Mengenal Sifat Nafsu Manusia yang Tercantum dalam Al-Qur'an
Kamis, 12 November 2020 - 07:35 WIB
Allah Subhanahu wa ta'ala menciptakan nafsu sebagai perangkat uji manusia. Hanya dengan menggunakan mata ruhanilah manusia dapat menyaksikan dimensi nafsu ini. Nafsu tak pernah berhenti bergerak, bahkan pada saat manusia tertidur pulas. Terkadang kita menilai bahwa nafsu adalah musuh besar bagi manusia. Benarkah demikian?
Setiap manusia tentu memiliki nafsu yang menjadi dasar atas segala urusan atau perbuatan yang dilakukannya, entah itu perbuatan baik atau perbuatan buruk. Sebenarnya nafsu itu sangatlah luas dan mencakup banyak hal.
(Baca juga : Safanah binti Hatim, Sang Diplomat Dakwah yang Santun )
Di dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan nafsu dengan 3 sifat, yang ketiganya kembali kepada keadaan masing-masing nafsu.
1. Nafsu muthmainnah
Nafsu ini adalah nafsu yang telah mencapai ketenangan , nafsu yang dapat dikendalikan oleh akal yang sehat. Nafsu ini telah mendapat rahmat Allah Ta'ala dan manusia yang mendapatkan nafsu ini akan mendapat ridha Allah Ta'ala di dunia dan akhirat. Orang ini akan mendapat “husnul Khatimah” di akhir hidupnya sebagai pintu menuju surga Allah Ta'ala.
(Baca juga : Warna Busana Dalam Islam : Antara Sunnah dan Kepantasan Lokal )
Allah Ta'ala berfirman,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr: 27-28).
Karakter dari nafsu ini beragam, misalnya memberi (lomo), tawakkal (berserah diri kepada Allah), ibadah (menghamba kepada Allah dengan ikhlas), bersyukur (kepada Allah), ridha (terhadap semua kehendak Allah), dan takut kepada Allah. Sedangkan warna sinar atau cahaya Jenis nafsu ini adalah putih.Jenis nafsu ini tidak terpengaruh dengan perkara perkara yang menakutkan atau menyusahkan.
(Baca juga : Penyakit Rendah Diri )
2. Nafsu lawwamah
Disebut nafsu lawwamah karena nafsu ini sering mencela orangnya disebabkan ia telah melakukan kesalahan, baik dosa besar, dosa kecil, atau meninggalkan perintah, baik yang sifatnya wajib atau anjuran.
Allah bersumpah dengan menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah: 2)
(Baca juga : Banjir Jadi Prioritas Kegiatan Anggaran DKI 2021 )
Nafsu ini sudah mengenal baik dan buruk. Nafsu tercela kerana kelalaian tuannya melaksanakan peraturan-peraturan Allah. Nafsu ini mengarahkan pemiliknya untuk menentang kejahatan, tetapi suatu saat jika ia lalai beribadah kepada Allah SWT, maka ia akan terjerumus kepada dosa. Orang yang memiliki nafsu ini tidak tetap pendirian untuk menjalankan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa.
3. Nafsu ammarah bis su’u
Itulah nafsu yang selalu mengajak pemiliknya untuk berbuat dosa, melakukan yang haram dan memotivasi pemiliknya untuk melakukan perbuatan hina.
(Baca juga: UMKM Masuk Bandara, AP I Buka Pintu Makin Lebar )
Allah sebutkan jenis nafsu ini dalam surat Yusuf,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).
Tiga keadaan di atas, tergantung dari suasana jiwa. Artinya, jiwa manusia bisa menjadi muthmainnah, dalam sekejap dia juga bisa berubah menjadi lawwamah, dan juga bisa langsung berubah menjadi ammarah bis suu’.
Sebagian ulama membuat perumpamaan tentang interaksi nafsu ini. Dikutip dari konsultasisyariah, salah satu ulama yang memberikan perumpamaan tentang nafsu ini adalah disampaikan Imam al-Ajurri – Ahli hadis dan sejarah dari Baghdad (wafat: 360 H).
(Baca juga : MPR: Pejabat Harus Jujur dan Siap Mundur Jika Bersalah )
Dalam kitabnya ‘Adabun Nufus’, Imam al-Ajurri mengatakan,
وأنا أمثل لك مثالا لا يخفى عليك أمرها إن شاء الله
"Saya akan sampaikan permisalan untuk anda, insyaaAllah masalah nafsu tidak lagi samar bagi anda"..
Kemudian Imam al-Ajurri menjelaskannya sebagai berikut : 'Pahamilah bahwa nafsu itu seperti anak kuda jantan (colt) yang sangat bagus. Setiap kali ada orang yang melihatnya, pasti terkagum dengan keindahan dan bagusnya. Hingga seorang ahli kuda berkomentar, ‘Kuda bagus ini tidak berarti sama sekali sampai dia dilatih dan diajari dengan baik. Barulah setelah itu dia bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga bisa dipakai untuk menyerang atau berlari kencang. Dan yang menunggang akan merasa puas dari hasil latihannya. Jika tidak dilatih dengan baik, maka keindahannya sama sekali tidak akan memberikan manfaat, dan penunggangnya tidak akan merasa puas ketika menggunakannya.
(Baca juga : Andi Arief Bandingkan Habib Rizieq dengan Presiden Soekarno )
Ia melanjutkan, "Jika pemilik anak kuda ini memberikan perawatan dengan semangat baik dan paham keadaan, lalu dia serahkan ke orang yang ahli dalam merawat, dan dia tidak memilih perawat kecuali orang yang memiliki kemampuan dalam merawat dan kesabaran, lalu kuda itu dirawat dengan baik, maka akan bermanfaat bagi pemiliknya. Namun jika perawat tidak memiliki pengetahuan dalam merawat, tidak paham tentang mengajari kuda, maka dia akan merusak anak kuda itu dan justru membuat lelah dirinya. Sehingga tidak ada komentar baik orang yang menunggangnya."
Kemudian Imam Al-Ajurri mengatakan, ketika yang merawat memahami teknik merawat dan melatih kuda, hanya saja dia kurang sabar dalam menghadapi kesulitan ketika melatih kuda, sukanya hanya bermain, dan suka menunda-nunda apa yang menjadi tugas dalam melatih kuda, maka justru akan merusak anak kuda ini, sehingga nantinya tidak bisa digunakan untuk menyerang atau berlari kencang.
Wallahu A'lam
Setiap manusia tentu memiliki nafsu yang menjadi dasar atas segala urusan atau perbuatan yang dilakukannya, entah itu perbuatan baik atau perbuatan buruk. Sebenarnya nafsu itu sangatlah luas dan mencakup banyak hal.
(Baca juga : Safanah binti Hatim, Sang Diplomat Dakwah yang Santun )
Di dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan nafsu dengan 3 sifat, yang ketiganya kembali kepada keadaan masing-masing nafsu.
1. Nafsu muthmainnah
Nafsu ini adalah nafsu yang telah mencapai ketenangan , nafsu yang dapat dikendalikan oleh akal yang sehat. Nafsu ini telah mendapat rahmat Allah Ta'ala dan manusia yang mendapatkan nafsu ini akan mendapat ridha Allah Ta'ala di dunia dan akhirat. Orang ini akan mendapat “husnul Khatimah” di akhir hidupnya sebagai pintu menuju surga Allah Ta'ala.
(Baca juga : Warna Busana Dalam Islam : Antara Sunnah dan Kepantasan Lokal )
Allah Ta'ala berfirman,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr: 27-28).
Karakter dari nafsu ini beragam, misalnya memberi (lomo), tawakkal (berserah diri kepada Allah), ibadah (menghamba kepada Allah dengan ikhlas), bersyukur (kepada Allah), ridha (terhadap semua kehendak Allah), dan takut kepada Allah. Sedangkan warna sinar atau cahaya Jenis nafsu ini adalah putih.Jenis nafsu ini tidak terpengaruh dengan perkara perkara yang menakutkan atau menyusahkan.
(Baca juga : Penyakit Rendah Diri )
2. Nafsu lawwamah
Disebut nafsu lawwamah karena nafsu ini sering mencela orangnya disebabkan ia telah melakukan kesalahan, baik dosa besar, dosa kecil, atau meninggalkan perintah, baik yang sifatnya wajib atau anjuran.
Allah bersumpah dengan menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah: 2)
(Baca juga : Banjir Jadi Prioritas Kegiatan Anggaran DKI 2021 )
Nafsu ini sudah mengenal baik dan buruk. Nafsu tercela kerana kelalaian tuannya melaksanakan peraturan-peraturan Allah. Nafsu ini mengarahkan pemiliknya untuk menentang kejahatan, tetapi suatu saat jika ia lalai beribadah kepada Allah SWT, maka ia akan terjerumus kepada dosa. Orang yang memiliki nafsu ini tidak tetap pendirian untuk menjalankan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa.
3. Nafsu ammarah bis su’u
Itulah nafsu yang selalu mengajak pemiliknya untuk berbuat dosa, melakukan yang haram dan memotivasi pemiliknya untuk melakukan perbuatan hina.
(Baca juga: UMKM Masuk Bandara, AP I Buka Pintu Makin Lebar )
Allah sebutkan jenis nafsu ini dalam surat Yusuf,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).
Tiga keadaan di atas, tergantung dari suasana jiwa. Artinya, jiwa manusia bisa menjadi muthmainnah, dalam sekejap dia juga bisa berubah menjadi lawwamah, dan juga bisa langsung berubah menjadi ammarah bis suu’.
Sebagian ulama membuat perumpamaan tentang interaksi nafsu ini. Dikutip dari konsultasisyariah, salah satu ulama yang memberikan perumpamaan tentang nafsu ini adalah disampaikan Imam al-Ajurri – Ahli hadis dan sejarah dari Baghdad (wafat: 360 H).
(Baca juga : MPR: Pejabat Harus Jujur dan Siap Mundur Jika Bersalah )
Dalam kitabnya ‘Adabun Nufus’, Imam al-Ajurri mengatakan,
وأنا أمثل لك مثالا لا يخفى عليك أمرها إن شاء الله
"Saya akan sampaikan permisalan untuk anda, insyaaAllah masalah nafsu tidak lagi samar bagi anda"..
Kemudian Imam al-Ajurri menjelaskannya sebagai berikut : 'Pahamilah bahwa nafsu itu seperti anak kuda jantan (colt) yang sangat bagus. Setiap kali ada orang yang melihatnya, pasti terkagum dengan keindahan dan bagusnya. Hingga seorang ahli kuda berkomentar, ‘Kuda bagus ini tidak berarti sama sekali sampai dia dilatih dan diajari dengan baik. Barulah setelah itu dia bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga bisa dipakai untuk menyerang atau berlari kencang. Dan yang menunggang akan merasa puas dari hasil latihannya. Jika tidak dilatih dengan baik, maka keindahannya sama sekali tidak akan memberikan manfaat, dan penunggangnya tidak akan merasa puas ketika menggunakannya.
(Baca juga : Andi Arief Bandingkan Habib Rizieq dengan Presiden Soekarno )
Ia melanjutkan, "Jika pemilik anak kuda ini memberikan perawatan dengan semangat baik dan paham keadaan, lalu dia serahkan ke orang yang ahli dalam merawat, dan dia tidak memilih perawat kecuali orang yang memiliki kemampuan dalam merawat dan kesabaran, lalu kuda itu dirawat dengan baik, maka akan bermanfaat bagi pemiliknya. Namun jika perawat tidak memiliki pengetahuan dalam merawat, tidak paham tentang mengajari kuda, maka dia akan merusak anak kuda itu dan justru membuat lelah dirinya. Sehingga tidak ada komentar baik orang yang menunggangnya."
Kemudian Imam Al-Ajurri mengatakan, ketika yang merawat memahami teknik merawat dan melatih kuda, hanya saja dia kurang sabar dalam menghadapi kesulitan ketika melatih kuda, sukanya hanya bermain, dan suka menunda-nunda apa yang menjadi tugas dalam melatih kuda, maka justru akan merusak anak kuda ini, sehingga nantinya tidak bisa digunakan untuk menyerang atau berlari kencang.
Wallahu A'lam
(wid)