Gus Mus: Masih Banyak yang Anggap Jabatan Menteri sebagai Anugerah

Jum'at, 25 Desember 2020 - 15:31 WIB
KH Ahmad Mustofa Bisri saat menerima Menteri Agama yang baru, Yaqut Cholil Qoumas/Foto/Ilustrasi/Ist
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang yang juga Rais Syuriah PBNU, KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus , hari ini, Jumat (25/12/2020) menerima kedatangan Menteri Agama yang baru, Yaqut Cholil Qoumas .

Gus Mus adalah paman Yaqut. Beliau adik kandung dari (alm) KH Cholil Bisri, ayah Yaqut. Menag datang ke kampung halamannya, Rembang, dalam rangka roadshow sowan ke para kiai. ( )


Gus Yaqut, sapaan akrab Menag, diterima oleh Gus Mus di ruang pribadinya. Tak seperti para pejabat lainnya yang diterima di ruang tamu. Pertemuan itu pun hanya dilakukan empat mata.

Usai menerima sang keponakan, Gus Mus memasang status di akun media sosialnya, antara lain Facebook. "Melihat banyaknya orang yang menyampaikan selamat atas diangkatnya keponakanku Yaqut Cholil Qoumas, rupanya masih banyak orang kita yang menganggap jabatan menteri sebagai anugerah," tulisnya.

Gus Yaqut mengaku mendapat sejumlah pesan dari Gus Mus terkait jabatan barunya sebagai Menteri Agama RI.

"Tentu yang pertama harus amanah, dihindarkan jauh-jauh dari perilaku tidak baik. Merangkul, ajak semua untuk memiliki perasaan yang sama kepada Indonesia. Tidak penting apa latar belakang kelompoknya, agamanya, RAS, dan seterusnya, semua diajak bersama mencintai Indonesia," kata Gus Yaqut meniru pesan dari Gus Mus. ( )


Amanah

Apa yang dikatakan Gus Mus, bahwa jabatan adalah amanah sudah banyak disampaikan para kiai. Boleh jadi, itu pula yang membuat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menolak sebagai wakil menteri Kabinet Indonesia Maju.

Rencananya, dia akan dilantik bersama-sama dengan enam menteri dan lima wamen lainnya. Namun, pada hari pelantikan, ternyata nama Abdul Mu'ti tidak termasuk dalam daftar pejabat negara yang dilantik Presiden Jokowi pada Rabu (23/12/2020).

Melalui akun media sosial Facebook, Abdu Mu'ti juga mengungkapkan alasannya tidak jadi bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju . "Setelah melalui berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk tidak bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju dalam jabatan wakil menteri," ujarnya.

Dia mengaku bahwa dirinya merasa tidak akan mampu mengemban amanah yang sangat berat itu. Dia dikabarkan akan didapuk menjadi Wamendikbud untuk mendampingi Nadiem Makarim . "Saya bukanlah figur yang tepat untuk amanah tersebut," kata Abdul Mu'ti. ( )


Sikap Mu'ti sungguh terpuji. Memikul amanah bukan perkara sepele. Jika memang tidak mampu sudah sepantasnya menolak dengan begitu memberi kesempatan kepada yang lebih mampu.

عن أبي ذرٍ رضي الله عنه، قال: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَىَ مَنْكِبِي. ثُمّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرَ إنّكَ ضَعِيفٌ وَإنّهَا أَمَانَةٌ، وَإنّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلاّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقّهَا وَأَدّى الّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah , tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Hadis ini menegaskan, untuk mewujudkan bangsa yang besar, kuat, dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat, bukan pemimpin yang lemah.

Sabda Nabi itu tidak hanya untuk Abu Dzar, tetapi untuk semua umatnya. Kedengarannya seperti mengancam, tapi seorang Nabi yang peduli pada umatnya itu sedang mengingatkan. Ada tiga kriteria pejabat yang tersembunyi dalam pesan di atas yaitu: amanah, mengambil dengan benar, dan menunaikan dengan baik.

Kriteria di atas tidaklah sederhana. Sebab, pejabat dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekadar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh Al-Qur’an haruslah orang yang kuat dan terpercaya. “Sungguh sebaik-baik pelayan yang engkau ambil adalah laki-laki yang kuat lagi dapat dipercaya,” (QS. Al-Qashas, 28: 26).

Kuat pada ayat di atas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah (dapat dipercaya) adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka, sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pejabat. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya.

Nabi pun konsisten dengan kriteria tersebut, Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan Pimpinan Militer, padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Namun, ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah.

Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.

Syaikhul Islam dalam as-Siyasah as-Syar'iyah menjelaskan kriteria pemimpin yang baik, "Selayaknya untuk diketahui, siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Kepemimpinan yang ideal memiliki dua sifat dasar, kuat (mampu) dan amanah. Lalu, menyitir firman Allah:

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26).

Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas jabatan dan kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khianat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka Al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf . Dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh Raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafidz), dan berpengetahuan (alim) (QS. Yusuf 12: 54).

Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi, yaitu hafidz, artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadis yang lain: Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafidza) atau menyia-nyiakannya. (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Syarat yang satu lagi adalah sifat Al-‘Alim, artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka besar jika pejabat dan pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diingatkan Umar bin Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Di sini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.

Skala Prioritas

Khalifah Umar bin Khattab pernah mengadu kepada Allah perihal kepemimpinan, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu, orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”

Jika demikian, diperlukan sebuah skala prioritas dalam menentukan kepemimpinan. Dalam posisi tertentu, sifat amanah itu lebih dikedepankan. Namun, di posisi lain, sifat kuat (mampu) dan profesional yang lebih dikedepankan.

Imam Ahmad, ketika ditanya, jika ada dua calon pemimpin untuk memimpin perang, yang satu profesional tetapi fasik, dan yang satunya lagi saleh tetapi lemah. Mana yang lebih layak untuk dipilih? Jawab Imam Ahmad, orang fasik yang profesional, kemampuannya menguntungkan kaum Muslimin.

Sementara sifat fasiknya merugikan dirinya sendiri. Sedangkan, orang saleh yang tidak profesional, kesalehannya hanya untuk dirinya sendiri, dan ketidakmampuannya dapat merugikan kaum Muslimin. Maka itu, dipilih perang bersama pemimpin yang profesional meskipun fasik.

Sebaliknya, jika dalam posisi jabatan (kepemimpinan) yang lebih membutuhkan sifat amanah, didahulukan yang lebih amanah meskipun kurang profesional. Maka dari itu, diutamakan yang lebih menguntungkan untuk jabatan tersebut, dan yang lebih sedikit dampak buruknya.

Ya, semoga saja Gus Yaqut akan amanah. Menurut Gus Mus, Yaqut tidak menganggap jabatan menteri sebagai anugrah. "Dia sadar bahwa jabatan itu amanah dan tanggung jawab. Jadi aku tinggal ikut mendoakan saja semoga dia mampu melaksanakan amanah dan tanggung jawab itu dengan sebaik-baiknya. Rabbunã yuwaffiq..." tuturnya. ( )
(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari 'Urwah bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa dalam shalatnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering berdoa: ALLAHUMMA INNI 'AUUDZUBIKA MIN 'ADZAABIL QABRI WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAL WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MAHYA WAL MAMAATI, ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MINAL MA'TSMI WAL MAGHRAMI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung dari fitnah Dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan lilitan hutang). Maka seseorang bertanya kepada beliau, Alangkah seringnya anda memohon perlindungan diri dari lilitan hutang. Beliau bersabda: Sesungguhnya apabila seseorang sudah sering berhutang, maka dia akan berbicara dan berbohong, dan apabila berjanji, maka dia akan mengingkari.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 746)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More