Karomah Terbesar Seorang Guru Adalah Keistiqomahannya Mengajar
Sabtu, 10 April 2021 - 22:05 WIB
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Karomah seringkali dijadikan standar bagi orang awam dalam menilai kehebatan seorang guru. Karomah yang dianggap sebagai sebuah karomah pun seringkali diyakini hanya bersifat 'Karomah Hissy' atau fenomena 'Khawariqul Adah' (keganjilan di luar nalar dan logika).
Sedangkan 'Karomah Maknawi' jauh lebih tinggi dalam pandangan kaum Arifin-billah dan para Auliya Allah. Sebab, karomah ini bukan lagi bersifat fenomena atau kejadian di luar nalar dan logika. Akan tetapi maqam kemakrifatan kepada Allah yang menjadi puncak tujuan para Auliya Allah.
Bahkan menurut para ulama sufi, semisal pandangan Imam Qusyairi di dalam Risalah Qusyairiyyah bahwa keistiqamahan itu lebih utama daripada seribu karomah. "Al-Istiqamatu Khairun min Alfi Karamaat."
Pesan pemuka tokoh sufi generasi awal, Imam Hasan Al-Bashri mewanti-wanti: "Jika kamu melihat seseorang yang bisa terbang di udara atau berjalan di atas air atau dapat menghilang dalam sekejap, maka janganlah kamu terpengaruh sampai kamu melihat keistiqamahannya dalam menegakkan syariat hukum Allah."
Menurut pandangan Al-Imam Syekh Ramadhan Al-Bouti ketika mensyarahkan "Al-Hikam" beliau menuliskan:
"Peringatan, tahzir, agar tidak mengikuti cara kebanyakan orang, yang menilai kedudukan ulama atau pemimpin agama, dari kejadian luar biasa atau karomahnya."
Ulama yang dikabarkan banyak mengalami kejadian-kejadian aneh, seperti berjalan di atas air, otomatis akan dianggap mulia, didatangi banyak orang, semua ucapannya diterima, perbuatannya dijadikan dalil, tanpa melirik lagi pertimbangan dalil syariat.
Sedangkan ulama yang sama sekali tak pernah didapati cerita aneh tentangnya, akan dipertanyakan terus keramatnya, sampai benar-benar ditinggalkan ummat karena dianggap kosong dari sirr. Jauh dari nur, belum layak ditokohkan, lalu ucapan ucapannya tak dihiraukan.
Kewalian para kekasih Allah menurut awam diukur dari magic show yang dipertontonkan. Itulah yang akhirnya menyebabkan banyak sekali cerita cerita hoaks yang sengaja dibuat oleh orang yang ingin diakui keulamaannya, atau oleh murid-murid yang ingin mengangkat nama gurunya.
Kecintaan Allah kepada hamba-Nya (kewalian) tidak mereka ukur dari seberapa istiqomah menjalankan syariat Allah. Justru mereka timbang dari seberapa nyeleneh dia melaksanakan agama.
Akhirnya, orang sakit jiwa berkolor bolong bagian depannya -maaf-, yang teriak-teriak saat khutbah dikumandangkan, diaminkan lebih khusyuk dari pada doa guru yang istiqomah meneladankan akhlak kepada mereka.
Semoga tulisan ini bisa mencerahkan bagi mereka yang mudah terpengaruh dan terpukau memilih guru-guru baru. Apalagi bagi yang belum memahami hakikat guru yang menunjukkan jalan keselamatan dunia dan akhirat. Semoga Allah membimbing kita semua.
Wallahu A'lam
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Karomah seringkali dijadikan standar bagi orang awam dalam menilai kehebatan seorang guru. Karomah yang dianggap sebagai sebuah karomah pun seringkali diyakini hanya bersifat 'Karomah Hissy' atau fenomena 'Khawariqul Adah' (keganjilan di luar nalar dan logika).
Sedangkan 'Karomah Maknawi' jauh lebih tinggi dalam pandangan kaum Arifin-billah dan para Auliya Allah. Sebab, karomah ini bukan lagi bersifat fenomena atau kejadian di luar nalar dan logika. Akan tetapi maqam kemakrifatan kepada Allah yang menjadi puncak tujuan para Auliya Allah.
Bahkan menurut para ulama sufi, semisal pandangan Imam Qusyairi di dalam Risalah Qusyairiyyah bahwa keistiqamahan itu lebih utama daripada seribu karomah. "Al-Istiqamatu Khairun min Alfi Karamaat."
Pesan pemuka tokoh sufi generasi awal, Imam Hasan Al-Bashri mewanti-wanti: "Jika kamu melihat seseorang yang bisa terbang di udara atau berjalan di atas air atau dapat menghilang dalam sekejap, maka janganlah kamu terpengaruh sampai kamu melihat keistiqamahannya dalam menegakkan syariat hukum Allah."
Menurut pandangan Al-Imam Syekh Ramadhan Al-Bouti ketika mensyarahkan "Al-Hikam" beliau menuliskan:
"Peringatan, tahzir, agar tidak mengikuti cara kebanyakan orang, yang menilai kedudukan ulama atau pemimpin agama, dari kejadian luar biasa atau karomahnya."
Ulama yang dikabarkan banyak mengalami kejadian-kejadian aneh, seperti berjalan di atas air, otomatis akan dianggap mulia, didatangi banyak orang, semua ucapannya diterima, perbuatannya dijadikan dalil, tanpa melirik lagi pertimbangan dalil syariat.
Sedangkan ulama yang sama sekali tak pernah didapati cerita aneh tentangnya, akan dipertanyakan terus keramatnya, sampai benar-benar ditinggalkan ummat karena dianggap kosong dari sirr. Jauh dari nur, belum layak ditokohkan, lalu ucapan ucapannya tak dihiraukan.
Kewalian para kekasih Allah menurut awam diukur dari magic show yang dipertontonkan. Itulah yang akhirnya menyebabkan banyak sekali cerita cerita hoaks yang sengaja dibuat oleh orang yang ingin diakui keulamaannya, atau oleh murid-murid yang ingin mengangkat nama gurunya.
Kecintaan Allah kepada hamba-Nya (kewalian) tidak mereka ukur dari seberapa istiqomah menjalankan syariat Allah. Justru mereka timbang dari seberapa nyeleneh dia melaksanakan agama.
Akhirnya, orang sakit jiwa berkolor bolong bagian depannya -maaf-, yang teriak-teriak saat khutbah dikumandangkan, diaminkan lebih khusyuk dari pada doa guru yang istiqomah meneladankan akhlak kepada mereka.
Semoga tulisan ini bisa mencerahkan bagi mereka yang mudah terpengaruh dan terpukau memilih guru-guru baru. Apalagi bagi yang belum memahami hakikat guru yang menunjukkan jalan keselamatan dunia dan akhirat. Semoga Allah membimbing kita semua.
Wallahu A'lam
(rhs)