Salat Sembari Menggendong Si Buah Hati, Batal atau Tidak?
Jum'at, 06 November 2020 - 17:04 WIB
Kemudian imam Nawawi dalam kitabnya Imam Nawawi. Raudhatu-t-thalibin wa umdatu-l-muftiin menerangkan lebih rinci tentang sedikit dan banyaknya gerakan di luar salat:
Kemudian secara Ijma (Syafi’iyah) disebutkan bahwa gerakan yang banyak dapat membatalkan salat apabila dilakukan secara berturut-turut. Namun apabila berjarak seperti jika melangkah kemudian dalam durasi tertentu melangkah lagi, atau tiap dua langkah ada jeda, maka pendapat kami: hal tersebut adalah gerak yang sedikit.
Dan apabila berulang-ulang hingga banyak, tidak berpengaruh sama sekali. Dan batasan pembedanya adalah diulangnya gerakan kedua setelah jeda dari gerakan pertama. Dikatakan dalam kitab tahdzib, menurutku jeda antara dua gerakan adalah seperti satu rakaat.
Kemudian yang dimaksud dengan satu gerakan yang tak membatalkan adalah yang tidak keterlaluan, seperti melompat yang keterlaluan maka membatalkan secara mutlak.
Demikian juga dikatakan, tiga gerakan yang berturut-turut dapat membatalkan salat. Dimaksudkan di sini seperti melangkah dan sejenisnya.
Sedangkan gerakan ringan seperti menggerakkan jari dalam tasbih, menggaruk, maka yang benar adalah: hal tersebut tidak berpengaruh (tidak membatalkan) meskipun banyak dan berturut-turut.
Dipahami dari mazhab ini bahwa kadar gerakan sedikit dan banyak yang dilakukan di luar gerakan salat dikembalikan kepada urf atau kebiasaan yang difahami masyarakat.
Melakukan gerakan badan yang berturut-turut dapat membatalkan salat karena dalam pemahaman secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak, begitupula dengan gerakan tiga kali tanpa jeda sepanjang satu rakaat dianggap batal karena dikategorikan sebagai gerakan yang banyak secara urf masyarakat.
Sementara gerakan ringan seperti menggaruk-garuk badan tidak dianggap sebagai hal yang membatalkan, namun tetap dipandang makruh.
Hanabilah
Mazhab ini tidak jauh berbeda dengan mazhab Syafi’iyah, karena mengembalikan kadar banyak dan sedikit kepada urf, serta menerangkan detail setelahnya, seperti yang dipaparkan Hasan bin Ibrahim Al-Khalil dalam Syarhu Zadi-l-Mustaqni:
"Hukum gerakan yang banyak, maka jika lama gerakanya dalam pandangan urf, tanpa ada unsur darurat dan tanpa jeda, maka batal salatnya".
Kemudian dijelaskan rinci lagi, disyaratkan dalam gerakan banyak yang membatalkan salat adalah gerakan yang terus-menerus, maka jika terjadi dengan jeda durasi tertentu, tidak akan membatalkan salat, bahkan jika kita berasumsi bahwa gerakan tersebut dikumpulkan maka akan menjadi gerakan yang sangat banyak, tetap salatnya tidak batal.
Dan dalil atas hal ini, telah disebutkan bahwa Nabi SAW menggendong Umamah dan gerakan ini bila dikumpulkan dan digabungkan masing-masingnya maka akan menjadi gerakan yang banyak di mana beliau meletakkanya di setiap rakaat dan menggendongnya kembali dalam rakaat yang lain.
Berbeda-beda
Ternyata para ulama dalam menyimpulkan riwayat tentang gerakan Nabi SAW di luar gerakan salat berbeda-beda. Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa apabila orang lain melihat gerakan tersebut sudah tidak seperti kondisi orang salat maka batal salatnya.
Kemudian Syafi’iyah dan Hanabilah mengembalikan banyaknya gerakan yang dianggap batal kepada urf masyarakat, di mana gerakan berat yang dilakukan tiga kali berturut-turut secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak dan membatalkan salat, berbeda dengan gerakan yang memakai jeda.
Sekalipun berbeda kesimpulan, kedua pendapat di atas cukup mempunyai korelasi erat di mana keduanya sama-sama menitik beratkan kepada gerakan yang dilakukan di luar gerakan salat, tidak dalam kondisi darurat, dilakukan terus-menerus tanpa jeda, dan bukan gerakan yang ringan. Wallahu'alam
Kemudian secara Ijma (Syafi’iyah) disebutkan bahwa gerakan yang banyak dapat membatalkan salat apabila dilakukan secara berturut-turut. Namun apabila berjarak seperti jika melangkah kemudian dalam durasi tertentu melangkah lagi, atau tiap dua langkah ada jeda, maka pendapat kami: hal tersebut adalah gerak yang sedikit.
Dan apabila berulang-ulang hingga banyak, tidak berpengaruh sama sekali. Dan batasan pembedanya adalah diulangnya gerakan kedua setelah jeda dari gerakan pertama. Dikatakan dalam kitab tahdzib, menurutku jeda antara dua gerakan adalah seperti satu rakaat.
Kemudian yang dimaksud dengan satu gerakan yang tak membatalkan adalah yang tidak keterlaluan, seperti melompat yang keterlaluan maka membatalkan secara mutlak.
Demikian juga dikatakan, tiga gerakan yang berturut-turut dapat membatalkan salat. Dimaksudkan di sini seperti melangkah dan sejenisnya.
Sedangkan gerakan ringan seperti menggerakkan jari dalam tasbih, menggaruk, maka yang benar adalah: hal tersebut tidak berpengaruh (tidak membatalkan) meskipun banyak dan berturut-turut.
Dipahami dari mazhab ini bahwa kadar gerakan sedikit dan banyak yang dilakukan di luar gerakan salat dikembalikan kepada urf atau kebiasaan yang difahami masyarakat.
Melakukan gerakan badan yang berturut-turut dapat membatalkan salat karena dalam pemahaman secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak, begitupula dengan gerakan tiga kali tanpa jeda sepanjang satu rakaat dianggap batal karena dikategorikan sebagai gerakan yang banyak secara urf masyarakat.
Sementara gerakan ringan seperti menggaruk-garuk badan tidak dianggap sebagai hal yang membatalkan, namun tetap dipandang makruh.
Hanabilah
Mazhab ini tidak jauh berbeda dengan mazhab Syafi’iyah, karena mengembalikan kadar banyak dan sedikit kepada urf, serta menerangkan detail setelahnya, seperti yang dipaparkan Hasan bin Ibrahim Al-Khalil dalam Syarhu Zadi-l-Mustaqni:
"Hukum gerakan yang banyak, maka jika lama gerakanya dalam pandangan urf, tanpa ada unsur darurat dan tanpa jeda, maka batal salatnya".
Kemudian dijelaskan rinci lagi, disyaratkan dalam gerakan banyak yang membatalkan salat adalah gerakan yang terus-menerus, maka jika terjadi dengan jeda durasi tertentu, tidak akan membatalkan salat, bahkan jika kita berasumsi bahwa gerakan tersebut dikumpulkan maka akan menjadi gerakan yang sangat banyak, tetap salatnya tidak batal.
Dan dalil atas hal ini, telah disebutkan bahwa Nabi SAW menggendong Umamah dan gerakan ini bila dikumpulkan dan digabungkan masing-masingnya maka akan menjadi gerakan yang banyak di mana beliau meletakkanya di setiap rakaat dan menggendongnya kembali dalam rakaat yang lain.
Berbeda-beda
Ternyata para ulama dalam menyimpulkan riwayat tentang gerakan Nabi SAW di luar gerakan salat berbeda-beda. Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa apabila orang lain melihat gerakan tersebut sudah tidak seperti kondisi orang salat maka batal salatnya.
Kemudian Syafi’iyah dan Hanabilah mengembalikan banyaknya gerakan yang dianggap batal kepada urf masyarakat, di mana gerakan berat yang dilakukan tiga kali berturut-turut secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak dan membatalkan salat, berbeda dengan gerakan yang memakai jeda.
Sekalipun berbeda kesimpulan, kedua pendapat di atas cukup mempunyai korelasi erat di mana keduanya sama-sama menitik beratkan kepada gerakan yang dilakukan di luar gerakan salat, tidak dalam kondisi darurat, dilakukan terus-menerus tanpa jeda, dan bukan gerakan yang ringan. Wallahu'alam
(mhy)