Jalaluddin Rumi dan Asal-Usul Tarekat Darwis Berputar
loading...
A
A
A
ADA tiga dokumen di mana melalui ini karya Jalaluddin Rumi bisa dikaji oleh dunia luar. Kitab Matsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin -- terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran pendengarnya. (
)
Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas.
Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna, yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam pengalaman manusia biasa. (
)
Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.
Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.
"Matsnawi," katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), "mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafslran nash-nash Qur'ani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi."
Menurut Idries Shah dalam The Sufis, bagi Sufi , jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di dalam dirinya yang terdalam.
Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) -- suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.
Pesan ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya.
Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.
Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental, pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam. Gerakan-gerakan "tubuh-pikiran" dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini.
Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. "Doa," ucap Rumi, "memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan."
Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak populer -- bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme -- ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.
Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama. Ia menekankan bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga) terorganisir, tidaklah benar.
Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Baginya (Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan.
Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal. Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen). "Agama sejati," tuturnya, "adalah berbeda dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma."
"Di dunia ini," ucapnya, "tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain."
Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh.
"Manusia," tuturnya, "melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja --manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, 'Aku menyembah Tuhan,' maupun, 'Aku tidak menyembah Tuhan.' Ia telah melewati tahapan ketiga."
Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian -- gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain.
Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas.
Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna, yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam pengalaman manusia biasa. (
Baca Juga
Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.
Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.
"Matsnawi," katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), "mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafslran nash-nash Qur'ani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi."
Menurut Idries Shah dalam The Sufis, bagi Sufi , jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di dalam dirinya yang terdalam.
Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) -- suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.
Pesan ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya.
Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.
Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental, pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam. Gerakan-gerakan "tubuh-pikiran" dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini.
Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. "Doa," ucap Rumi, "memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan."
Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak populer -- bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme -- ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.
Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama. Ia menekankan bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga) terorganisir, tidaklah benar.
Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Baginya (Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan.
Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal. Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen). "Agama sejati," tuturnya, "adalah berbeda dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma."
"Di dunia ini," ucapnya, "tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain."
Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh.
"Manusia," tuturnya, "melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja --manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, 'Aku menyembah Tuhan,' maupun, 'Aku tidak menyembah Tuhan.' Ia telah melewati tahapan ketiga."
Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian -- gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain.