Tingkatan Iman Manusia, Di Mana Posisi Kita?

Selasa, 19 Januari 2021 - 08:53 WIB
Wujud keimanan sendiri adalah dalam bentuk perilaku. Tentu perilaku ini harus konsisten. Foto ilustrasi/ist
Bagi seorang muslim, iman atau keimanan adalah hal mendasar . Keimanan tentunya menjadi pembeda antara seorang muslim atau bukan. Tanpa ada keimanan kepada Allah dan Islam tentu manusia akan menjadi makhluk yang rapuh , sebagaimana rumah tanpa adanya pondasi yang kuat dan kokoh.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan dan mempertebal iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana Allah Ta'ala firmankan:

اِنَّمَا الۡمُؤۡمِنُوۡنَ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا بِاللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُوۡا وَجَاهَدُوۡا بِاَمۡوَالِهِمۡ وَاَنۡفُسِهِمۡ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ‌ ؕ اُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوۡنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang hanya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS al-Hujurât: 15)





Wujud keimanan sendiri adalah dalam bentuk perilaku . Tentu perilaku ini harus konsisten. Konsisten bukan berarti manusia tidak tanpa kesalahan dan kekurangan. Konsisten dalam hal ini adalah selalu dalam jalur yang benar walau harus ada waktu untuk jatuh dan bangkit kembali.

Syekh Allamah Muhammab bin Umar an-Nawawi Al Batani dalam Kitab Syarah Kasyifah as-Saja Fi Syarhi Safinah an-Naja menyebutkan bahwa terdapat lima tingkatan manusia, di antaranya yaitu:

1. Iman Taklid

Iman taklid merupakan keimanan yang didasarkan pada kepercayaan akan ucapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Keimanan ini masih dianggap sah meskipun berdosa karena meninggalkan upaya mencari dalil ketika ia termasuk orang yang mampu mencari dalilnya.



2. Iman Ilmu atau Ilmul Yaqin

Tingkat keimanan kedua yaitu ada Iman ilmu atau ilmul yaqin. Pada tingkatan ini, keimanan seseorang didasarkan pada pemahaman aqidah-aqidah dan dalil-dalilnya.

"Orang dengan kategori keimanan pertama dan kedua terhijab dari zat Allah."

3. Iman Iyaan atau Ainul Yaqin

Keimanan berupa mengetahui Allah melalui pengawasan batin atau hati. Seseorang yang memiliki tingkat keimanan ini seolah-olah melihat Allah di tingkat maqam muraqabah atau derajat pengawasan hati. Sehingga Allah tidak hilang dan tidak ghaib sekejap pun dari mata batinnya.



4. Iman Haq atau Haqqul Yaqin

Pada tingkatan ini, keimanan seseorang yang melihat Allah melalui batinnya. Menurut para ulama seseorang yang memiliki tingkatan iman ini yakni orang yang makrifat. Seseorang tersebut dapat melihat Allah dalam segala sesuatu. Tingkatan ini berada di maqam musyahadah.

"Orang dengan kategori keimanan ini terhijab dari makhluk Allah."

5. Iman Hakikat

Seseorang pada tingkatan iman ini hanya melihat Allah bahkan dirinya pun tak terlihat. Dirinya bahkan merasa lenyap karena Allah dan dimabuk oleh cinta kepada-Nya. Layaknya tenggelam dalam lautan dan tidak melihat adanya pantai sama sekali. Keimanan ini berada pada tingkat maqam fana.



Keimanan pada tingkat pertama dan kedua bisa dicapai oleh seseorang melalui pencarian dalil dan mempelajari sifat-sifat Allah. Namun, tingkatan keimanan ketiga, keempat, dan kelima merupakan keimanan yang dikhususkan oleh Allah untuk seseorang yang dia kehendaki.

"Seseorang wajib berada di dua level pertama. Sedangkan tiga level setelah itu adalah ilmu rabbani (anugerah ilahi) yang Allah berikan secara khusus kepada sejumlah hamba-Nya yang dikehendaki."

Semua keimanan tersebut memiliki derajat yang berbeda di hadapan Allah. Sejatinya sebagai seorang hamba-Nya tidak pantas apabila kita menilai keimanan orang lain. Ada baiknya apabila kita fokus untuk meningkatkan iman kita sendiri.



Tak hanya terdapat lima tingkatan iman tersebut, karena menurut Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam-nya terdapat 6 tingkatan keimanan yaitu penambahan iman di tingkat maqam baqa. Pada tingkatan keenam ini dianggap lebih sempurna karena selain menjaga hubungan dengan Allah, juga tetap menjaga hubungan antara alam, manusia, dan hewan. Seseorang juga memandang dua entitas yang berbeda yaitu Allah sebagai ujud hakiki dan makhluk-Nya sebagai ujud majazi.

Dalam kutipan Al-Hikam seperti dinukil NU Online, menunjukkan tingkat keimanan maqam baqa.

"Sahabat Abu Bakar al-Siddiq Radhiyallahu'anhu memerintahkan Aisyah Radhiyallahu'anha ketika turun ayat pembebasannya dari fitnah melalui lisan Rasulullah, 'Wahai 'Aisyah, sampaikan ucapan terima kasih kepada Rasulullah!' "Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kecuali kepada Allah," jawab Aisyah.



Sahabat Abu Bakar al-Siddiq lalu menunjukinya dengan maqam yang lebih sempurna, yaitu maqam baqa yang menuntut ketetapan eksistensi ciptaan-Nya.

Allah berfirman,

وَوَصَّيۡنَا الۡاِنۡسٰنَ بِوَالِدَيۡهِ‌ۚ حَمَلَتۡهُ اُمُّهٗ وَهۡنًا عَلٰى وَهۡنٍ وَّفِصٰلُهٗ فِىۡ عَامَيۡنِ اَنِ اشۡكُرۡ لِىۡ وَلِـوَالِدَيۡكَؕ اِلَىَّ الۡمَصِيۡرُ

"Bersyukurlah kepada-Ku dan bersyukurlah kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembali," (QS.Luqman: 14).

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak dianggap bersyukur kepada Allah kalau tidak berterima kasih kepada orang lain."



Tentu saja ketika itu Siti Aisyah sedang tercabut dari penglihatannya dan lenyap dari ciptaan-Nya sehingga ia hanya menyaksikan Allah yang maha esa dan maha perkasa."

Wallahu A'lam.
(wid)
Follow
Hadits of The Day
Dari Ibnu Umar dari Hafshah ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat di waktu malamnya.

(HR. Sunan Ibnu Majah No. 1690)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More