Kitab Kuning Beri Panduan Pelaksanaan Ibadah Muslim
Rabu, 13 Mei 2020 - 02:19 WIB
JAKARTA - Guru Besar Bidang Kajian Keislaman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hj Sri Mulyati menyatakan bahwa persoalan wabah sudah dibahas oleh ulama-ulama terdahulu (salaf), sehingga kajian terhadap kitab-kitab klasik (kuning) yang ada sangat membantu umat Islam dunia dalam melaksanakan ritual ibadah di saat pandemi Covid-19.
"Perubahan yang dilakukan itu (pelaksanaan ibadah yang tadinya di masjid, kemudian dialihkan sementara di rumah karena pandemi ) sesungguhnya sudah dibahas di zaman lampau, dan sekarang tinggal mengikuti adanya legitimiasi oleh ulama sekarang dalam arti diulang lagi dan oleh pemerintah," kata Sri saat mengisi acara bedah buku Fikih Wabah: Panduan Keagaman di Masa Pandemi yang diselenggarakan Rumah Kitab, Selasa (11/5). ( )
Bahkan, kata Sri, Dosen sosiologi di Rice University Houston di Texas, Craig Considine mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa Nabi Muhammad adalah yang pertama kali menyarankan karantina kesehatan dan kebersihan diri dalam kasus pandemi.
"Bagi milenial dan mereka yang suka dengan rujukan semisal ini tentunya harus menjadi perhatian. Objektivitas penelitian orientalis sekali pun itu sudah nampak di hadapan kita. Rujukan kita kembali apa yang disunnahkan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang disabdakan, yang diajarkan itu adalah sesuatu yang hak dan benar, sampai dengan saat ini dan seterusnya," ucapnya.
Ketua I PP Muslimat NU, seperti dikutip laman resmi Nahdlatul Ulama (NU) ini menyatakan bahwa umat Islam dapat melakukan salat di mana pun karena semua hamparan ini adalah bumi Allah untuk bersujud. Saat pandemi seperti sekarang ini, dan untuk menghindari bahaya Covid-19, maka umat Islam dapat melaksanakan salat di rumah.
Bagi masyarakat yang berada di daerah zona merah Covid-19, misalnya, tidak boleh memaksakan diri untuk salat Jumat di masjid. Perubahan tempat pelaksanaan salat, termasuk salat Jumat yang dalam keadaan normal dilakukan di masjid, tapi diganti dengan salat duhur di rumah itu karena ada uzur syar’i.
"Jadi tidak ada masalah ketika itu dilaksanakan, berjamaah, pahalanya sekali pun tidak berkurang," ucapnya. "Jadi sangat rasional dan simpel untuk dipahami," sambungnya.
Lebih lanjut ia menyatakan siapapun tidak boleh ada yang melarang pemakaman jenazah Covid-19. Menurutnya, Islam memberikan tuntunan bahwa orang yang hidup harus memberikan haknya orang meninggal, di antaranya memakamkan.
"Orang yang hidup harus memberikan haknya orang yang meninggal tentunya dengan protokol kesehatan," ucapnya.
Buku Panduan Rumah Kita Bersama atau Rumah KitaB meluncurkan sekaligus membedah buku Fikih Wabah: Panduan Keagamaan di Masa Pandemi secara daring. Buku Fikih Wabah ini ditulis oleh Achmat Hilmi, Jamaluddin Muhammad, dan Muhammad Fayyaz.
Buku Panduan
Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes menyatakan, buku ini disusun dengan sebuah metodologi yang konsisten digunakan Rumah KitaB, yakni maqasid syariah. "(Buku ini) berdasarkan apa sih tujuan beragama dan implikasinya dalam situasi seperti ini yang tiba-tiba gak boleh ke masjid, gak boleh berjamaah dan lain sebagainya," kata Lies.
Pada buku ini, Rumah KitaB juga disebut Lies berusaha menghadirkan perspektif keadilan gender sesuai dengan kebutuhan masyarakat supaya dapat melihat konsekuensi dari adanya pandemi Covid-19 .
Penulis buku Fikih Wabah Jamaluddin Muhammad mengemukakan, buku fikih wabah ini merupakan panduan bagi umat Islam mulai dari bagaimana sikap yang harus diambil dalam merespons pandemi Covid-19 sampai tuntunan menjalani ritual keagamaan dengan prinsip maqasid syariah.
"Karena semangat yang ingin disampaikan dalam buku ini sebetulnya satu, yaitu dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Jadi bagaimana menghindari mudarat, menghindari mafasid, kerusakan sebagai prinsip utama dalam menjalankan ritual keagamaan," kata Jamal.
Penulis lainnya, Achmat Hilmi menyatakan bahwa buku yang ditulisnya bukan buku panduan keagamaan pertama dalam merespons pandemi Covid. Namun, kata Hilmi, bukunya memiliki metodologi yang berbeda dengan buku fikih wabah yang lain yang sudah ada.
"Di sini penggunaan perspektif gender, terutama pembahasan soal anak dengan disabilitas itu sangat kentara. Misalnya di bab Ramadhan dan zakat, lalu pembahasan yang terkait sekali dengan pendekatan perempuan juga sangat kental di beberapa bab di buku ini," kata Hilmi.
Selain Sri, buku ini dibedah Pengampu Pengajian Ihya Ulumiddin Ulil Absar Abdalla, Ketua LBM PWNU Jakarta, dan Ketua PEKKA Nani Zulminarni. ( )
"Perubahan yang dilakukan itu (pelaksanaan ibadah yang tadinya di masjid, kemudian dialihkan sementara di rumah karena pandemi ) sesungguhnya sudah dibahas di zaman lampau, dan sekarang tinggal mengikuti adanya legitimiasi oleh ulama sekarang dalam arti diulang lagi dan oleh pemerintah," kata Sri saat mengisi acara bedah buku Fikih Wabah: Panduan Keagaman di Masa Pandemi yang diselenggarakan Rumah Kitab, Selasa (11/5). ( )
Bahkan, kata Sri, Dosen sosiologi di Rice University Houston di Texas, Craig Considine mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa Nabi Muhammad adalah yang pertama kali menyarankan karantina kesehatan dan kebersihan diri dalam kasus pandemi.
"Bagi milenial dan mereka yang suka dengan rujukan semisal ini tentunya harus menjadi perhatian. Objektivitas penelitian orientalis sekali pun itu sudah nampak di hadapan kita. Rujukan kita kembali apa yang disunnahkan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang disabdakan, yang diajarkan itu adalah sesuatu yang hak dan benar, sampai dengan saat ini dan seterusnya," ucapnya.
Ketua I PP Muslimat NU, seperti dikutip laman resmi Nahdlatul Ulama (NU) ini menyatakan bahwa umat Islam dapat melakukan salat di mana pun karena semua hamparan ini adalah bumi Allah untuk bersujud. Saat pandemi seperti sekarang ini, dan untuk menghindari bahaya Covid-19, maka umat Islam dapat melaksanakan salat di rumah.
Bagi masyarakat yang berada di daerah zona merah Covid-19, misalnya, tidak boleh memaksakan diri untuk salat Jumat di masjid. Perubahan tempat pelaksanaan salat, termasuk salat Jumat yang dalam keadaan normal dilakukan di masjid, tapi diganti dengan salat duhur di rumah itu karena ada uzur syar’i.
"Jadi tidak ada masalah ketika itu dilaksanakan, berjamaah, pahalanya sekali pun tidak berkurang," ucapnya. "Jadi sangat rasional dan simpel untuk dipahami," sambungnya.
Lebih lanjut ia menyatakan siapapun tidak boleh ada yang melarang pemakaman jenazah Covid-19. Menurutnya, Islam memberikan tuntunan bahwa orang yang hidup harus memberikan haknya orang meninggal, di antaranya memakamkan.
"Orang yang hidup harus memberikan haknya orang yang meninggal tentunya dengan protokol kesehatan," ucapnya.
Buku Panduan Rumah Kita Bersama atau Rumah KitaB meluncurkan sekaligus membedah buku Fikih Wabah: Panduan Keagamaan di Masa Pandemi secara daring. Buku Fikih Wabah ini ditulis oleh Achmat Hilmi, Jamaluddin Muhammad, dan Muhammad Fayyaz.
Buku Panduan
Direktur Rumah KitaB Lies Marcoes menyatakan, buku ini disusun dengan sebuah metodologi yang konsisten digunakan Rumah KitaB, yakni maqasid syariah. "(Buku ini) berdasarkan apa sih tujuan beragama dan implikasinya dalam situasi seperti ini yang tiba-tiba gak boleh ke masjid, gak boleh berjamaah dan lain sebagainya," kata Lies.
Pada buku ini, Rumah KitaB juga disebut Lies berusaha menghadirkan perspektif keadilan gender sesuai dengan kebutuhan masyarakat supaya dapat melihat konsekuensi dari adanya pandemi Covid-19 .
Penulis buku Fikih Wabah Jamaluddin Muhammad mengemukakan, buku fikih wabah ini merupakan panduan bagi umat Islam mulai dari bagaimana sikap yang harus diambil dalam merespons pandemi Covid-19 sampai tuntunan menjalani ritual keagamaan dengan prinsip maqasid syariah.
"Karena semangat yang ingin disampaikan dalam buku ini sebetulnya satu, yaitu dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih. Jadi bagaimana menghindari mudarat, menghindari mafasid, kerusakan sebagai prinsip utama dalam menjalankan ritual keagamaan," kata Jamal.
Penulis lainnya, Achmat Hilmi menyatakan bahwa buku yang ditulisnya bukan buku panduan keagamaan pertama dalam merespons pandemi Covid. Namun, kata Hilmi, bukunya memiliki metodologi yang berbeda dengan buku fikih wabah yang lain yang sudah ada.
"Di sini penggunaan perspektif gender, terutama pembahasan soal anak dengan disabilitas itu sangat kentara. Misalnya di bab Ramadhan dan zakat, lalu pembahasan yang terkait sekali dengan pendekatan perempuan juga sangat kental di beberapa bab di buku ini," kata Hilmi.
Selain Sri, buku ini dibedah Pengampu Pengajian Ihya Ulumiddin Ulil Absar Abdalla, Ketua LBM PWNU Jakarta, dan Ketua PEKKA Nani Zulminarni. ( )
(mhy)