Sufisme Bekerja dengan Bahan-Bahan yang Terlihat dan Tidak
Rabu, 09 September 2020 - 09:07 WIB

Ilustrasi/Ist
IDRIES Shah dalam The Sufis menekankan sufi menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik, karena mereka percaya bahwa pelatihan pikiran dengan cara obsesif dan satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran. (Baca juga: Jalaluddin Rumi: Jawaban untuk Seseorang yang Bodoh Adalah Diam )
Demikian pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Maulana Jalaluddin Rumi menekankan keseimbangan dari semua kemampuan itu.
Kesatuan pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan yang dicari oleh para sufi itu didasarkan pada cinta -- tema yang ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab sufi. (Baca juga: Rumi: Kitab Sang Sufi Bukanlah Huruf-Huruf yang Kelam )
Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di mana pun hal itu bisa ditemukan. (Baca juga: Rumi: Apa yang Tampak Sebuah Batu bagi Orang Biasa, Adalah Mutiara bagi Sang Alim )
Kekuatan asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran dari dasar arus sufistik ini telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru.
Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India, sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman. (Baca juga: Rumi: Di Musim Dingin, Sebuah Pohon Tengah Mengumpulkan Makanan )
Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan di mana para lawannya adalah di antara mereka sendiri.
Atmosfir unik dari madzhab-madzhab sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar. (Baca juga: Jalaluddin Rumi dan Asal-Usul Tarekat Darwis Berputar )
Idries Shah mengatakan adalah benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktik sufi yang sesungguhnya -- kerja, pemikiran, kehidupan dan seni.
Baca juga: Nah Lo! Karyawan Gaji di Atas Rp5 Juta Tapi Dapat BLT Disuruh Balikin ke BPJS
Namun bahkan seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan terhadap semua hal itu.
Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang dirinya sebagai seorang sufi, meskipun tidak diakui oleh metode sufi mana pun.
Baca juga: Gawat! HRD Perusahaan Setor Rekening BLT Palsu ke BPJS Bakal Dipenjara
Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah menjadi sedikit lebih sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang. Menurut Idries Shah, "sufi intelektual" merupakan kegemaran mutakhir di Barat.
Demikian pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Maulana Jalaluddin Rumi menekankan keseimbangan dari semua kemampuan itu.
Kesatuan pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan yang dicari oleh para sufi itu didasarkan pada cinta -- tema yang ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab sufi. (Baca juga: Rumi: Kitab Sang Sufi Bukanlah Huruf-Huruf yang Kelam )
Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di mana pun hal itu bisa ditemukan. (Baca juga: Rumi: Apa yang Tampak Sebuah Batu bagi Orang Biasa, Adalah Mutiara bagi Sang Alim )
Kekuatan asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran dari dasar arus sufistik ini telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru.
Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India, sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman. (Baca juga: Rumi: Di Musim Dingin, Sebuah Pohon Tengah Mengumpulkan Makanan )
Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan di mana para lawannya adalah di antara mereka sendiri.
Atmosfir unik dari madzhab-madzhab sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar. (Baca juga: Jalaluddin Rumi dan Asal-Usul Tarekat Darwis Berputar )
Idries Shah mengatakan adalah benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktik sufi yang sesungguhnya -- kerja, pemikiran, kehidupan dan seni.
Baca juga: Nah Lo! Karyawan Gaji di Atas Rp5 Juta Tapi Dapat BLT Disuruh Balikin ke BPJS
Namun bahkan seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan terhadap semua hal itu.
Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang dirinya sebagai seorang sufi, meskipun tidak diakui oleh metode sufi mana pun.
Baca juga: Gawat! HRD Perusahaan Setor Rekening BLT Palsu ke BPJS Bakal Dipenjara
Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah menjadi sedikit lebih sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang. Menurut Idries Shah, "sufi intelektual" merupakan kegemaran mutakhir di Barat.
(mhy)
Lihat Juga :