Larangan Ghuluw, Rasulullah Menolak Disanjung Secara Berlebihan
Senin, 19 Oktober 2020 - 11:59 WIB
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Kufur
Dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas menulis salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang saleh atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya. ( )
Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya.
Menurut Yazid, yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi SAW adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi SAW adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut. ( )
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah SAW, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!”
Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” (HR Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari V/179).
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’
Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” (HR Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu).
Beliau mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. ( )
Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah). Beliau tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah SWT berikan dan Allah ridhai.
Ibnu Qayyim dalam kasidah nuniyyah-nya berkata:
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Kufur
Dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas menulis salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang saleh atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya. ( )
Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya.
Menurut Yazid, yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi SAW adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi SAW adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut. ( )
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah SAW, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!”
Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Sayyid (penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan.” (HR Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari V/179).
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’
Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.” (HR Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu).
Beliau mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. ( )
Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah). Beliau tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah SWT berikan dan Allah ridhai.
Ibnu Qayyim dalam kasidah nuniyyah-nya berkata: