Rumi: Kitab Sang Sufi Bukanlah Huruf-Huruf yang Kelam
Senin, 07 September 2020 - 08:40 WIB

Ilustrasi/Ist
KONSEPSI sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan. Maulana Jalaluddin Rumi memahaminya sebagai berikut, "Jika seseorang benar-benar bijaksana dan tidak memiliki kebodohan, ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya sendiri. Oleh karena itu, kebodohan bisa dihargai, sebab ia berarti bagi kelangsungan eksistensi. Kebodohan dalam perubahan ini merupakan kolaborator hikmah, sebagaimana malam dan siang saling melengkapi." (Baca juga: Rumi: Apa yang Tampak Sebuah Batu bagi Orang Biasa, Adalah Mutiara bagi Sang Alim )
Idries Shah dalam The Sufis menulis, bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain dalam sufisme . Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam sebagaimana kita memahaminya.
Individu itu, selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat. Apa makna pernyataan ini dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi, di luar dunia penulisan semata. (Baca juga: Rumi: Di Musim Dingin, Sebuah Pohon Tengah Mengumpulkan Makanan )
Rumi mengingatkan kita pada lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: "Kitab sang sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu."
Sekarang sang sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar. Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya. (Baca juga: Jalaluddin Rumi dan Asal-Usul Tarekat Darwis Berputar )
Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah para peniru yang mengaku sebagai sufi. Sementara orang yang mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang. Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme.
Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi. Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: "Peniru itu seperti penyalur. Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa memindahkan air kepada orang yang kehausan." (Baca juga: Jalaluddin Rumi, Raksasa Afghanistan yang Mempengaruhi Barat )
Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu, sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang telah dikembangkan selama berabad-abad.
Dengan menggunakan fabel, Matsnawi mencatat jenjang dari pengalaman ini.
Baca juga: Demokrat Tak Khawatir Hubungan dengan PDIP Memburuk
Seekor singa memasuki sebuah kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia duduk ditempat si sapi. Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu.
Si singa berkata dalam hati, "Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan. Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya."
Baca juga: Kemarin Pusing Nyari Vaksin, Sekarang Ribet Nentuin Harganya
Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.
Pemahaman terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi. Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama?
Baca juga: 6 Megaproyek Termahal, dari Jalan Tol hingga Membangun Kota Masa Depan
Rumi menggambarkan pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita dari keseluruhan itu. "Dua pengemis," katanya, "mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar. Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar selesai dimasak untuknya."
Baca juga: Megaproyek Kilang Nasional Diyakini Bisa Selesai Tepat Waktu
Cerita ini menggambarkan suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui. Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh. Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan dan memberikan suatu "pandangan kilas" yang berlangsung dengan sendirinya.
Baca juga: Mulyadi-Ali Mukhni Kembalikan Dukungan, PDIP Pilih Tak Ikut Pilgub Sumbar
"Engkau dikuasai oleh dunia dimensi," senandung Rumi dalam sebuah syairnya, "tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!"
Idries Shah dalam The Sufis menulis, bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain dalam sufisme . Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam sebagaimana kita memahaminya.
Individu itu, selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat. Apa makna pernyataan ini dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi, di luar dunia penulisan semata. (Baca juga: Rumi: Di Musim Dingin, Sebuah Pohon Tengah Mengumpulkan Makanan )
Rumi mengingatkan kita pada lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: "Kitab sang sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu."
Sekarang sang sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar. Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya. (Baca juga: Jalaluddin Rumi dan Asal-Usul Tarekat Darwis Berputar )
Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah para peniru yang mengaku sebagai sufi. Sementara orang yang mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang. Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme.
Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi. Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: "Peniru itu seperti penyalur. Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa memindahkan air kepada orang yang kehausan." (Baca juga: Jalaluddin Rumi, Raksasa Afghanistan yang Mempengaruhi Barat )
Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu, sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang telah dikembangkan selama berabad-abad.
Dengan menggunakan fabel, Matsnawi mencatat jenjang dari pengalaman ini.
Baca juga: Demokrat Tak Khawatir Hubungan dengan PDIP Memburuk
Seekor singa memasuki sebuah kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia duduk ditempat si sapi. Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu.
Si singa berkata dalam hati, "Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan. Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya."
Baca juga: Kemarin Pusing Nyari Vaksin, Sekarang Ribet Nentuin Harganya
Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.
Pemahaman terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi. Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama?
Baca juga: 6 Megaproyek Termahal, dari Jalan Tol hingga Membangun Kota Masa Depan
Rumi menggambarkan pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita dari keseluruhan itu. "Dua pengemis," katanya, "mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar. Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar selesai dimasak untuknya."
Baca juga: Megaproyek Kilang Nasional Diyakini Bisa Selesai Tepat Waktu
Cerita ini menggambarkan suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui. Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh. Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan dan memberikan suatu "pandangan kilas" yang berlangsung dengan sendirinya.
Baca juga: Mulyadi-Ali Mukhni Kembalikan Dukungan, PDIP Pilih Tak Ikut Pilgub Sumbar
"Engkau dikuasai oleh dunia dimensi," senandung Rumi dalam sebuah syairnya, "tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!"
(mhy)
Lihat Juga :