Kufah Berdarah di Bawah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi

Selasa, 25 Agustus 2020 - 15:13 WIB
loading...
Kufah Berdarah di Bawah...
Ilustrasi/Ist
A A A
KOTA Kufah banyak menjadi tempat para tabiin . Salah satunya, adalah Said bin Jubair. Kala itu Kufah di bawah kepemimpinan Gubernur Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi . Kekuasaan Hajjaj meliputi Irak dan seluruh Masyriq serta negeri di seberangnya. ( )

Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menceritakan penguasa ini memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan. Dia tercatat telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan memadamkan api pemberontakan di sana sini. (

Ia menghunus pedangnya di tengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.

Suatu ketika takdir Allah menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dengan salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang manjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban, meninggalkan bekas luka dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin. ( )

Ada yang berkata bahwa fitnah tersebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibn Asy-Asy’ats bersama pasukannya untuk menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan. Maka berperanglah panglima yang tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian panglima itu mengirim utusan menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dari ghanimah untuk baitul maal milik kaum muslimin. ( )

Selain itu juga ia menulis surat, minta izin untuk sementara menghentikan perang agar dia dapat mempelajari seluk beluk medan maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk menyerbu daerah pedalaman yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang sebelumnya telah berhasil memperoleh kejayaan.

Namun Hajjaj murka dengan pendirian panglima tersebut. Dia mengirim surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari gubernurnya datang, Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tersebut untuk kemudian dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil.(
Ternyata para komandan itu menyarankan untuk menentang pemerintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, “Apakah kalian bersedia berbai’at untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan bumi Irak dari kezhalimannya?” Akhirnya mereka melakukan bai’at kepada panglimanya.

Tentara Abdurrahman bin Asy’ats bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan Ibnu Yusuf, dan pasukan Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu menguasai Sajistan serta sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah dan Bashrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf.

Perang masih berkecamuk antara dua kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota. Hal itu membuat kemarahan Hajjaj bin Yusuf memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban jizyah. Mereka telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya pendapatan negara.

Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Bashrah dan kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencariannya. Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak istrinya dan dipaksa kembali ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan.

Para wanita, anak-anak dan orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil berseru, “Wahai umat Muhammad..wahai umat Muhammad.” Mereka bingung hendak berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta serta mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah tersebut.

Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun tangan, di antaranya termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam Asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.

Perang besar antara keduanya meletus. Mulanya kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy’ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj mulai berada di atas angin, sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’ats melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.

Setelah itu, Hajjaj memerintahkan pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui bai’atnya. Di antara mereka ada yang mentaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair.

Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbai’at, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga. Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan bai’atmu kepada amirmu?” Jika dia menjawab, “Ya” maka diterima bai’atnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, “Tidak” maka dibunuh.

Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi kesalamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetap teguh dan tidak mengindahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.

Menurut kabar yang tersebar, penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan orang lainnya selamat setelah mengaku kafir. Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am ketika terjadi huru hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.

Orang tua itu berkata, “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at.”

Hajjaj mencelanya, “Celakalah engkaku! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”

Orang tua itu menjawab, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1746 seconds (0.1#10.140)