Raja’ bin Haiwah: Pemegang Surat Wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik
Kamis, 26 Desember 2024 - 18:35 WIB
“Belum pernah beliau setenang ini semenjak sakitnya,” Raja’ menjawab.
“Alhamdulillah,” sambut mereka.
Setelah itu Raja’ meminta agar Ka’ab bin Hamiz mengumpulkan semua keluarga khalifah di masjid Dabik. Setelah semuanya hadir, Raja’ berkata, “Berbaiatlah kalian kepada orang yang tercantum namanya dalam surat ini.”
Mereka berkata, “Kami sudah berbaiat kemarin, mengapa harus berbaiat lagi?”
“Ini adalah perintah Amirul Mukminin. Kalian harus menaati perintahnya untuk membaiat orang yang tersebut namanya dalam surat ini,” ujar Raja’ tegas.
Satu persatu mereka pun berbaiat. Setelah segalanya berjalan dengan lancar, baru kemudian Raja’ berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah wafat, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Selanjutnya Raja’ membaca surat wasiat Amirul Mukminin, ketika nama Umar bin Abdul Aziz disebut, spontan Hisyam bin Abdul Malik berteriak: “Aku tidak akan membaiat dia selamanya!”
“Kalau begitu –demi Allah- aku akan memenggal lehermu, bersegeralah engkau baiat dia,” bentak Raja’.
Akhirnya sambil menyeret kedua kakinya Hisyam bin Abdul Malik berjalan menuju Umar bin Abdul Aziz, lalu berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.” Dia sesalkan mengapa khalifah jatuh ke tangan Umar dan bukan ke tangan salah satu putra Abdul Malik.
Umar pun menjawab, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau menyesali mengapa beliau harus mengemban tugas khalifah.
Tentang Raja’ bin Haiwah
Beliau lahir di Bisaan Palestina, kira-kira di akhir masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu a’nhu . Asal-usulnya dari kabilah Kindah Arab. Raja’ adalah orang Palestina dari keturunan Arab dan keluarga Bani Kindah. Beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah sejak kecil, dicintai Allah dan menyenangkan hati hamba-hamba-Nya.
Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menyebutkan Raja’ gemar mencari ilmu sejak awal pertumbuhannya, dan ilmu pun serasa cocok bersemayam di hatinya yang subur dan mengisi celah-celahnya yang masih kosong.
Semangatnya yang paling besar adalah ketika mempelajari dan mendalami Kitabullah, serta membekali diri dengan hadis-hadis Nabi. Pikirannya diterangi oleh cahaya Alquran, pandangannya disinari oleh hidayah nubuwah, dan dadanya penuh dengan nasihat dan hikmah. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh berarti telah diberi karunia yang banyak.
Beruntung, menurut Abdurrahman Ra’at, beliau mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari para sahabat seperti Abu Sa’id al-Khudri, Abu Darda, Abu Umamah, Ubadah bin Shamit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Amru bin Ash, Nawwas bin Sam’an dan lain-lain. Mereka semua menjadi lentera hidayah dan cahaya pengetahuan bagi beliau.
Raja’ menetapkan kedisiplinan atas dirinya sendiri. Motto yang dipelihara dan diulang-ulang sepanjang hayatnya adalah:
Betapa indahnya Islam bila berhiaskan iman
Betapa indahnya iman bila berhiaskan takwa
“Alhamdulillah,” sambut mereka.
Setelah itu Raja’ meminta agar Ka’ab bin Hamiz mengumpulkan semua keluarga khalifah di masjid Dabik. Setelah semuanya hadir, Raja’ berkata, “Berbaiatlah kalian kepada orang yang tercantum namanya dalam surat ini.”
Mereka berkata, “Kami sudah berbaiat kemarin, mengapa harus berbaiat lagi?”
“Ini adalah perintah Amirul Mukminin. Kalian harus menaati perintahnya untuk membaiat orang yang tersebut namanya dalam surat ini,” ujar Raja’ tegas.
Satu persatu mereka pun berbaiat. Setelah segalanya berjalan dengan lancar, baru kemudian Raja’ berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah wafat, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Selanjutnya Raja’ membaca surat wasiat Amirul Mukminin, ketika nama Umar bin Abdul Aziz disebut, spontan Hisyam bin Abdul Malik berteriak: “Aku tidak akan membaiat dia selamanya!”
“Kalau begitu –demi Allah- aku akan memenggal lehermu, bersegeralah engkau baiat dia,” bentak Raja’.
Akhirnya sambil menyeret kedua kakinya Hisyam bin Abdul Malik berjalan menuju Umar bin Abdul Aziz, lalu berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.” Dia sesalkan mengapa khalifah jatuh ke tangan Umar dan bukan ke tangan salah satu putra Abdul Malik.
Umar pun menjawab, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau menyesali mengapa beliau harus mengemban tugas khalifah.
Tentang Raja’ bin Haiwah
Beliau lahir di Bisaan Palestina, kira-kira di akhir masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu a’nhu . Asal-usulnya dari kabilah Kindah Arab. Raja’ adalah orang Palestina dari keturunan Arab dan keluarga Bani Kindah. Beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah sejak kecil, dicintai Allah dan menyenangkan hati hamba-hamba-Nya.
Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menyebutkan Raja’ gemar mencari ilmu sejak awal pertumbuhannya, dan ilmu pun serasa cocok bersemayam di hatinya yang subur dan mengisi celah-celahnya yang masih kosong.
Semangatnya yang paling besar adalah ketika mempelajari dan mendalami Kitabullah, serta membekali diri dengan hadis-hadis Nabi. Pikirannya diterangi oleh cahaya Alquran, pandangannya disinari oleh hidayah nubuwah, dan dadanya penuh dengan nasihat dan hikmah. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh berarti telah diberi karunia yang banyak.
Beruntung, menurut Abdurrahman Ra’at, beliau mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari para sahabat seperti Abu Sa’id al-Khudri, Abu Darda, Abu Umamah, Ubadah bin Shamit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Amru bin Ash, Nawwas bin Sam’an dan lain-lain. Mereka semua menjadi lentera hidayah dan cahaya pengetahuan bagi beliau.
Raja’ menetapkan kedisiplinan atas dirinya sendiri. Motto yang dipelihara dan diulang-ulang sepanjang hayatnya adalah:
Betapa indahnya Islam bila berhiaskan iman
Betapa indahnya iman bila berhiaskan takwa
Lihat Juga :