanda bahaya di seluruh penjuru. Mereka meminta bantuan negeri tetangga seperti Suged, Turki , Cina dan sebagainya. Maka berduyun-duyunlah kelompok prajurit yang bermacam-macam warna kulit, bahasa dan agama hingga jumlah mereka berlipat ganda dibandingkan pasukan muslimin.
Setelah itu, mereka segera memblokir semua jalan pasukan muslimin dan mengepung semua celah yang bisa ditutup. Sampai-sampai Qutaibah bin Muslim tak bisa menyelundupkan pasukan khusus untuk menyelidiki dan mencari berita tentang keadaan musuh, tidak pula bisa menyusupkan mata-mata ke kubu lawan.
Maka Qutaibah dan pasukannya terjepit di dekat kota Bikand, tak bisa bergerak maju maupun mundur. Sementara musuh selalu bergerilya dengan kelompok-kelompok kecil pasukannya, lalu mereka bertempur sepanjang siang. Bila senja turun, mereka menghilang ke markas dan benteng-bentengnya yang kokoh. Kondisi tersebut berlangsung selama dua bulan berturut-turut. Qutaibah menjadi bingung untuk mengambil sikap apakah akan berhenti atau terus maju.( )
Tak berselang lama, berita ini akhirnya menyebar di seluruh wilayah kaum muslimin. Mereka mencemaskan nasib pasukan tangguh yang belum pernah dikalahkan itu. Para gubernur di daerah-daerah diperintahkan agar menyerukan rakyat turun mendoakan keselamatan pasukan yang sedang berjuang di negeri seberang sungai itu.
Setiap masjid penuh dengan do’a untuk mereka. Dari menaranya terdengar seruan permohonan kepada Allah dan para imam membaca doa qunut di setiap salat. Akhirnya terbentuklah suatu pasukan tangguh yang terdiri dari para sukarelawan dari seluruh negeri. Gerakan itu dipelopori oleh syaikh tabi’in yang tersoho, Muhammad bin Sirin Al-Wasi’ .
Dikisahkan bahwa Qutaibah bin Muslim memiliki seorang mata-mata non-Arab yang dikenal cerdik siasat dan keahliannya yang bernama Taidzar. Musuh berhasil membujuk mata-mata ini dengan iming-iming harta yang besar agar dia mau mempengaruhi pemimpin muslim itu. Siasat yang dijalankan adalah dengan memberikan gambaran bahwa keadaan pasukan muslimin sangat lemah dibandingkan dengan pasukan musuhnya yang berkekuatan besar. Dan mengusakan agar pasukan Islam hengkang dari negeri itu tanpa peperangan.
Taidzar masuk menemui Qutaibah bin Muslim yang tengah berbincang dengan para perwira-perwira utama dan tokoh-tokoh militer lainnya. Dia mendekat di sisi Qutaibah, lalu berbisik, “Wahai amir, kosongkanlah ruangan ini bila Anda menghendaki.”
Sejurus kemudian, Qutaibah mengisyaratkan semua yang hadir untuk keluar kecuali Dzirar bin Hushain yang diminta untuk tetap di tempatnya. Setelah itu Taidzar berkata, “Saya membawa berita untuk Anda wahai amir.”
Qutaibah berkata, “Katakanlah!”
Taidzar berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin di Damaskus telah memecat Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dan beberapa perwira pengikutnya, sedangkan Anda adalah satu di antara pengikutnya. Beliau juga telah mengganti mereka dengan pemimpin-pemimpin yang baru dalam angkatan bersenjatanya. Mereka saat ini sudah banyak yang dikirim ke pos-pos baru masing-masing dan bisa jadi pengganti Anda akan datang setiap saat, siang ataupun malam. Menurut hemat saya, lebih baik pasukan Anda ditarik saja dari negeri Anda dan Anda kembali ke Marwa untuk memikirkan kembali siasat yang jauh dari medan perang.”
Belum lagi Taidzar menghentikan ocehannya, Qutaibah memanggil pengawalnya bernama Siyah lalu beliau katakan, “Wahai Siyah, penggal leher pengkhianat ini!”
Selanjutnya Siyah memenggal leher Taidzar, lalu kembali ke tempatnya semula. Qutaibah menoleh kepada Dzirar bin Hushain dan berkata, “Di bumi ini tidak ada orang lain yang mendengar tentang berita baru kecuai engkau dan aku. Aku bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, bila berita ini sampai ke telinga orang lain sebelum perang selesai akan aku susulkan engkau kepada pengkhianat murahan ini. Oleh sebab itu, jika engkau masih sayang kepada dirimu, jagalah dirimu, jagalah dirimu, jagalah lidahmu. Ketahuilah bahwa bila berita ini tersebar kepada pasukan kita, maka akan menjatuhkan mental juang mereka.” (
Orang-orang dipanggil kembali. Tatkala mereka melihat Taidzar tergeletak berlumuran darah, mereka terkesiap keheranan. Qutaibah berkata, “Apa yang mengejutkan kalian dari kematian seorang pengkhianat dan pendusat ini?”
Mereka berkata, “Kami sangka ia pembela Islam.”
Qutaibah berkata, “Bahkan dia adalah pengkhianat kaum muslimin, maka Allah membalas pengkhianatannya itu.”
Lalu beliau berteriak lantang, “Sekarang berangkatlah kalian untuk menghancurkan musuh-musuh kalian. Hadapilah mereka dengan hati dan tekad yang baru.” ( )
Dengan patuh pasukan itu melaksanakan perintah panglimanya, Qutaibah bin Muslim. Mereka bersiaga menghadapi musuh di tapal batas. Hanya saja, setelah dua kubu berhadapan, pasukan Islam melihat banyaknya musuh dan lengkapnya persenjataan mereka, maka ketakutan mulai menjalar.
Qutaibah bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hati prajuritnya. Maka beliau bersegera berkeliling dari satu kompi ke kompi yang lain untuk membangkitkan semangat mereka. Kemudian beliau memandang ke kanan dan ke kiri seraya bertanya, “Dimana Muhammad bin Wasi’?”
Mereka menjawab, “Bersandar pada tongkatnya, menatap ke depan sambil mengarahkan telunjuknya ke langit untuk berdo’a. Apakah Anda menginginkan agar kami memanggilkan beliau?”
Qutaibah, “Tidak perlu, biarkanlah dia. Demi Allah, telunjuknya itu (do’a beliau) lebih aku sukai daripada seribu pedang pilihan yang dihunus oleh seribu pemuda jagoan. Maka biarkanlah dia berdo’a, kita mengetahui bahwa do’anya musatajab.”
Perangpun berkecamuk, dua pasukan saling menerjang laksana singa yang hendak menerkam mangsanya. Kedua pasukan bertemu laksana gelombang air bah yang saling bertabrakan. Lalu Allah menurunkan ketenangan dalam jiwa pasukan Islam dan membantu dengan ruh kekuatan dari-Nya.
Prajurit Islam terus menyerbu pasukan musuh sepanjang hari, hingga manakala beranjak malam, Allah menggoyahkan telapak kaki musuh dan rasa gentar menyelimuti mereka hingga akhirnya menyerah. Para mujahidin dapat melumpuhkan mereka dengan mudah, sebagian berantakan dan lari kocar-kacir, sebagian lainnya berhasil ditawan. Begitulah, mereka menyerah kalah dan minta berdamai kepada Qutaibah dengan mengajukan tebusan.
Di antara tawanan itu ada orang yang jahat dan hobi memprovokasi kaumnya untuk memusuhi Islam. Dia berkata, “Aku ingin menebus diriku wahai amir!” Qutaibah berkata, “Berapa harga tebusannya?” Tawanan itu menjawab, “Lima ribu helai kain sutera Cina seharga satu juta.”
Mendengar jawaban itu, Qutaibah menolah kepada para sahabatnya, “Bagaimana menurut kalian?” Mereka berkata, “Menurut kami, harta tersebut akan menambah jumlah ghanimah bagi muslimin. Sementara itu kita sudah tak mengkhawatirkan sepak terjangnya dan yang semacamnya setelah kemenangan besar yang kita raih.”
Qutaibah menoleh kepada Muhammad bin Wasi’ Al-Uzdi dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Abdillah?”
Beliau menjawab, “Wahai amir, tujuan kaum muslimin keluar berjihad ini bukanlah untuk mengumpulkan ghanimah atau menumpuk harta, melainkan kelar demi ridha Allah, menegakkan agamanya di atas bumi dan menghancurkan musuh-musuhnya.”
Qutaibah berkata, “Jazakallah khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda wahai Abu Abdillah, demi Allah aku tidak akan membiarkan orang-orang semacam ini menakut-nakuti wanita muslimah setelah ini. Walaupun dia hendak menebus dirinya dengan harta sebesar dunia ini.” Kemudian beliau perintahkan agar tawanan itu dibunuh. ( )
Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menceritakan belum lagi pasukan Qutaibah bin Muslim menyeberangi sungai Seihun, penduduk Bukhara telah melihat kedatangan mereka. Mereka pun memukul genderang tanda bahaya di seluruh penjuru. Mereka meminta bantuan negeri tetangga seperti Suged, Turki , Cina dan sebagainya. Maka berduyun-duyunlah kelompok prajurit yang bermacam-macam warna kulit, bahasa dan agama hingga jumlah mereka berlipat ganda dibandingkan pasukan muslimin.
Setelah itu, mereka segera memblokir semua jalan pasukan muslimin dan mengepung semua celah yang bisa ditutup. Sampai-sampai Qutaibah bin Muslim tak bisa menyelundupkan pasukan khusus untuk menyelidiki dan mencari berita tentang keadaan musuh, tidak pula bisa menyusupkan mata-mata ke kubu lawan.
Maka Qutaibah dan pasukannya terjepit di dekat kota Bikand, tak bisa bergerak maju maupun mundur. Sementara musuh selalu bergerilya dengan kelompok-kelompok kecil pasukannya, lalu mereka bertempur sepanjang siang. Bila senja turun, mereka menghilang ke markas dan benteng-bentengnya yang kokoh. Kondisi tersebut berlangsung selama dua bulan berturut-turut. Qutaibah menjadi bingung untuk mengambil sikap apakah akan berhenti atau terus maju.( )
Tak berselang lama, berita ini akhirnya menyebar di seluruh wilayah kaum muslimin. Mereka mencemaskan nasib pasukan tangguh yang belum pernah dikalahkan itu. Para gubernur di daerah-daerah diperintahkan agar menyerukan rakyat turun mendoakan keselamatan pasukan yang sedang berjuang di negeri seberang sungai itu.
Setiap masjid penuh dengan do’a untuk mereka. Dari menaranya terdengar seruan permohonan kepada Allah dan para imam membaca doa qunut di setiap salat. Akhirnya terbentuklah suatu pasukan tangguh yang terdiri dari para sukarelawan dari seluruh negeri. Gerakan itu dipelopori oleh syaikh tabi’in yang tersoho, Muhammad bin Sirin Al-Wasi’ .
Dikisahkan bahwa Qutaibah bin Muslim memiliki seorang mata-mata non-Arab yang dikenal cerdik siasat dan keahliannya yang bernama Taidzar. Musuh berhasil membujuk mata-mata ini dengan iming-iming harta yang besar agar dia mau mempengaruhi pemimpin muslim itu. Siasat yang dijalankan adalah dengan memberikan gambaran bahwa keadaan pasukan muslimin sangat lemah dibandingkan dengan pasukan musuhnya yang berkekuatan besar. Dan mengusakan agar pasukan Islam hengkang dari negeri itu tanpa peperangan.
Taidzar masuk menemui Qutaibah bin Muslim yang tengah berbincang dengan para perwira-perwira utama dan tokoh-tokoh militer lainnya. Dia mendekat di sisi Qutaibah, lalu berbisik, “Wahai amir, kosongkanlah ruangan ini bila Anda menghendaki.”
Sejurus kemudian, Qutaibah mengisyaratkan semua yang hadir untuk keluar kecuali Dzirar bin Hushain yang diminta untuk tetap di tempatnya. Setelah itu Taidzar berkata, “Saya membawa berita untuk Anda wahai amir.”
Qutaibah berkata, “Katakanlah!”
Taidzar berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin di Damaskus telah memecat Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dan beberapa perwira pengikutnya, sedangkan Anda adalah satu di antara pengikutnya. Beliau juga telah mengganti mereka dengan pemimpin-pemimpin yang baru dalam angkatan bersenjatanya. Mereka saat ini sudah banyak yang dikirim ke pos-pos baru masing-masing dan bisa jadi pengganti Anda akan datang setiap saat, siang ataupun malam. Menurut hemat saya, lebih baik pasukan Anda ditarik saja dari negeri Anda dan Anda kembali ke Marwa untuk memikirkan kembali siasat yang jauh dari medan perang.”
Belum lagi Taidzar menghentikan ocehannya, Qutaibah memanggil pengawalnya bernama Siyah lalu beliau katakan, “Wahai Siyah, penggal leher pengkhianat ini!”
Selanjutnya Siyah memenggal leher Taidzar, lalu kembali ke tempatnya semula. Qutaibah menoleh kepada Dzirar bin Hushain dan berkata, “Di bumi ini tidak ada orang lain yang mendengar tentang berita baru kecuai engkau dan aku. Aku bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, bila berita ini sampai ke telinga orang lain sebelum perang selesai akan aku susulkan engkau kepada pengkhianat murahan ini. Oleh sebab itu, jika engkau masih sayang kepada dirimu, jagalah dirimu, jagalah dirimu, jagalah lidahmu. Ketahuilah bahwa bila berita ini tersebar kepada pasukan kita, maka akan menjatuhkan mental juang mereka.” (
Orang-orang dipanggil kembali. Tatkala mereka melihat Taidzar tergeletak berlumuran darah, mereka terkesiap keheranan. Qutaibah berkata, “Apa yang mengejutkan kalian dari kematian seorang pengkhianat dan pendusat ini?”
Mereka berkata, “Kami sangka ia pembela Islam.”
Qutaibah berkata, “Bahkan dia adalah pengkhianat kaum muslimin, maka Allah membalas pengkhianatannya itu.”
Lalu beliau berteriak lantang, “Sekarang berangkatlah kalian untuk menghancurkan musuh-musuh kalian. Hadapilah mereka dengan hati dan tekad yang baru.” ( )
Dengan patuh pasukan itu melaksanakan perintah panglimanya, Qutaibah bin Muslim. Mereka bersiaga menghadapi musuh di tapal batas. Hanya saja, setelah dua kubu berhadapan, pasukan Islam melihat banyaknya musuh dan lengkapnya persenjataan mereka, maka ketakutan mulai menjalar.
Qutaibah bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hati prajuritnya. Maka beliau bersegera berkeliling dari satu kompi ke kompi yang lain untuk membangkitkan semangat mereka. Kemudian beliau memandang ke kanan dan ke kiri seraya bertanya, “Dimana Muhammad bin Wasi’?”
Mereka menjawab, “Bersandar pada tongkatnya, menatap ke depan sambil mengarahkan telunjuknya ke langit untuk berdo’a. Apakah Anda menginginkan agar kami memanggilkan beliau?”
Qutaibah, “Tidak perlu, biarkanlah dia. Demi Allah, telunjuknya itu (do’a beliau) lebih aku sukai daripada seribu pedang pilihan yang dihunus oleh seribu pemuda jagoan. Maka biarkanlah dia berdo’a, kita mengetahui bahwa do’anya musatajab.”
Perangpun berkecamuk, dua pasukan saling menerjang laksana singa yang hendak menerkam mangsanya. Kedua pasukan bertemu laksana gelombang air bah yang saling bertabrakan. Lalu Allah menurunkan ketenangan dalam jiwa pasukan Islam dan membantu dengan ruh kekuatan dari-Nya.
Prajurit Islam terus menyerbu pasukan musuh sepanjang hari, hingga manakala beranjak malam, Allah menggoyahkan telapak kaki musuh dan rasa gentar menyelimuti mereka hingga akhirnya menyerah. Para mujahidin dapat melumpuhkan mereka dengan mudah, sebagian berantakan dan lari kocar-kacir, sebagian lainnya berhasil ditawan. Begitulah, mereka menyerah kalah dan minta berdamai kepada Qutaibah dengan mengajukan tebusan.
Di antara tawanan itu ada orang yang jahat dan hobi memprovokasi kaumnya untuk memusuhi Islam. Dia berkata, “Aku ingin menebus diriku wahai amir!” Qutaibah berkata, “Berapa harga tebusannya?” Tawanan itu menjawab, “Lima ribu helai kain sutera Cina seharga satu juta.”
Mendengar jawaban itu, Qutaibah menolah kepada para sahabatnya, “Bagaimana menurut kalian?” Mereka berkata, “Menurut kami, harta tersebut akan menambah jumlah ghanimah bagi muslimin. Sementara itu kita sudah tak mengkhawatirkan sepak terjangnya dan yang semacamnya setelah kemenangan besar yang kita raih.”
Qutaibah menoleh kepada Muhammad bin Wasi’ Al-Uzdi dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu wahai Abu Abdillah?”
Beliau menjawab, “Wahai amir, tujuan kaum muslimin keluar berjihad ini bukanlah untuk mengumpulkan ghanimah atau menumpuk harta, melainkan kelar demi ridha Allah, menegakkan agamanya di atas bumi dan menghancurkan musuh-musuhnya.”
Qutaibah berkata, “Jazakallah khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda wahai Abu Abdillah, demi Allah aku tidak akan membiarkan orang-orang semacam ini menakut-nakuti wanita muslimah setelah ini. Walaupun dia hendak menebus dirinya dengan harta sebesar dunia ini.” Kemudian beliau perintahkan agar tawanan itu dibunuh. ( )
(mhy)