Ramadhan Momentum Mengikis Budaya Konsumtif
Senin, 11 Mei 2020 - 08:25 WIB
JAKARTA - Allah SWT melarang hambanya berlebih-lebihan, baik dalam hal ibadah maupun aktivitas sehari-hari lainnya. Melalui puasa Ramadhan setiap muslim seyogianya mampu melatih diri untuk tidak makan dan minum secara berlebih-lebihan atau berperilaku konsumtif.
Secara sederhana perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai kebiasaan membeli atau menggunakan barang tanpa pertimbangan atau bukan atas dasar kebutuhan. Di bulan Ramadhan, kecenderungan berlebihan ini sudah dimulai dari pengaturan menu makanan saat berbuka puasa, sahur, termasuk persiapan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Di dalam Alquran Allah SWT mengatakan, ”Katakanlah (Muhammad): Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah: 77).
Peringatan lain disampaikan Allah SWT dalam Surat Al-Araf ayat 31, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Sikap menahan diri dari segala perilaku konsumtif seyogianya terus dilakukan setiap muslim, tidak hanya saat bulan Ramadan, melainkan juga terpatri pada bulan-bulan lainnya. Ini penting karena berlebih-lebihan merupakan sikap tercela, hal yang tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya dan juga buruk di mata orang lain.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, di tengah budaya konsumtivisme saat ini, merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki memang tidak mudah karena manusia itu pada dasarnya ingin memiliki sesuatu yang lebih, bahkan hingga berlebihan. “Inilah dorongan nafsu yang harus dikendalikan. Ramadan hendaknya bisa menjadi pendidikan untuk manusia hidup zuhud dan altruistik. Zuhud berarti merasa cukup atas apa yang dimiliki. Altruistik adalah sikap dan kepribadian untuk senantiasa memberi dan tidak mementingkan diri sendiri," ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Mu’ti menjelaskan hakikat dan keutamaan puasa di bulan Ramadan adalah menahan nafsu yang timbul, terutama dari nafsu makan, minum, dan syahwat. Banyak masalah kesehatan dan sosial yang kemudian terjadi karena manusia tidak mampu menahan dirinya.
Secara teoretis, kata dia, puasa sejatinya dapat membuat orang yang menjalankannya menghemat pengeluaran. Misalnya jika pada hari biasa makan bisa tiga kali sehari kini selama Ramadan cukup dua kali, yakni saat berbuka dan sahur. Kenyataannya, selama Ramadan justru pengeluaran meningkat karena nafsu makan yang tidak terkendali. “Karena itu perlu menata kembali niat dan memperbaiki kualitas puasa yang dikerjakan,” ungkapnya.
Bahkan, Mu’ti berpandangan idealnya puasa tidak lagi sekadar ikhtiar menahan diri untuk tidak berperilaku konsumtif, melainkan bisa menjadi ajang gerakan sosial. Caranya, setiap umat muslim menghemat pengeluaran untuk makan dan dari situ disumbangkan kepada fakir miskin dan kaum dhuafa yang membutuhkan. Gerakan sosial seperti ini akan semakin bermakna di tengah situasi sulit seperti sekarang ini di mana banyak masyarakat yang mengalami kesulitan hidup akibat pandemi corona.
Banyak orang kehilangan mata pencaharian yang secara langsung berakibat pada sulitnya mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan begitu, bantuan dari para dermawan akan sangat berarti. Pahala yang diperoleh orang yang membantu sesama ini juga akan semakin besar karena dilakukan pada Ramadan, saat setiap amal atau perbuatan baik akan mendapatkan ganjaran yang berlipat-lipat ganda.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia MUI KH Cholil Nafiz mengatakan, puasa pada intinya membangun kepekaan dengan merasakan haus dan lapar. Karena itu, di dalam Islam setiap muslim didorong membangun kepekaan sosial. Contohnya, bagi orang yang memberi buka puasa kepada yang berpuasa akan mendapat pahala yang sama dengan orang yang berbuka puasa.
Maknanya. kata dia, puasa mengajarkan ada kepedulian untuk bisa memberi kepada yang membutuhkan. Dia mencontohkan pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa memberi orang yang berbuka puasa cukup dengan kurma dan air jika memang tidak ada makanan lain. “Itu menunjukkan kepedulian, itu didorong agar dilakukan,” ujarnya.
Cholil juga menekankan agar tidak berlebihan ketika berbuka puasa. Sebab Rasulullah pun hanya makan kurma saat berbuka lalu salat. Dia mengatakan, puasa menahan lapar di siang hari mesti diikuti kesederhanaan saat berbuka. Sebab, kata dia, tingkatan puasa yang paling tinggi menurut Imam Al-Ghazali adalah ketika saat berbuka seseorang bingung antara takut dan berharap. Yakni takut puasanya tidak diterima jadi makan pun dia tak berlebihan. (Neneng Zubaidah)
Secara sederhana perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai kebiasaan membeli atau menggunakan barang tanpa pertimbangan atau bukan atas dasar kebutuhan. Di bulan Ramadhan, kecenderungan berlebihan ini sudah dimulai dari pengaturan menu makanan saat berbuka puasa, sahur, termasuk persiapan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Di dalam Alquran Allah SWT mengatakan, ”Katakanlah (Muhammad): Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah: 77).
Peringatan lain disampaikan Allah SWT dalam Surat Al-Araf ayat 31, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Sikap menahan diri dari segala perilaku konsumtif seyogianya terus dilakukan setiap muslim, tidak hanya saat bulan Ramadan, melainkan juga terpatri pada bulan-bulan lainnya. Ini penting karena berlebih-lebihan merupakan sikap tercela, hal yang tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya dan juga buruk di mata orang lain.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, di tengah budaya konsumtivisme saat ini, merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki memang tidak mudah karena manusia itu pada dasarnya ingin memiliki sesuatu yang lebih, bahkan hingga berlebihan. “Inilah dorongan nafsu yang harus dikendalikan. Ramadan hendaknya bisa menjadi pendidikan untuk manusia hidup zuhud dan altruistik. Zuhud berarti merasa cukup atas apa yang dimiliki. Altruistik adalah sikap dan kepribadian untuk senantiasa memberi dan tidak mementingkan diri sendiri," ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin.
Mu’ti menjelaskan hakikat dan keutamaan puasa di bulan Ramadan adalah menahan nafsu yang timbul, terutama dari nafsu makan, minum, dan syahwat. Banyak masalah kesehatan dan sosial yang kemudian terjadi karena manusia tidak mampu menahan dirinya.
Secara teoretis, kata dia, puasa sejatinya dapat membuat orang yang menjalankannya menghemat pengeluaran. Misalnya jika pada hari biasa makan bisa tiga kali sehari kini selama Ramadan cukup dua kali, yakni saat berbuka dan sahur. Kenyataannya, selama Ramadan justru pengeluaran meningkat karena nafsu makan yang tidak terkendali. “Karena itu perlu menata kembali niat dan memperbaiki kualitas puasa yang dikerjakan,” ungkapnya.
Bahkan, Mu’ti berpandangan idealnya puasa tidak lagi sekadar ikhtiar menahan diri untuk tidak berperilaku konsumtif, melainkan bisa menjadi ajang gerakan sosial. Caranya, setiap umat muslim menghemat pengeluaran untuk makan dan dari situ disumbangkan kepada fakir miskin dan kaum dhuafa yang membutuhkan. Gerakan sosial seperti ini akan semakin bermakna di tengah situasi sulit seperti sekarang ini di mana banyak masyarakat yang mengalami kesulitan hidup akibat pandemi corona.
Banyak orang kehilangan mata pencaharian yang secara langsung berakibat pada sulitnya mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan begitu, bantuan dari para dermawan akan sangat berarti. Pahala yang diperoleh orang yang membantu sesama ini juga akan semakin besar karena dilakukan pada Ramadan, saat setiap amal atau perbuatan baik akan mendapatkan ganjaran yang berlipat-lipat ganda.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia MUI KH Cholil Nafiz mengatakan, puasa pada intinya membangun kepekaan dengan merasakan haus dan lapar. Karena itu, di dalam Islam setiap muslim didorong membangun kepekaan sosial. Contohnya, bagi orang yang memberi buka puasa kepada yang berpuasa akan mendapat pahala yang sama dengan orang yang berbuka puasa.
Maknanya. kata dia, puasa mengajarkan ada kepedulian untuk bisa memberi kepada yang membutuhkan. Dia mencontohkan pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa memberi orang yang berbuka puasa cukup dengan kurma dan air jika memang tidak ada makanan lain. “Itu menunjukkan kepedulian, itu didorong agar dilakukan,” ujarnya.
Cholil juga menekankan agar tidak berlebihan ketika berbuka puasa. Sebab Rasulullah pun hanya makan kurma saat berbuka lalu salat. Dia mengatakan, puasa menahan lapar di siang hari mesti diikuti kesederhanaan saat berbuka. Sebab, kata dia, tingkatan puasa yang paling tinggi menurut Imam Al-Ghazali adalah ketika saat berbuka seseorang bingung antara takut dan berharap. Yakni takut puasanya tidak diterima jadi makan pun dia tak berlebihan. (Neneng Zubaidah)
(ysw)