Ketika Kekuasaan Mengalami Kepanikan, Al-Qur'an Juga Mengisahkannya
Selasa, 06 Oktober 2020 - 14:14 WIB
Shamsi Ali Al-Kajangi
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation
Dalam sejarah kehidupan manusia ragam peristiwa yang terjadi dari masa ke masa kerap kali berulang dalam bentuk yang sama atau beda. Namun, tidak jarang memiliki makna dan tujuan yang sama.
Salah satu hal yang kita lihat sering terjadi dan terulang dalam sejarah manusia adalah hiruk pikuk, atau ungkapan yang lebih positif, dinamika politik yang terjadi dalam sebuah bangsa. Dinamika itu kerap kali menggoncang stabilitas nasional bangsa tersebut. Tapi tidak jarang juga membawa kepada sebuah perubahan positif. Dengan dinamika yang terjadi para stakeholder menyadari urgensi untuk melakukan perubahan.
Dalam sejarah, ada satu hal yang sering terjadi dan hampir pada semua bangsa. Hal ini saya akan sebut sebagai "kepanikan kekuasaan". Seringkali mereka yang berada di posisi kekuasaan merasa terancam, dan karenanya mengalami kepanikan. (
)
Kepanikan inilah yang biasanya menjadikan mereka yang berada di posisi kekuasaan itu mengambil sikap atau tindakan, yang tidak saja menekan lawan politiknya. Justru kebijakan itu biasanya bertentangan dengan kepentingan rakyat luas, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang secara konsensus diterima sebagai pijakan bersama.
Sebelum saya menyampaikan nilai-nilai yang dimaksud, saya ingin menyampaikan bahwa Al-Qur'an penuh dengan contoh-contoh kepanikan penguasa sepanjang sejarah manusia. Dari zaman Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa, Isa AS, hingga ke zaman "khataman nabiyyin" (penutup para Nabi), Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Pada umumnya dipahami bahwa penentangan pembesar-pembesar di zaman para Nabi itu karena alasan keagamaan. Pemahaman ini boleh benar, tapi boleh jadi juga tidak benar.
Ambillah sebagai misal kekejaman Fir'aun kepada Bani Israel , dan resistensinya kepada Musa AS. Dalam sejarah yang disampaikan oleh Al-Qur'an , awal pembasmian anak-anak lelaki dari kalangan Bani Israel karena kekhawatiran terhadap ancaman kekuasaannya.
Maka walaupun kita ketahui bahwa resistensi itu tidak bisa dipisahkan dari dakwah Nabi Musa kepada Tauhid . Artinya di sini aspek agama kemudian menjadi alasan. Tapi dengan melihat kepada asal awal dari kebencian itu adalah karena panik kekuasaan tadi.
Di sinilah kemudian dipahami bahwa konteks penentangan kepada Dakwah Tauhid tidak selalu murni karena alasan agama. Justru Tauhid karena Tauhid dianggap ancaman terhadap kekuasaan itu sendiri.
Dengan Tauhid mereka yang diktator dan merasa berkuasa mutlak merasa terganggu atau terancam. Sebab Tauhid mengajarkan kesetaraan manusia. Bahwa kekuasaan adalah amanah yang diberikan kepada penguasa untuk memberikan pelayanan (khidmah) kepada rakyat.
Dari semua di atas jelas bahwa berbagai sikap dan kebijakan yang mereka lakukan untuk menghalangi perkembangan dakwah para rasul Allah tidak bisa dilepaskan dari apa yang saya sebutkan sebagai "kepanikan kekuasaan".
Penguasa akan melakukan berbagai cara untuk meredam apa yang dianggap ancaman kepada kekuasaannya. Dari yang halus, intimidatif, hingga kepada kekerasan terbuka.
Ambillah sebagai contoh Namrud di zaman Nabi Ibrahim AS . Pembelaan kepada kekuasaannya, yang diekspresikan dengan "wanshuruu aalihatakum" (tolong Tuhan-tuhan kalian) itu pada akhirnya memakai kekerasan dengan melempar Ibrahim AS ke dalam api.
Kepanikan kekuasaan seperti ini terjadi sepanjang sejarah manusia. Tidak mustahil juga di masa kini. Di banyak negara dengan mudah kita bisa mengidentifikasi kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan. Tentu hal itu akan terlihat dalam sikap dan kebijakan penguasa dalam menyikapi mereka yang menginginkan perubahan dan perbaikan. ( )
Self Contradictory
Satu hal yang juga memalukan (shamefulness) dalam situasi kepanikan itu adalah sering terjadi prilaku paradoks. Saya menyebutnya "self contradictory". Yaitu sebuah sikap yang kontra antara pengakuan dan prilaku terhadap nilai-nilai yang dianggap sebagai pijakan bersama.
Ambillah sebagai misal konsep demokrasi. Dalam tatanan negara Demokrasi pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan tertinggi sesungguhnya ada di tangan rakyat. Dan rakyat memiliki hak untuk mengoreksi pemerintah dan kebijakannya.
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation
Dalam sejarah kehidupan manusia ragam peristiwa yang terjadi dari masa ke masa kerap kali berulang dalam bentuk yang sama atau beda. Namun, tidak jarang memiliki makna dan tujuan yang sama.
Salah satu hal yang kita lihat sering terjadi dan terulang dalam sejarah manusia adalah hiruk pikuk, atau ungkapan yang lebih positif, dinamika politik yang terjadi dalam sebuah bangsa. Dinamika itu kerap kali menggoncang stabilitas nasional bangsa tersebut. Tapi tidak jarang juga membawa kepada sebuah perubahan positif. Dengan dinamika yang terjadi para stakeholder menyadari urgensi untuk melakukan perubahan.
Dalam sejarah, ada satu hal yang sering terjadi dan hampir pada semua bangsa. Hal ini saya akan sebut sebagai "kepanikan kekuasaan". Seringkali mereka yang berada di posisi kekuasaan merasa terancam, dan karenanya mengalami kepanikan. (
Baca Juga
Kepanikan inilah yang biasanya menjadikan mereka yang berada di posisi kekuasaan itu mengambil sikap atau tindakan, yang tidak saja menekan lawan politiknya. Justru kebijakan itu biasanya bertentangan dengan kepentingan rakyat luas, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang secara konsensus diterima sebagai pijakan bersama.
Sebelum saya menyampaikan nilai-nilai yang dimaksud, saya ingin menyampaikan bahwa Al-Qur'an penuh dengan contoh-contoh kepanikan penguasa sepanjang sejarah manusia. Dari zaman Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa, Isa AS, hingga ke zaman "khataman nabiyyin" (penutup para Nabi), Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Pada umumnya dipahami bahwa penentangan pembesar-pembesar di zaman para Nabi itu karena alasan keagamaan. Pemahaman ini boleh benar, tapi boleh jadi juga tidak benar.
Ambillah sebagai misal kekejaman Fir'aun kepada Bani Israel , dan resistensinya kepada Musa AS. Dalam sejarah yang disampaikan oleh Al-Qur'an , awal pembasmian anak-anak lelaki dari kalangan Bani Israel karena kekhawatiran terhadap ancaman kekuasaannya.
Maka walaupun kita ketahui bahwa resistensi itu tidak bisa dipisahkan dari dakwah Nabi Musa kepada Tauhid . Artinya di sini aspek agama kemudian menjadi alasan. Tapi dengan melihat kepada asal awal dari kebencian itu adalah karena panik kekuasaan tadi.
Di sinilah kemudian dipahami bahwa konteks penentangan kepada Dakwah Tauhid tidak selalu murni karena alasan agama. Justru Tauhid karena Tauhid dianggap ancaman terhadap kekuasaan itu sendiri.
Dengan Tauhid mereka yang diktator dan merasa berkuasa mutlak merasa terganggu atau terancam. Sebab Tauhid mengajarkan kesetaraan manusia. Bahwa kekuasaan adalah amanah yang diberikan kepada penguasa untuk memberikan pelayanan (khidmah) kepada rakyat.
Dari semua di atas jelas bahwa berbagai sikap dan kebijakan yang mereka lakukan untuk menghalangi perkembangan dakwah para rasul Allah tidak bisa dilepaskan dari apa yang saya sebutkan sebagai "kepanikan kekuasaan".
Penguasa akan melakukan berbagai cara untuk meredam apa yang dianggap ancaman kepada kekuasaannya. Dari yang halus, intimidatif, hingga kepada kekerasan terbuka.
Ambillah sebagai contoh Namrud di zaman Nabi Ibrahim AS . Pembelaan kepada kekuasaannya, yang diekspresikan dengan "wanshuruu aalihatakum" (tolong Tuhan-tuhan kalian) itu pada akhirnya memakai kekerasan dengan melempar Ibrahim AS ke dalam api.
Kepanikan kekuasaan seperti ini terjadi sepanjang sejarah manusia. Tidak mustahil juga di masa kini. Di banyak negara dengan mudah kita bisa mengidentifikasi kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan. Tentu hal itu akan terlihat dalam sikap dan kebijakan penguasa dalam menyikapi mereka yang menginginkan perubahan dan perbaikan. ( )
Self Contradictory
Satu hal yang juga memalukan (shamefulness) dalam situasi kepanikan itu adalah sering terjadi prilaku paradoks. Saya menyebutnya "self contradictory". Yaitu sebuah sikap yang kontra antara pengakuan dan prilaku terhadap nilai-nilai yang dianggap sebagai pijakan bersama.
Ambillah sebagai misal konsep demokrasi. Dalam tatanan negara Demokrasi pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya kekuasaan tertinggi sesungguhnya ada di tangan rakyat. Dan rakyat memiliki hak untuk mengoreksi pemerintah dan kebijakannya.