Ketika Kekuasaan Mengalami Kepanikan, Al-Qur'an Juga Mengisahkannya
Selasa, 06 Oktober 2020 - 14:14 WIB
Tapi bagi penguasa yang mengalami kepanikan koreksi atau kritikan masyarakat akan dilihat sebagai ancaman. Dan karenanya kritikan itu akan dihadapi dengan cara-cara yang justru paradoksikal (berlawanan) dengan Demokrasi itu sendiri.
Mereka yang dianggap ancaman akan dihalang-halangi, diintimidasi, bahkan dilakukan kekerasan agar gagal atau terhenti dalam upayanya untuk mengoreksi kekuasaan tersebut. Berbagai aturan atau perundang-undangan juga sering dipaksakan untuk tujuan meredam apa yang menjadikan kekuasaan itu panik. Kebebasan ekspresi sebagai bagian esensial dari Demokrasi juga tidak jarang terlucuti karena kepanikan para penguasa.
Tanpa mengingkari adanya pihak-pihak yang ingin mengail di air keruh, pada umumnya mereka yang melakukan koreksi terhadap kekuasaan itu adalah mereka yang punya keinginan tulus untuk melihat bangsa/negaranya menjadi lebih baik.
Atau mungkin dalam bahasa Nabi Saleh AS: "In uriida illa al-ishlaah" (saya tidak menginginkan kecuali kebaikan/perubahan saja).
Tapi begitulah ketika sebuah kekuasaan mengalami kepanikan, berbagai asumsi akan dibangun. Bahkan tidak jarang juga berbagai teori diciptakan sebagai justifikasi untuk meredam usaha-usaha perbaikan (Ishlaah) itu.
Salah satu teori yang sering kita dengarkan adalah bahwa mereka yang mengeritik penguasa itu melakukan "kekisruhan" atau "perpecahan" di tengah masyarakat. Untuk membenarkan teori itu biasanya secara misterius tiba-tiba terbentuk kelompok lain. Kedua kelompok inipun saling berhadapan.
Kekisruhan antara dua kelompok yang berseberangan itu kemudian menjadi pembenaran bagi kekuasaan yang panik untuk meredam mereka yang dianggap ancaman. Tidak jarang bahkan berujung kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap ancaman itu.
Itulah bentuk kepanikan kekuasaan yang perlu kita waspadai. Jangan-jangan peristiwa di bangsa-bangsa masa lalu itu kembali menjangkiti banyak bangsa hari ini. Semoga tidak! ( )
New York, 5 Oktober 2020
Diaspora Indonesia di Kota New York
Mereka yang dianggap ancaman akan dihalang-halangi, diintimidasi, bahkan dilakukan kekerasan agar gagal atau terhenti dalam upayanya untuk mengoreksi kekuasaan tersebut. Berbagai aturan atau perundang-undangan juga sering dipaksakan untuk tujuan meredam apa yang menjadikan kekuasaan itu panik. Kebebasan ekspresi sebagai bagian esensial dari Demokrasi juga tidak jarang terlucuti karena kepanikan para penguasa.
Tanpa mengingkari adanya pihak-pihak yang ingin mengail di air keruh, pada umumnya mereka yang melakukan koreksi terhadap kekuasaan itu adalah mereka yang punya keinginan tulus untuk melihat bangsa/negaranya menjadi lebih baik.
Atau mungkin dalam bahasa Nabi Saleh AS: "In uriida illa al-ishlaah" (saya tidak menginginkan kecuali kebaikan/perubahan saja).
Tapi begitulah ketika sebuah kekuasaan mengalami kepanikan, berbagai asumsi akan dibangun. Bahkan tidak jarang juga berbagai teori diciptakan sebagai justifikasi untuk meredam usaha-usaha perbaikan (Ishlaah) itu.
Salah satu teori yang sering kita dengarkan adalah bahwa mereka yang mengeritik penguasa itu melakukan "kekisruhan" atau "perpecahan" di tengah masyarakat. Untuk membenarkan teori itu biasanya secara misterius tiba-tiba terbentuk kelompok lain. Kedua kelompok inipun saling berhadapan.
Kekisruhan antara dua kelompok yang berseberangan itu kemudian menjadi pembenaran bagi kekuasaan yang panik untuk meredam mereka yang dianggap ancaman. Tidak jarang bahkan berujung kepada kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap ancaman itu.
Itulah bentuk kepanikan kekuasaan yang perlu kita waspadai. Jangan-jangan peristiwa di bangsa-bangsa masa lalu itu kembali menjangkiti banyak bangsa hari ini. Semoga tidak! ( )
New York, 5 Oktober 2020
Diaspora Indonesia di Kota New York
(rhs)