Memutus Mata Rantai Korupsi dengan Pendekatan Agama
Kamis, 24 September 2020 - 22:43 WIB
Sabir Laluhu
Wartawan Koran SINDO
Guna memutus mata rantai korupsi , KPK juga telah menyusun dan menerbitkan buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama". Cetakan pertama buku ini diterbitkan pada Desember 2019 atau diujung masa pimpinan KPK periode 2015-2019. Buku ini terdiri dari tujuh BAB dengan lima BAB berisi (secara berurutan) tentang gratifikasi dalam perspektif agama Buddha, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen. Dalam penyusunan buku, KPK melalui Tim Direktorat Dikyanmas menggandeng lima direktorat jenderal (ditjen) di Kementerian Agama (Kemenag). Masing-masing Ditjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Buddha, Bimas Hindu, Bimas Islam, Bimas Katolik, dan Bimas Kristen.
Buku ini diluncurkan resmi oleh KPK dan Kemenag Rabu, 8 Juli 2020. Peluncuran disertai diskusi dilakukan secara virtual melalui video telekonferensi. Hadir saat acara di antaranya Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Wakil Menteri Agama KH Zainut Tauhid Sa’adi. Sedangkan salinan softcopy buku sudah jauh hari tersedia dan dapat diunduh secara gratis di laman resmi KPK, melalui tautan https://www.kpk.go.id/id/publikasi/kajian-dan-penelitian/papers-antikorupsi/1395-gratifikasi-dalam-perspektif-agama. ( )
Nurul Ghufron menyatakan, secara hukum positif maupun secara sosiologi dan keagamaan jelas sekali bahwa gratifikasi tidak diperbolehkan dalam agama apapun. Ghufron membeberkan, hakikatnya ada perbedaan signifikan antara gratifikasi, suap, dan pemerasan. Secara singkat, kata dia, gratifikasi adalah pemberian sesuatu yang inisiatifnya dari pemberi. Suap inisiasi pemberi dan penerima bertemu (meeting of mind) dan ada kesepakatan di antara keduanya. Untuk pemerasan termasuk pemerasan dalam jabatan, inisiasinya berasal dari penerima.
"Prinsipnya, hadiah antar anak bangsa boleh dan dianjurkan saling memberi, sepanjang itu tidak ada kaitannya dengan jabatan, syarat, dan tujuan. Pemberian yang tidak boleh itu adalah pemberian kepada pejabat dengan maksud dan tujuan tertentu. Karena pemberian itu dikhawatirkan akan mempengaruhi ketika akan memutuskan kebijakan. Makanya dalam undang-undang, pemberian hadiah kepada pejabat itu dilarang," tegas Ghufron.
Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini mengungkapkan, KPK sangat yakin bahwa buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama" bisa mencerahkan bagi masyarakat Indonesia baik dari sisi hukum maupun sisi sosiologis bahwa gratifkasi melanggar ajaran agama. Harapannya buku ini dapat disebarluaskan dan dapat dibaca masyarakat Indonesia.
"Buku ini bisa menjadi benang merah di antara benang-benang yang kelabu. Sebenarnya agama di Indonesia tidak ada yang menerima gratifikasi . Kami berharap buku ini memberi kepastian bahwa yang disebut infaq, sedekah, hadiah itu berbeda dengan gratifikasi ," ungkap Ghufron.
KH Zainut Tauhid Sa'adi menggariskan, penyebarluasan kesadaran menghindari gratifikasi yang dilarang dalam perspektif agama sangat diperlukan untuk mencegah lebih awal terjadinya korupsi . Dia menegaskan, masyarakat atau dalam hal ini umat beragama perlu memahami secara jernih substansi gratifikasi dengan benar. Karenanya buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama" menjadi medium penting untuk penyebarluasan kesadaran dan pemahaman bagi masyarakat luas.
Zainut mengungkapkan, dalam konteks ajaran agama Buddha misalnya, dikenal sebuah ajaran berdana atau dana paramitha yang bermakna pemberian tanpa pamrih dengan harapan melepas keterikatan demi kebahagian semua makhluk. Pemberian seperti itu, tutur dia, merupakan wujud kedermawanan atau kemurahan hati yang didasari sifat luhur untuk beramal atau berkorban demi kepentingan umum.
"Praktik gratifikasi jelas berlawanan dengan prinsip ajaran ini. Seorang pemberi gratifikasi mengharapkan sesuatu dari penerima untuk kepentingan pribadinya dalam bentuk imbalan. Maka, praktik semacam ini justru akan menambah nafsu atau keserakahan," tegas Zainut.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini membeberkan, peran para pemuka agama selaku rujukan umat bersama pembimbing masyarakat dan penyuluh agama pun sangat diharapkan dalam upaya penyebarluasan pengetahuan tentang gratifikasi . Tentu saja kata dia, peran aktif tersebut bertujuan agar upaya pemberantasan korupsi termasuk di dalamnya pencegahan korupsi berjalan baik dan konsisten.
"Mari kita jadikan momentum yang baik ini untuk memperkuat program kerja Kementerian Agama yang lebih berintegritas, menjunjung nilai-nilai ajaran agama, moral, dan etika khususnya program pemberantasan korupsi," katanya.
Zainut menegaskan, upaya pengendalian gratifikasi di internal Kemenag sampai tingkat terbawah pun harus dilakukan secara terus-menerus. Langkah pengendalian gratifikasi, tutur dia, wajib dan harus didukung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Kemenag. Perwujudannya yakni dengan tidak melakukan pelayanan berlebihan dan/atau memberikan suatu pemberian dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas yang dapat berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
"Senantiasa menolak pemberian gratifikasi yang dilarang serta tidak menggunakan fasilitas dinas di luar (selain) aktivitas kedinasan, dan berusaha menjadi contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tugas dan kewajiban. Itu yang harus kita bersama lakukan," paparnya.
Dia menambahkan, komitmen pengendalian gratifikasi di lingkungan Kemenag pun tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengendalian Gratifikasi pada Kementerian Agama. Zainut menjelaskan, PMA tersebut telah mengatur dengan jelas bahwa pegawai dan pejabat di lingkungan Kemenag wajib menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas. Di dalam PMA pun telah termaktub mana kategori gratifikasi yang wajib dilaporkan dan yang tidak wajib dilaporkan.
"Sebagai Aparatur Sipil Negara, saudara-saudara wajib memahami kategori gratifikasi baik yang wajib dilaporkan, maupun yang tidak wajib dilaporkan sehingga dapat mengimplementasikannya dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas," ucap Zainut.
Guna menindaklanjuti kegiatan ini, KPK bersama Kemenag bersepakat akan melengkapi seri buku gratifikasi dalam perspektif agama lainnya yaitu Konghucu. Proses penyusunan masih sedang berlangsung. Rencananya buku tersebut akan rampung dan diterbitkan pada tahun ini. ( )
Pandangan Agama Terhadap Gratifikasi
Selain itu, penulis ingin menghadirkan perspektif tiga agama sebagaimana yang ada dalam buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama". Pertama, perspektif agama Hindu. Beragama bukan hanya memuja Tuhan dengan berbagai ritual keagamaan, melainkan juga menerapkan ajaran agama dalam semua aspek kehidupan bahkan pada semua sisi kegiatan dan tindakan. Oleh karena itu, agama Hindu mengajarkan agar manusia mengamalkan asih, puniya, dan bhakti di dalam semesta ciptaan-Nya.
Wartawan Koran SINDO
Guna memutus mata rantai korupsi , KPK juga telah menyusun dan menerbitkan buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama". Cetakan pertama buku ini diterbitkan pada Desember 2019 atau diujung masa pimpinan KPK periode 2015-2019. Buku ini terdiri dari tujuh BAB dengan lima BAB berisi (secara berurutan) tentang gratifikasi dalam perspektif agama Buddha, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen. Dalam penyusunan buku, KPK melalui Tim Direktorat Dikyanmas menggandeng lima direktorat jenderal (ditjen) di Kementerian Agama (Kemenag). Masing-masing Ditjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Buddha, Bimas Hindu, Bimas Islam, Bimas Katolik, dan Bimas Kristen.
Buku ini diluncurkan resmi oleh KPK dan Kemenag Rabu, 8 Juli 2020. Peluncuran disertai diskusi dilakukan secara virtual melalui video telekonferensi. Hadir saat acara di antaranya Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Wakil Menteri Agama KH Zainut Tauhid Sa’adi. Sedangkan salinan softcopy buku sudah jauh hari tersedia dan dapat diunduh secara gratis di laman resmi KPK, melalui tautan https://www.kpk.go.id/id/publikasi/kajian-dan-penelitian/papers-antikorupsi/1395-gratifikasi-dalam-perspektif-agama. ( )
Nurul Ghufron menyatakan, secara hukum positif maupun secara sosiologi dan keagamaan jelas sekali bahwa gratifikasi tidak diperbolehkan dalam agama apapun. Ghufron membeberkan, hakikatnya ada perbedaan signifikan antara gratifikasi, suap, dan pemerasan. Secara singkat, kata dia, gratifikasi adalah pemberian sesuatu yang inisiatifnya dari pemberi. Suap inisiasi pemberi dan penerima bertemu (meeting of mind) dan ada kesepakatan di antara keduanya. Untuk pemerasan termasuk pemerasan dalam jabatan, inisiasinya berasal dari penerima.
"Prinsipnya, hadiah antar anak bangsa boleh dan dianjurkan saling memberi, sepanjang itu tidak ada kaitannya dengan jabatan, syarat, dan tujuan. Pemberian yang tidak boleh itu adalah pemberian kepada pejabat dengan maksud dan tujuan tertentu. Karena pemberian itu dikhawatirkan akan mempengaruhi ketika akan memutuskan kebijakan. Makanya dalam undang-undang, pemberian hadiah kepada pejabat itu dilarang," tegas Ghufron.
Mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini mengungkapkan, KPK sangat yakin bahwa buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama" bisa mencerahkan bagi masyarakat Indonesia baik dari sisi hukum maupun sisi sosiologis bahwa gratifkasi melanggar ajaran agama. Harapannya buku ini dapat disebarluaskan dan dapat dibaca masyarakat Indonesia.
"Buku ini bisa menjadi benang merah di antara benang-benang yang kelabu. Sebenarnya agama di Indonesia tidak ada yang menerima gratifikasi . Kami berharap buku ini memberi kepastian bahwa yang disebut infaq, sedekah, hadiah itu berbeda dengan gratifikasi ," ungkap Ghufron.
KH Zainut Tauhid Sa'adi menggariskan, penyebarluasan kesadaran menghindari gratifikasi yang dilarang dalam perspektif agama sangat diperlukan untuk mencegah lebih awal terjadinya korupsi . Dia menegaskan, masyarakat atau dalam hal ini umat beragama perlu memahami secara jernih substansi gratifikasi dengan benar. Karenanya buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama" menjadi medium penting untuk penyebarluasan kesadaran dan pemahaman bagi masyarakat luas.
Zainut mengungkapkan, dalam konteks ajaran agama Buddha misalnya, dikenal sebuah ajaran berdana atau dana paramitha yang bermakna pemberian tanpa pamrih dengan harapan melepas keterikatan demi kebahagian semua makhluk. Pemberian seperti itu, tutur dia, merupakan wujud kedermawanan atau kemurahan hati yang didasari sifat luhur untuk beramal atau berkorban demi kepentingan umum.
"Praktik gratifikasi jelas berlawanan dengan prinsip ajaran ini. Seorang pemberi gratifikasi mengharapkan sesuatu dari penerima untuk kepentingan pribadinya dalam bentuk imbalan. Maka, praktik semacam ini justru akan menambah nafsu atau keserakahan," tegas Zainut.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini membeberkan, peran para pemuka agama selaku rujukan umat bersama pembimbing masyarakat dan penyuluh agama pun sangat diharapkan dalam upaya penyebarluasan pengetahuan tentang gratifikasi . Tentu saja kata dia, peran aktif tersebut bertujuan agar upaya pemberantasan korupsi termasuk di dalamnya pencegahan korupsi berjalan baik dan konsisten.
"Mari kita jadikan momentum yang baik ini untuk memperkuat program kerja Kementerian Agama yang lebih berintegritas, menjunjung nilai-nilai ajaran agama, moral, dan etika khususnya program pemberantasan korupsi," katanya.
Zainut menegaskan, upaya pengendalian gratifikasi di internal Kemenag sampai tingkat terbawah pun harus dilakukan secara terus-menerus. Langkah pengendalian gratifikasi, tutur dia, wajib dan harus didukung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Kemenag. Perwujudannya yakni dengan tidak melakukan pelayanan berlebihan dan/atau memberikan suatu pemberian dalam bentuk uang, barang, atau fasilitas yang dapat berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
"Senantiasa menolak pemberian gratifikasi yang dilarang serta tidak menggunakan fasilitas dinas di luar (selain) aktivitas kedinasan, dan berusaha menjadi contoh dan teladan yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tugas dan kewajiban. Itu yang harus kita bersama lakukan," paparnya.
Dia menambahkan, komitmen pengendalian gratifikasi di lingkungan Kemenag pun tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengendalian Gratifikasi pada Kementerian Agama. Zainut menjelaskan, PMA tersebut telah mengatur dengan jelas bahwa pegawai dan pejabat di lingkungan Kemenag wajib menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas. Di dalam PMA pun telah termaktub mana kategori gratifikasi yang wajib dilaporkan dan yang tidak wajib dilaporkan.
"Sebagai Aparatur Sipil Negara, saudara-saudara wajib memahami kategori gratifikasi baik yang wajib dilaporkan, maupun yang tidak wajib dilaporkan sehingga dapat mengimplementasikannya dalam pelaksanaan kewajiban dan tugas," ucap Zainut.
Guna menindaklanjuti kegiatan ini, KPK bersama Kemenag bersepakat akan melengkapi seri buku gratifikasi dalam perspektif agama lainnya yaitu Konghucu. Proses penyusunan masih sedang berlangsung. Rencananya buku tersebut akan rampung dan diterbitkan pada tahun ini. ( )
Pandangan Agama Terhadap Gratifikasi
Selain itu, penulis ingin menghadirkan perspektif tiga agama sebagaimana yang ada dalam buku "Gratifikasi dalam Perspektif Agama". Pertama, perspektif agama Hindu. Beragama bukan hanya memuja Tuhan dengan berbagai ritual keagamaan, melainkan juga menerapkan ajaran agama dalam semua aspek kehidupan bahkan pada semua sisi kegiatan dan tindakan. Oleh karena itu, agama Hindu mengajarkan agar manusia mengamalkan asih, puniya, dan bhakti di dalam semesta ciptaan-Nya.