Kisah Tabiin Ibnu Sirin: Pelopor Ilmu Interpretasi Mimpi dalam Islam
Sabtu, 21 Desember 2024 - 19:32 WIB
Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam "Mereka adalah Para Tabiin" menceritakan Shafiyah adalah seorang gadis muda yang cerah wajahnya, baik hatinya, pandai dan sangat disayangi penduduk Madinah yang mengenalnya.
Sedangkan Sirin, menurut Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya, dan menjaga kehormatannya. "Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak ia menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat berutung mendapatkan dia,” kata Anas saat menjawab Khalifah Abu Bakar tentang siapa Sirin.
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah . Kepada merekalah Ibnu Sirin belajar agama Islam.
Abdurrahman Ra'fat Basya menjelaskan pada saat remaja keluarga ini pindah ke Basrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Ketika itu, Basrah termasuk kota baru yang dibangun kaum muslimin pada akhir masa khalifah al-Faruq Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Kota tersebut merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah, sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan hendak mati keesokan harinya.
Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Basrah dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.
Telah menjadi kebiasaan, ketika matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Basrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Alquran dengan sepenuh jiwa sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai keluarga, tetangga, dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.
Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan orang-orang akan kehidupan akhirat dan menjelaskan tentang hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mendekatkan diri kepada Allah.
Beliaulah yang selalu menjadi penengah bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau menghibur dengan cerita-cerita yang menyenangkan.
Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah mengambil hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila seseorang sedang lupa diri segera sadar begitu melihat Ibnu Sirin di pasar, mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian bertahlil serta bertakbir.
Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau harus rugi secara materi untuk itu.
Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama. Wawasan yang tajam untuk membedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Ada kalanya sikap beliau mengundang keheranan bagi sebagian orang.
Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin berutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau membayarnya, lalu orang itu menantang, “Engkau berani bersumpah?” Orang itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun ternyata Ibnu Sirin menyanggupi dan ia bersumpah.
Orang-orang berkata, “Wahai Abu Bakar, mengapa Anda rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu.”
Beliau menjawab, “Aku bersumpah karena tidak ingin dia makan harta yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram baginya.”
Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian, dan nasihat. Jika seseorang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.
Bahkan pernah beliau mendengar seseorang memaki Hajjaj bin Yusuf setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, “Tahanlah wahai putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabbnya. Saat engkau datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa dosa terkecil yang kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.”
Sedangkan Sirin, menurut Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya, dan menjaga kehormatannya. "Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak ia menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat berutung mendapatkan dia,” kata Anas saat menjawab Khalifah Abu Bakar tentang siapa Sirin.
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah . Kepada merekalah Ibnu Sirin belajar agama Islam.
Abdurrahman Ra'fat Basya menjelaskan pada saat remaja keluarga ini pindah ke Basrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Ketika itu, Basrah termasuk kota baru yang dibangun kaum muslimin pada akhir masa khalifah al-Faruq Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Kota tersebut merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah, sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan hendak mati keesokan harinya.
Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Basrah dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.
Telah menjadi kebiasaan, ketika matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Basrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Alquran dengan sepenuh jiwa sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai keluarga, tetangga, dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.
Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan orang-orang akan kehidupan akhirat dan menjelaskan tentang hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mendekatkan diri kepada Allah.
Beliaulah yang selalu menjadi penengah bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau menghibur dengan cerita-cerita yang menyenangkan.
Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah mengambil hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila seseorang sedang lupa diri segera sadar begitu melihat Ibnu Sirin di pasar, mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian bertahlil serta bertakbir.
Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau harus rugi secara materi untuk itu.
Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama. Wawasan yang tajam untuk membedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Ada kalanya sikap beliau mengundang keheranan bagi sebagian orang.
Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin berutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau membayarnya, lalu orang itu menantang, “Engkau berani bersumpah?” Orang itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun ternyata Ibnu Sirin menyanggupi dan ia bersumpah.
Orang-orang berkata, “Wahai Abu Bakar, mengapa Anda rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu.”
Beliau menjawab, “Aku bersumpah karena tidak ingin dia makan harta yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram baginya.”
Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian, dan nasihat. Jika seseorang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.
Bahkan pernah beliau mendengar seseorang memaki Hajjaj bin Yusuf setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, “Tahanlah wahai putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabbnya. Saat engkau datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa dosa terkecil yang kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.”
Lihat Juga :