Ghulul, Dosa Besar yang Diremehkan
Kamis, 15 Oktober 2020 - 08:12 WIB
DI antara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat adalah al-ghulûl . Al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk kepentingan umum. (
)
Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat.
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, pada hari kiamat, ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal sedangkan mereka tidak dianiaya." (QS Ali Imran [3]: 161).
Dalam ayat di atas, makna ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta rampasan perang yang tidak boleh dimanfaatkan sebelum pembagian. Ghulul masuk kategori pengkhianatan dan dosa besar. ( )
Kemudian, istilah ghulul dipakai untuk pengkhianatan dalam masalah harta sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw, hadiah yang diterima oleh seorang pejabat atau pemimpin karena jabatannya itu termasuk ghulul yang diharamkan Allah SWT.
Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pekerja (pegawai) itu adalah ghulul (khianat)." (HR. Ahmad, dan disahihkan oleh Syekh Albani). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pemimpin itu adalah ghulul (khianat)." (HR Thabrani dan Baihaqi).
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat . Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: ‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’
Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah, tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat , lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau SAW dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’ (HR al-Bukhâri dan Muslim)
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar (773 H- 852 H) menjelaskan, Nabi saw menerangkan pekerjaan yang dia lakukan (sebagai pemungut zakat) itulah yang menjadi penyebab orang lain memberi hadiah kepadanya.
Dan jika dia hanya berdiam diri di rumahnya, orang tidak akan memberi hadiah kepadanya. Karena itu, dia tidak boleh menghalalkan pemberian itu hanya karena merupakan hadiah dari orang lain.
Imam Nawawi (631 H-676 H), dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan, hadis ini merupakan penegasan hadiah bagi pejabat adalah haram.
Ia juga mengatakan kaum Muslimin bersepakat atas beratnya keharaman ghulul dan merupakan dosa besar. Mereka juga sepakat, wajib bagi yang menerimanya untuk mengembalikannya.
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib menjelaskan permasalahannya bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan.
Jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, menurutnya, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar. Jika ghulul sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka.
Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois.
Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan. Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.” Wallahu'alam.
Perilaku seperti ini termasuk perbuatan zalim yang berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya. Pelaku tindak kezaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan juga di akhirat.
وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, pada hari kiamat, ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal sedangkan mereka tidak dianiaya." (QS Ali Imran [3]: 161).
Dalam ayat di atas, makna ghulul adalah mengambil sesuatu dari harta rampasan perang yang tidak boleh dimanfaatkan sebelum pembagian. Ghulul masuk kategori pengkhianatan dan dosa besar. ( )
Kemudian, istilah ghulul dipakai untuk pengkhianatan dalam masalah harta sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw, hadiah yang diterima oleh seorang pejabat atau pemimpin karena jabatannya itu termasuk ghulul yang diharamkan Allah SWT.
Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pekerja (pegawai) itu adalah ghulul (khianat)." (HR. Ahmad, dan disahihkan oleh Syekh Albani). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda, "Hadiah untuk pemimpin itu adalah ghulul (khianat)." (HR Thabrani dan Baihaqi).
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat . Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi hadiahkan. Mendengar ini, Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: ‘Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku!’
Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi Allah, tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat , lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat putih kedua ketiak beliau SAW dan mengatakan, ‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’ (HR al-Bukhâri dan Muslim)
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar (773 H- 852 H) menjelaskan, Nabi saw menerangkan pekerjaan yang dia lakukan (sebagai pemungut zakat) itulah yang menjadi penyebab orang lain memberi hadiah kepadanya.
Dan jika dia hanya berdiam diri di rumahnya, orang tidak akan memberi hadiah kepadanya. Karena itu, dia tidak boleh menghalalkan pemberian itu hanya karena merupakan hadiah dari orang lain.
Imam Nawawi (631 H-676 H), dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan, hadis ini merupakan penegasan hadiah bagi pejabat adalah haram.
Ia juga mengatakan kaum Muslimin bersepakat atas beratnya keharaman ghulul dan merupakan dosa besar. Mereka juga sepakat, wajib bagi yang menerimanya untuk mengembalikannya.
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW barsabda, “Barangsiapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib menjelaskan permasalahannya bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil, akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah yang wajib mereka tunaikan.
Jika virus ghulul (korupsi) dibiarkan, menurutnya, maka dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil, suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar. Jika ghulul sudah menjadi hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka.
Padahal setiap akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan egois.
Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zalim, menyulut rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan. Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan, keadilan akan melemah, kezaliman merajalela, rasa aman hilang dan masyarakat dilanda ketakutan.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Dan Ibn Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah.” Wallahu'alam.
(mhy)