Tasawuf: Kelakuan Aneh sampai Paham Wahdatul Wujud
Senin, 14 Oktober 2024 - 11:21 WIB
MISTISME atau pengalaman mistis, tidak terkecuali yang ada pada kaum Sufi , selalu mengarah ke dalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi.
Oleh karena itu, pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Oleh karena itu sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain, lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan memandangnya, dengan penuh pengertian, jika tidak malah kekaguman.
Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" mengatakan berbagai cerita tentang " wali " yang berkelakuan aneh, seperti banyak terdapat di berbagai negeri dan daerah Islam, adalah kelanjutan dari persepsi mistis ini.
Karena itu, kata Cak Nur, bagi mereka yang lebih melihat diri mereka sebagai pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah laku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikan yang absurd tanpa makna, jika bukannya kesintingan atau bahkan tarikan setan yang sesat.
Menurutnya, kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir, ialah yang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar, yang mengarah kepada paham "kesatuan eksistensial" (wahdat al-wujud).
Selain berbagai tokoh yang sudah dikenal umum, seperti al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar , penganut dan pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah Ibn 'Arabi.
Dalam bukunya "Fushush al-Hikam", Ibn Arabi berdendang dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan Tuhan:
Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya,
dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya.
Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan
dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya.
Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya
lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya
Maka mana mungkin Ia tiada perlu,
padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?
Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku,
sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya
Begitulah, sabda telah datang kepada kita,
dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.
Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub para wali" (quthb al-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulama Syariah sebagai yang paling bertanggungjawab atas penyelewengan-penyelewengan dalam Islam, khususnya yang terjadi di kalangan kaum Sufi.
Namun bagi para pengikutnya dia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung).
Menurut Cak Nur, kesulitan memahami literatur kesufian, seperti karya-karya Ibn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran di dalamnya sering menggunakan kata kiasan (matsal) dan pelambang (ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini (ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadis Nabi.
Maka meskipun mereka menggunakan metode ta'wil mereka sebenarnya tetap berpegang kepada sumber-sumber suci itu.
Hanya saja, sejalan dengan metode mereka, mereka tidak memahami sumber-sumber itu menurut bunyi lahiriah tekstualnya.
"Inilah pangkal kontroversi mereka dengan kaum Syariah," kata Cak Nur. Maka tidak jarang kaum Syari'ah mengutuk mereka sebagai sesat.
Oleh karena itu, pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Oleh karena itu sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain, lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan memandangnya, dengan penuh pengertian, jika tidak malah kekaguman.
Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid atau Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban" mengatakan berbagai cerita tentang " wali " yang berkelakuan aneh, seperti banyak terdapat di berbagai negeri dan daerah Islam, adalah kelanjutan dari persepsi mistis ini.
Karena itu, kata Cak Nur, bagi mereka yang lebih melihat diri mereka sebagai pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah laku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikan yang absurd tanpa makna, jika bukannya kesintingan atau bahkan tarikan setan yang sesat.
Menurutnya, kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir, ialah yang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar, yang mengarah kepada paham "kesatuan eksistensial" (wahdat al-wujud).
Selain berbagai tokoh yang sudah dikenal umum, seperti al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar , penganut dan pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah Ibn 'Arabi.
Dalam bukunya "Fushush al-Hikam", Ibn Arabi berdendang dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan Tuhan:
Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya,
dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya.
Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan
dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya.
Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya
lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya
Maka mana mungkin Ia tiada perlu,
padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?
Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku,
sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya
Begitulah, sabda telah datang kepada kita,
dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.
Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub para wali" (quthb al-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulama Syariah sebagai yang paling bertanggungjawab atas penyelewengan-penyelewengan dalam Islam, khususnya yang terjadi di kalangan kaum Sufi.
Namun bagi para pengikutnya dia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung).
Baca Juga
Menurut Cak Nur, kesulitan memahami literatur kesufian, seperti karya-karya Ibn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran di dalamnya sering menggunakan kata kiasan (matsal) dan pelambang (ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini (ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadis Nabi.
Maka meskipun mereka menggunakan metode ta'wil mereka sebenarnya tetap berpegang kepada sumber-sumber suci itu.
Hanya saja, sejalan dengan metode mereka, mereka tidak memahami sumber-sumber itu menurut bunyi lahiriah tekstualnya.
"Inilah pangkal kontroversi mereka dengan kaum Syariah," kata Cak Nur. Maka tidak jarang kaum Syari'ah mengutuk mereka sebagai sesat.
(mhy)