Kezuhudan Istri Khalifah
Minggu, 08 November 2020 - 15:18 WIB
Dia adalah putri seorang khalifah , memiliki saudara para khalifah, dan dipersunting oleh seorang laki-laki saleh yang juga menjadi khalifah. Anugerah terindah dan juga impian mayoritas kaum perempuan. Selain memiliki eksistensi , prestise, dan status sosial yang luar biasa, ia pasti mendapatkan fasilitas yang tak terhingga.
Tapi benarkah seperti itu kehidupannya? Jelas tidak untuk Fatiman binti Abdul Malik bin Marwan. Sosok perempuan yang nyaris sempurna. Cantik, cerdas, keturunan terpandang , kaya raya, serta taat beribadah. Nama lengkapnya adalah Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan Al Umawiyyah Al Quraisyiah.
(Baca juga : Menjenguk Orang Sakit, Adab Mulia yang Banyak Keutamaan )
Dirangkum dari beragam sumber, dijelaskan bahwa dua belas orang pria yang menjadi mahramnya Fatmah binti Abdul Malik ini, yakni mulai dari sang Khalifah Umar bin Khattab, ayahnya, kakeknya, saudaranya, keponakannya, bahkan suaminya adalah khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Dari lahir hingga tumbuh dewasa, Fatimah dikelilingi oleh kemuliaan dan kenikmatan dunia. Perhiasan permata yang tiada duanya, baju mewah dari kain sutra, serta istana nan indah dan megah.
Tapi Fatimah adalah sosok putri yang berbeda. Sejarah mencatat kezuhudannya akan gemerlap dunia, melihat dunia dengan apa adanya padahal ia memiliki segalanya. Perempuan mulia, baik agama, akhlak, maupun status sosialnya, akan tetapi tidak terpengaruh dengan materi dan kekuasaan sejenak.
Padahal sejak kecil Fatimah memang hidup dengan gelimang harta dunia, juga dengan status sosial yang tinggi. Dikelilingi oleh para khalifah, tapi itu tak menjadikannya sombong dan angkuh.
(Baca juga : Pentingnya Tafakuri Diri )
Ketika beranjak dewasa, Fatimah dipersunting oleh seorang laki-laki saleh, ahli fiqih, terkenal dengan sifat wara’ nya. Dan ia juga sangat terpandang, ia adalah anak dari pamannya Abdul Aziz bin Marwan. yaitu Umar bin Abdul Aziz bin Marwan, sekaligus cicit Umar bin Khatab. Pesta pernikahan pun digelar dengan mewah. Lampu-lampu gantung dengan minyak beraroma harum menghiasi, menambah semarak suasana.
Dalam kehidupan rumah tangga ini kebahagiaan Fatimah semakin bertambah dengan lahirnya dua putra mereka yakni Ishaq dan Ya’kub. Umar bin Abdul Aziz, seorang suami yang sangat baik, mendidik istri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Ia juga suka memanjakan istrinya, memenuhi semua keinginannya, dan menyayanginya dengan tulus. Sungguh kehidupan rumah tangga yang harmonis dan romantis.
Kezuhudan Ibu Negara
Namun, kehidupannya berubah setelah sang suami menjadi Khalifah. Kehidupan dunia ini amatlah singkat. Segala kemewahan dan kenikmatan pun tidak abadi. Fatimah binti Abdul Malik yang terbiasa hidup mewah dan serba mudah, kini memilih meninggalkan semua kemewahan dunia. Ini terjadi saat suaminya, Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik, yang dilantik pada Jumat, bulan Shafar 99 H di kota Damaskus.
(Baca juga : Menyepelekan Urusan Kencing, Azab Kubur Menanti )
Fatimah sangat lapang dada hidup bersama suaminya sebagai pejabat, namun tidak mempunyai harta apa pun. Padahal, ketika itu Umar sebagai khalifah besar memimpin Bani Ummayah yang wilayah kekuasaannya sangat luas.
Suami Fatimah ini dibaiat sebagai khalifah sehabis salat Jumat tahun 717 M. Menurut riwayat, kebijakan-kebijakan Umar selalu berpihak kepada masyarakat, dan berhasil memulihkan keadaan negara menyerupai masa empat khalifah Khulafaur Rasyidin.
Selama menjadi khalifah, honor Umar sangat minim, hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai istri, Fatimah tidak pernah protes, apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Dia lapang dada dan selalu mendukung suaminya. Kesederhanaan dan kebijakan Umar menciptakan banyak kalangan menyematkan ‘gelar’ sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.
Umar bin Abdul Aziz memilih untuk menjadi sosok sederhana, zuhud, dan tampil sebagai salah satu pemimpin umat Islam yang terbaik. Ia menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang kepala negara. Istana yang dilengkapi dengan perabot yang serba lux, gelas-gelas kristal, ranjang bagus, kasur empuk, bantal-bantal sandaran yang tersusun rapi, juga permadani yang luas dan lembut. Ia memilih tinggal di rumah sempit yang dibangun dari tanah liat yang ada di sebelah masjid.
(Baca juga : Kepulangan Habib Rizieq Sudah Dinantikan Pengikutnya )
Fatimah merasa suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandingkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus. Kini raut muka suaminya tampak letih, tubuhnya yang kokoh gemetaran karena menanggung beban yang teramat berat.
Ketika sampai di rumah, Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada istrinya, Fatimah, untuk memilih masa depannya sendiri, karena Umar merasa mendapat tanggung jawab besar yang membuatnya tidak bisa lagi menjaga dan memenuhi keinginan istrinya yang cantik jelita ini.
Dengan suara lembut Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada Fatimah, “Fatimah, istriku… Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat berat dipikulkan ke pundakku, menjadi nakhoda bahtera yang ditumpangi oleh umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tugas ini sungguh menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan.”
Tapi benarkah seperti itu kehidupannya? Jelas tidak untuk Fatiman binti Abdul Malik bin Marwan. Sosok perempuan yang nyaris sempurna. Cantik, cerdas, keturunan terpandang , kaya raya, serta taat beribadah. Nama lengkapnya adalah Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan Al Umawiyyah Al Quraisyiah.
(Baca juga : Menjenguk Orang Sakit, Adab Mulia yang Banyak Keutamaan )
Dirangkum dari beragam sumber, dijelaskan bahwa dua belas orang pria yang menjadi mahramnya Fatmah binti Abdul Malik ini, yakni mulai dari sang Khalifah Umar bin Khattab, ayahnya, kakeknya, saudaranya, keponakannya, bahkan suaminya adalah khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Dari lahir hingga tumbuh dewasa, Fatimah dikelilingi oleh kemuliaan dan kenikmatan dunia. Perhiasan permata yang tiada duanya, baju mewah dari kain sutra, serta istana nan indah dan megah.
Tapi Fatimah adalah sosok putri yang berbeda. Sejarah mencatat kezuhudannya akan gemerlap dunia, melihat dunia dengan apa adanya padahal ia memiliki segalanya. Perempuan mulia, baik agama, akhlak, maupun status sosialnya, akan tetapi tidak terpengaruh dengan materi dan kekuasaan sejenak.
Padahal sejak kecil Fatimah memang hidup dengan gelimang harta dunia, juga dengan status sosial yang tinggi. Dikelilingi oleh para khalifah, tapi itu tak menjadikannya sombong dan angkuh.
(Baca juga : Pentingnya Tafakuri Diri )
Ketika beranjak dewasa, Fatimah dipersunting oleh seorang laki-laki saleh, ahli fiqih, terkenal dengan sifat wara’ nya. Dan ia juga sangat terpandang, ia adalah anak dari pamannya Abdul Aziz bin Marwan. yaitu Umar bin Abdul Aziz bin Marwan, sekaligus cicit Umar bin Khatab. Pesta pernikahan pun digelar dengan mewah. Lampu-lampu gantung dengan minyak beraroma harum menghiasi, menambah semarak suasana.
Dalam kehidupan rumah tangga ini kebahagiaan Fatimah semakin bertambah dengan lahirnya dua putra mereka yakni Ishaq dan Ya’kub. Umar bin Abdul Aziz, seorang suami yang sangat baik, mendidik istri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Ia juga suka memanjakan istrinya, memenuhi semua keinginannya, dan menyayanginya dengan tulus. Sungguh kehidupan rumah tangga yang harmonis dan romantis.
Kezuhudan Ibu Negara
Namun, kehidupannya berubah setelah sang suami menjadi Khalifah. Kehidupan dunia ini amatlah singkat. Segala kemewahan dan kenikmatan pun tidak abadi. Fatimah binti Abdul Malik yang terbiasa hidup mewah dan serba mudah, kini memilih meninggalkan semua kemewahan dunia. Ini terjadi saat suaminya, Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik, yang dilantik pada Jumat, bulan Shafar 99 H di kota Damaskus.
(Baca juga : Menyepelekan Urusan Kencing, Azab Kubur Menanti )
Fatimah sangat lapang dada hidup bersama suaminya sebagai pejabat, namun tidak mempunyai harta apa pun. Padahal, ketika itu Umar sebagai khalifah besar memimpin Bani Ummayah yang wilayah kekuasaannya sangat luas.
Suami Fatimah ini dibaiat sebagai khalifah sehabis salat Jumat tahun 717 M. Menurut riwayat, kebijakan-kebijakan Umar selalu berpihak kepada masyarakat, dan berhasil memulihkan keadaan negara menyerupai masa empat khalifah Khulafaur Rasyidin.
Selama menjadi khalifah, honor Umar sangat minim, hanya dua dirham per hari atau 60 dirham per bulan. Sebagai istri, Fatimah tidak pernah protes, apalagi menuntut lebih penghasilan suaminya. Dia lapang dada dan selalu mendukung suaminya. Kesederhanaan dan kebijakan Umar menciptakan banyak kalangan menyematkan ‘gelar’ sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.
Umar bin Abdul Aziz memilih untuk menjadi sosok sederhana, zuhud, dan tampil sebagai salah satu pemimpin umat Islam yang terbaik. Ia menolak seluruh fasilitas istana yang diperuntukkan bagi seorang kepala negara. Istana yang dilengkapi dengan perabot yang serba lux, gelas-gelas kristal, ranjang bagus, kasur empuk, bantal-bantal sandaran yang tersusun rapi, juga permadani yang luas dan lembut. Ia memilih tinggal di rumah sempit yang dibangun dari tanah liat yang ada di sebelah masjid.
(Baca juga : Kepulangan Habib Rizieq Sudah Dinantikan Pengikutnya )
Fatimah merasa suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandingkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus. Kini raut muka suaminya tampak letih, tubuhnya yang kokoh gemetaran karena menanggung beban yang teramat berat.
Ketika sampai di rumah, Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada istrinya, Fatimah, untuk memilih masa depannya sendiri, karena Umar merasa mendapat tanggung jawab besar yang membuatnya tidak bisa lagi menjaga dan memenuhi keinginan istrinya yang cantik jelita ini.
Dengan suara lembut Umar bin Abdul Aziz memberi pilihan kepada Fatimah, “Fatimah, istriku… Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat berat dipikulkan ke pundakku, menjadi nakhoda bahtera yang ditumpangi oleh umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tugas ini sungguh menyita waktuku hingga hakku terhadapmu akan terabaikan.”