Belajar Menepati Janji Dari Para Nabi
Jum'at, 12 Februari 2021 - 07:08 WIB
إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلۡوَعۡدِ
“Dia benar-benar seorang yang benar janjinya.” (QS Maryam: 54)
Maksudnya, tidaklah beliau menjanjikan sesuatu, kecuali pasti beliau penuhi. Hal ini mencakup janji yang beliau ikrarkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ataupun kepada manusia.
Oleh karena itu, tatkala beliau berjanji untuk sabar disembelih bapaknya—karena menaati perintah Allah subhanahu wa ta’ala—beliau pun menepatinya dengan mempersembahkan diri beliau untuk tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala (untuk disembelih). (Taisir al-Karimir Rahman)
Adapun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, beliau dianugerahi bagian yang besar dalam permasalahan menepati janji ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau shallallahu alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi tepercaya. Maka dari itu, tatkala beliau shallallahu alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, perangai mulia ini semakin menjadi sempurna pada diri beliau. Orang-orang kafir pun mengagumi beliau, terlebih orang-orang yang mengikuti dan beriman kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Pada tahun keenam Hijriah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah bersama para sahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy.
Ketika sampai di al-Hudaibiyah, beliau shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin diadang oleh kaum musyrikin. Kemudian terjadilah perundingan antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mereka, yang menelurkan beberapa butir perjanjian, di antaranya: gencatan senjata selama sepuluh tahun; tidak boleh saling menyerang; kaum muslimin tidak boleh melaksanakan umrah tahun ini, namun tahun depan; dan jika ada penduduk Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, kaum muslimin harus memulangkannya ke Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail—juru runding orang Quraisy—masuk Islam dan ingin ikut bersama para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah.
Suhail berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan dan kaum muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun, di balik peristiwa itu justru terdapat suatu kebaikan bagi kaum muslimin: dakwah kian tersebar dan ada semangat untuk menyusun kembali kekuatan.
Belum lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa Penaklukan Kota Makkah (Fathu Makkah), yang membuat mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin.
Dengan demikian, jatuhlah markas komando kaum musyrikin ke tangan kaum muslimin, dan manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Inilah salah satu buah menepati janji, yaitu datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah. (Zadul Ma’ad, 3/262)
Seperti itulah besarnya urusan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Sebab, mereka yakin bahwa janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Tiada satu kalimat pun yang terucap, kecuali ada malaikat yang selalu mencatatnya. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala perilaku dan perangai terpuji.
Wallahu A'lam
“Dia benar-benar seorang yang benar janjinya.” (QS Maryam: 54)
Maksudnya, tidaklah beliau menjanjikan sesuatu, kecuali pasti beliau penuhi. Hal ini mencakup janji yang beliau ikrarkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ataupun kepada manusia.
Oleh karena itu, tatkala beliau berjanji untuk sabar disembelih bapaknya—karena menaati perintah Allah subhanahu wa ta’ala—beliau pun menepatinya dengan mempersembahkan diri beliau untuk tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala (untuk disembelih). (Taisir al-Karimir Rahman)
Adapun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, beliau dianugerahi bagian yang besar dalam permasalahan menepati janji ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau shallallahu alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi tepercaya. Maka dari itu, tatkala beliau shallallahu alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, perangai mulia ini semakin menjadi sempurna pada diri beliau. Orang-orang kafir pun mengagumi beliau, terlebih orang-orang yang mengikuti dan beriman kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Pada tahun keenam Hijriah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah bersama para sahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy.
Ketika sampai di al-Hudaibiyah, beliau shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin diadang oleh kaum musyrikin. Kemudian terjadilah perundingan antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mereka, yang menelurkan beberapa butir perjanjian, di antaranya: gencatan senjata selama sepuluh tahun; tidak boleh saling menyerang; kaum muslimin tidak boleh melaksanakan umrah tahun ini, namun tahun depan; dan jika ada penduduk Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, kaum muslimin harus memulangkannya ke Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail—juru runding orang Quraisy—masuk Islam dan ingin ikut bersama para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah.
Suhail berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan dan kaum muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun, di balik peristiwa itu justru terdapat suatu kebaikan bagi kaum muslimin: dakwah kian tersebar dan ada semangat untuk menyusun kembali kekuatan.
Belum lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa Penaklukan Kota Makkah (Fathu Makkah), yang membuat mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin.
Baca Juga
Dengan demikian, jatuhlah markas komando kaum musyrikin ke tangan kaum muslimin, dan manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Inilah salah satu buah menepati janji, yaitu datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah. (Zadul Ma’ad, 3/262)
Seperti itulah besarnya urusan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Sebab, mereka yakin bahwa janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Tiada satu kalimat pun yang terucap, kecuali ada malaikat yang selalu mencatatnya. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala perilaku dan perangai terpuji.
Wallahu A'lam
(wid)
Lihat Juga :