Ibnu Taimiyyah Menyebut Muawiyah Pemimpin Terbaik Pasca-Kekhalifahan

Kamis, 10 Oktober 2024 - 14:17 WIB
Dari masa kerajaan dan rahmat itu, menurut Ibnu Taimiyyah, yang terbaik ialah masa Muawiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. Ilustrasi: Ist
IBNU Taimiyyah mengatakan dalam sebuah hadis, RasulullahSAW bersabda bahwa masa kenabian (nubuwwah) dan rahmat akan disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat nubuwwah) dan rahmat, sesudah itu masa kerajaan (mulk) dan rahmat, kemudian masa kerajaan (saja).

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya, "Minhaj al Sunnah fi Naqdl kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah" menjelaskan bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa Nabi sendiri. Sedangkan masa "kekhalifahan kenabian dan rahmat" berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah wafat Nabi SAW, yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakar , disusul Umar ibn al-Khattab , kemudian Utsman ibn 'Affan , dan akhirnya Ali ibn Abi Thalib .

Mereka adalah para pengganti ( khalifah ) Nabi yang kelak dikenal sebagai para khalifah yang berpetunjuk (al-khulafa al-rasyidun). Sedangkan masa para khalifah yang empat itu adalah masa "kerajaan dan rahmat."



Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibnu Taimiyyah, yang terbaik ialah masa Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. "Di antara raja-raja tidak ada yang menjalankan kekuasaan sebaik Mu'awiyah. Dialah sebaik-baik raja Islam, dan tindakannya lebih baik daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya," tulis Ibnu Taimiyyah.

Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" menyebutpandangan Ibnu Taimiyyah itu khas paham Sunni , terutama dari kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa pun yang terjadi pada Mu'awiyah akan dianggap Ibnu Taimiyyah sebagai tidak bisa dipersalahkan begitu saja, karena dia adalah seorang Sahabat Nabi .

Lebih jauh, Ibnu Taimiyyah masih mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah, yaitu Yazid (yang oleh kaum Syi'ah dituding sebagai paling bertanggungjawab atas pembunuhan amat keji terhadap al-Husain, cucunda Nabi), karena, kata Ibnu Tamiyyah, Yazid adalah komandan tentara Islam yang pertama memerangi dan mencoba merebut Konstantinopel, sementara sebuah hadis menyebutkan adanya sabda Nabi: "Tentara pertama yang menyerbu Konstantinopel diampuni (oleh Allah akan segala dosanya)."



Akan tetapi, kata Cak Nur, pandangan Ibnu Taimiyyah itu berbeda dengan yang ada pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat bahwa Mu'awiyah tanpa mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalah orang yang pertama bertanggung-jawab mengubah sistem kekhalifahan yang terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi Islam me]alui pemilihan) menjadi sistem kekhalifahan yang tertutup (pengangkatan pemimpin melalui penunjukan atau wasiat berdasarkan pertalian darah).

Ini memang bisa disebut sistem kerajaan seperti dimaksudkan dalam hadis, tetapi Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula para penguasa 'Abbasiyah, menyebut diri mereka masing-masing Khalifah (dari Nabi), bukan raja. "Namun tetap ada suatu sistem yang adil telah diganti dengan sistem yang kurang adil, jika bukannya yang zalim," jelas Cak Nur.

Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama tidak hanya ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi lebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan dan pemerintahan. Penyebutan para pengganti Nabi yang pertama itu sebagai "berpetunjuk" (al-rasyidun) adalah terutama berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.

Menurut Cak Nur, pandangan yang cukup umum di kalangan orang-orangIslam ini menjadi dasar sarjana sosiologi terkenal, Robert N. Bellah, untuk membuat penilaian -sebagaimana dalam kesempatan lain telah dikemukakan- bahwa Islam mengajarkan sistem politik yang terbuka dan "moderen."



Akan tetapi karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhalifahan Islam itu tidak bertahan lama, dan diganti dengan sistem "kerajaan Bani Umayyah yang menurut Bellah tidak lain ialah penghidupan kembali sistem tribalisme Arab yang telah ada sebelum kedatangan Islam.

Bellah pun dapat memahami mengapa orang-orangIslam moderen, dalam mencari acuan untuk cita-cita politik mereka, senantiasa merujuk kepada masa kekhalifahan pertama sebagai model. (Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief [New York: Harper & Row, 1976], hh. 150-51).

Dalam pandangan banyak Muslim, pemerintahan masa kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan dan rasa keagamaan yang mendalam. Sedangkan para penguasa Bani Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan itu sendiri saja. Kalaupun tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar ibn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk Mu'awiyah itu telah dikutip dari Ibnu Taimiyyah di atas-penilaian serupa itu jelas dianggap berlaku untuk keseluruhan rezim Bani Umayyah, khususnya sejak kekuasaan Marwan ibn al-Hakam (60-62 H/644-655 M).

Apalagi Marwan ini pernah menjabat sebagai pembantu utama Khalifah Utsman ibn 'Affan (22-35 H/644-656 M), dan diduga keras berada dibalik beberapa kebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarah Islam itu. Karenanya, sejak saat itu tumbuh oposisi keagamaan kepada rezim Damaskus, tidak saja oleh musuh tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari golongan Syi'ah dan Khawarij, tetapi juga oleh golongan Sunnah, yang kaum Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.



Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yang paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang amat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri, wafat 728 M). Pada masa kekuasaan Abd al-Malik ibn Marwan (memerintah 685-705 M), Hasan pernah menulis surat kepada Khalifah, menuntut agar rakyat diberi kebebasan untuk melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga dengan begitu ada tempat bagi tanggung-jawab moral.

Suratnya itu bernada menggugat praktik-praktik zalim penguasa Umawi. Namun Hasan dibiarkan bebas oleh pemerintah, disebabkan wibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya yang amat besar kepada masyarakat luas.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id bahwa keduanya pernah menyaksikan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Tidaklah ada suatu kaum duduk sambil berdzikir kepada Allah, kecuali para Malaikat akan mengelilingi mereka, dan akan diselubungi rahmat, akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), dan Allah akan menyebut-nyebut orang-orang yang ada disisi-Nya.

(HR. Sunan Ibnu Majah No. 3781)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More