Pasca-Terbunuhnya Utsman bin Affan: Delapan Hari Tanpa Khalifah
Kamis, 14 Januari 2021 - 08:17 WIB
PERSOALAN gawat yang dihadapi kaum muslimin tidaklah terselesaikan dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman justru muncul krisis politik yang sifatnya lebih gawat, yang menuntut penanggulangan secara tepat dan bijaksana.
Beberapa waktu lamanya kehidupan kaum muslimin tanpa pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.
Duniawi kontra Zuhud
Buku " Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. " karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang selama kepemimpinan Khalifah Utsman memperoleh kepercayaan penuh, justru tidak mengambil tindakan apa pun juga.
Marwan bin Al-Hakam dan kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah . Amr bin Al-Ash, pada saat-saat Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang memberontak, cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri, tidak juga mengambil inisiatif apa pun.
Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang menjadi penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah olah tak pernah terjadi suatu peristiwa politik yang besar dan gawat.
Orang bertanya-tanya: Mengapa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman? Kemudian setelah Khalifah Utsman terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu?
Kenapa mereka berpangku tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum Khalifah yang baru di angkat?
Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar. Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan garam politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir Quraiys melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Rasulullah s.a.w. dan kaum muslimin.
Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain.
Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah pengganti Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasulullah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.
Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang sejak dulu sampai sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti Ali bin Abi Thalib r.a. dan lain-lain, harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai Khalifah penerus Utsman r.a. tidak mungkin dapat terlaksana.
Al Hamid Al Husaini menyebut usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman lebih dipersulit lagi oleh dua kenyataan:
Pertama, Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya konflik politik yang gawat dengan rakyatnya sendiri.
Kedua, ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang sudah tidak disukai oleh kaum muslimin.
Konflik politik dan warisan situasi yang tidak menguntungkan orang-orang Bani Umayyah itu perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai pengganti Khalifah Utsman.
Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana konflik politik yang sedang panas itu bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula dicari "kambing hitam" yang "tepat".
Dalam hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib r.a. merupakan seorang tokoh yang paling banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait Rasulullah s.a.w., melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan perang.
Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang Ali bin Abi Thalib r.a. dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban kafir Quraiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di ujung pedang Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pertempuran-pertempuran antara kaum musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.
Mereka juga tahu, bahwa di masa Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Ali bin Abi Thalib r.a. satu-satunya orang yang selalu mengingatkan Khalifah tentang besarnva bahaya yang akan timbul akibat permainan para pembantunya yang terdiri dari orang-orang Bani Umayyah.
Ali bin Abi Thalib jugalah yang selalu menasehati Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya pacuan memperebutkan harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan sementara lapisan ummat lslam. Bahkan Ali bin Abi Thalib jugalah yang bila perlu melancarkan kritik-kritik secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a.
Tokoh-tokoh Bani Umayyah tahu benar, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. adalah juru bicara yang paling mustahak mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang ingin dipulihkan kembali suasana kehidupan seperti yang pernah terjadi pada zaman hidupnya Rasulullah s.a.w.
Golongan Bani Umayyah memandang Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai penghambat dan selalu menjadi perintang bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materil.
Seandainya Khalifah Utsman r.a. sebelum wafatnya berwasyiat supaya Ali bin Abi Thalib r.a. dibai'at sebagai Khalifah penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan melaksanakannya.
Al Hamid Al Husaini menyebut pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Ali bin Abi Thalib r.a. dan pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan antar-golongan, melainkan pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan kehidupan zuhud .
Hal ini akan terbukti kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses pertentangan antara kedua belah pihak. (Bersambung)
Beberapa waktu lamanya kehidupan kaum muslimin tanpa pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.
Duniawi kontra Zuhud
Buku " Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a. " karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini memaparkan dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang selama kepemimpinan Khalifah Utsman memperoleh kepercayaan penuh, justru tidak mengambil tindakan apa pun juga.
Marwan bin Al-Hakam dan kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah . Amr bin Al-Ash, pada saat-saat Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang memberontak, cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri, tidak juga mengambil inisiatif apa pun.
Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang menjadi penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah olah tak pernah terjadi suatu peristiwa politik yang besar dan gawat.
Baca Juga
Orang bertanya-tanya: Mengapa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman? Kemudian setelah Khalifah Utsman terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu?
Kenapa mereka berpangku tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum Khalifah yang baru di angkat?
Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar. Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan garam politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir Quraiys melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Rasulullah s.a.w. dan kaum muslimin.
Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain.
Baca Juga
Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah pengganti Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasulullah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.
Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang sejak dulu sampai sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti Ali bin Abi Thalib r.a. dan lain-lain, harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai Khalifah penerus Utsman r.a. tidak mungkin dapat terlaksana.
Al Hamid Al Husaini menyebut usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman lebih dipersulit lagi oleh dua kenyataan:
Pertama, Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya konflik politik yang gawat dengan rakyatnya sendiri.
Kedua, ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang sudah tidak disukai oleh kaum muslimin.
Konflik politik dan warisan situasi yang tidak menguntungkan orang-orang Bani Umayyah itu perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai pengganti Khalifah Utsman.
Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana konflik politik yang sedang panas itu bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula dicari "kambing hitam" yang "tepat".
Dalam hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib r.a. merupakan seorang tokoh yang paling banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait Rasulullah s.a.w., melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan perang.
Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang Ali bin Abi Thalib r.a. dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban kafir Quraiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di ujung pedang Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pertempuran-pertempuran antara kaum musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.
Mereka juga tahu, bahwa di masa Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Ali bin Abi Thalib r.a. satu-satunya orang yang selalu mengingatkan Khalifah tentang besarnva bahaya yang akan timbul akibat permainan para pembantunya yang terdiri dari orang-orang Bani Umayyah.
Ali bin Abi Thalib jugalah yang selalu menasehati Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya pacuan memperebutkan harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan sementara lapisan ummat lslam. Bahkan Ali bin Abi Thalib jugalah yang bila perlu melancarkan kritik-kritik secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a.
Tokoh-tokoh Bani Umayyah tahu benar, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. adalah juru bicara yang paling mustahak mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang ingin dipulihkan kembali suasana kehidupan seperti yang pernah terjadi pada zaman hidupnya Rasulullah s.a.w.
Golongan Bani Umayyah memandang Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai penghambat dan selalu menjadi perintang bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materil.
Seandainya Khalifah Utsman r.a. sebelum wafatnya berwasyiat supaya Ali bin Abi Thalib r.a. dibai'at sebagai Khalifah penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan melaksanakannya.
Al Hamid Al Husaini menyebut pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Ali bin Abi Thalib r.a. dan pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan antar-golongan, melainkan pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan kehidupan zuhud .
Hal ini akan terbukti kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses pertentangan antara kedua belah pihak. (Bersambung)
(mhy)