Kikir dan Bakhil, Kemaksiatan Hati yang Merusak Kehidupan
Selasa, 12 Mei 2020 - 15:41 WIB
(
)
Seandainya dia adalah orang yang beriman dengan iman yang benar maka dia akan yakin bahwasanya harta yang dia keluarkan akan diganti oleh Allah baik di dunia maupun di akhirat. Dia tidak akan khawatir jika menginfakkan sebagian dari hartanya. Dia akan selalu mengusahakan dirinya untuk bersedekah dan bersedekah , karena dia yakin sedekahnya adalah bukti dari keimanannya. ( )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ
“Bahwa sedekah itu adalah bukti.” (HR Muslim no. 223)
Allah memerintahkan umat Islam untuk gemar bersedekah baik dalam kondisi lapang dan sempit. Dan, mengamalkan perintah sedekah yang dapat membantu diri kita terbebas dari penyakit kikir alias bakhil Allah kategorikan sebagai bukti ketaqwaan seorang hamba (QS. 3: 133 – 134).
( )
Mungkin pada masa umat Nabi Muhammad, orang yang kikir tidak dihukum sebagaimana Qarun mengalaminya. Tetapi, ingatlah apa yang Allah jelaskan di dalam Al-Qur’an.
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَٮٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرً۬ا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرٌّ۬ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۗ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS Ali Imran : 180).
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta kepadanya, kemudian ia tidak mengeluarkan zakat nya, maka ia akan berwujud ular yang sangat besar yang akan menariknya dengan dua tulang rahangnya yang lebar, kemudian ia berkata, “ saya adalah harta simmpanananmu.” Kemudian Rasulullah membacakan ayat ini (Ali Imran: 180), sampai akhir hayat.” (HR. Bukhari).
( )
Dengan demikian, jauhilah bakhil alias kikir, karena itu bukan jalan keselamatan, sebaliknya justru jalan cepat menuju kebinasaan.
“Keburukan yang ada di dalam diri seseorang ialah, kekikiran yang meresahkan dan sikap pengecut yang melucuti.” (HR Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., 9:17. Hafizh al-Iraqi berkata dalam Takhrij al-Ihya': "Isnad hadis ini baik." dan disahihkan oleh Syaikh Syu'aib dalam Takhrij Ibn Hibban; dan diriwayatkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (3709)
Para ulama berkata, “Kikir adalah sifat bakhil yang disertai dengan tamak. Ia melebihi keengganan untuk memberikan sesuatu karena kebakhilan. Bakhil hanyalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemberian harta benda saja, sedangkan kikir berkaitan dengan pemberian harta benda dan juga kebaikan atau ketaatan. Dan kekikiran yang meresahkan (al-syukhkh al-hali’) ialah yang membuat pelakunya selalu resah, dan sangat gelisah. Artinya, dia selalu gelisah dan khawatir bila ada haknya yang diminta orang.”
Mereka berkata, kekikiran selamanya tidak pernah akan bertemu dengan pengetahuan terhadap Allah. Karena sesungguhnya keengganan untuk menafkahkan harta benda dan memberikannya kepada orang lain adalah karena takut miskin, dan ini merupakan kebodohan terhadap Allah, dan tidak mempercayai janji dan jaminannya. Atas dasar itulah hadis Nabi saw menafikkan pertemuan antara kekikiran dan keimanan di dalam hati manusia. Masing-masing menolak yang lain.
Berangkat dari hal tersebut, hendaknya seorang muslim merenungi akan akibat buruk dari sifat bakhil. Menahan harta tanpa mengeluarkannya untuk kemaslahatan ummat atau minimal diri sendiri adalah salah satu ciri bakhil dan kikir.
Seseorang yang diberi harta maka diperbolehkan baginya ia gunakan demi kemaslahatan pribadinya, baik ia gunakan untuk berobat, menafkahi keluarganya dengan cukup, membeli pakaian yang baru agar terlihat rapi dan bersih, membeli kendaraan yang dapat membantunya untuk beribadah dan memudahkannya untuk melakukan aktivitas lainnya, dan lain-lain, selama tidak terjatuh dalam taraf bermewah-mewahan dan bersombong-sombong. Karena Allah juga memotivasi hambanya agar menampakkan nikmat Allah pada dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah ingin melihat dampak dari nikmat (yang diberikan kepada hambanya) pada diri hambanya tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2819)
Seandainya dia adalah orang yang beriman dengan iman yang benar maka dia akan yakin bahwasanya harta yang dia keluarkan akan diganti oleh Allah baik di dunia maupun di akhirat. Dia tidak akan khawatir jika menginfakkan sebagian dari hartanya. Dia akan selalu mengusahakan dirinya untuk bersedekah dan bersedekah , karena dia yakin sedekahnya adalah bukti dari keimanannya. ( )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ
“Bahwa sedekah itu adalah bukti.” (HR Muslim no. 223)
Allah memerintahkan umat Islam untuk gemar bersedekah baik dalam kondisi lapang dan sempit. Dan, mengamalkan perintah sedekah yang dapat membantu diri kita terbebas dari penyakit kikir alias bakhil Allah kategorikan sebagai bukti ketaqwaan seorang hamba (QS. 3: 133 – 134).
( )
Mungkin pada masa umat Nabi Muhammad, orang yang kikir tidak dihukum sebagaimana Qarun mengalaminya. Tetapi, ingatlah apa yang Allah jelaskan di dalam Al-Qur’an.
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَٮٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرً۬ا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرٌّ۬ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِۗ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS Ali Imran : 180).
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta kepadanya, kemudian ia tidak mengeluarkan zakat nya, maka ia akan berwujud ular yang sangat besar yang akan menariknya dengan dua tulang rahangnya yang lebar, kemudian ia berkata, “ saya adalah harta simmpanananmu.” Kemudian Rasulullah membacakan ayat ini (Ali Imran: 180), sampai akhir hayat.” (HR. Bukhari).
( )
Dengan demikian, jauhilah bakhil alias kikir, karena itu bukan jalan keselamatan, sebaliknya justru jalan cepat menuju kebinasaan.
“Keburukan yang ada di dalam diri seseorang ialah, kekikiran yang meresahkan dan sikap pengecut yang melucuti.” (HR Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., 9:17. Hafizh al-Iraqi berkata dalam Takhrij al-Ihya': "Isnad hadis ini baik." dan disahihkan oleh Syaikh Syu'aib dalam Takhrij Ibn Hibban; dan diriwayatkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (3709)
Para ulama berkata, “Kikir adalah sifat bakhil yang disertai dengan tamak. Ia melebihi keengganan untuk memberikan sesuatu karena kebakhilan. Bakhil hanyalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemberian harta benda saja, sedangkan kikir berkaitan dengan pemberian harta benda dan juga kebaikan atau ketaatan. Dan kekikiran yang meresahkan (al-syukhkh al-hali’) ialah yang membuat pelakunya selalu resah, dan sangat gelisah. Artinya, dia selalu gelisah dan khawatir bila ada haknya yang diminta orang.”
Mereka berkata, kekikiran selamanya tidak pernah akan bertemu dengan pengetahuan terhadap Allah. Karena sesungguhnya keengganan untuk menafkahkan harta benda dan memberikannya kepada orang lain adalah karena takut miskin, dan ini merupakan kebodohan terhadap Allah, dan tidak mempercayai janji dan jaminannya. Atas dasar itulah hadis Nabi saw menafikkan pertemuan antara kekikiran dan keimanan di dalam hati manusia. Masing-masing menolak yang lain.
Berangkat dari hal tersebut, hendaknya seorang muslim merenungi akan akibat buruk dari sifat bakhil. Menahan harta tanpa mengeluarkannya untuk kemaslahatan ummat atau minimal diri sendiri adalah salah satu ciri bakhil dan kikir.
Seseorang yang diberi harta maka diperbolehkan baginya ia gunakan demi kemaslahatan pribadinya, baik ia gunakan untuk berobat, menafkahi keluarganya dengan cukup, membeli pakaian yang baru agar terlihat rapi dan bersih, membeli kendaraan yang dapat membantunya untuk beribadah dan memudahkannya untuk melakukan aktivitas lainnya, dan lain-lain, selama tidak terjatuh dalam taraf bermewah-mewahan dan bersombong-sombong. Karena Allah juga memotivasi hambanya agar menampakkan nikmat Allah pada dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
“Sesungguhnya Allah ingin melihat dampak dari nikmat (yang diberikan kepada hambanya) pada diri hambanya tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2819)