Sejarah Singkat Perkembangan Ilmu Tafsir Al-Qur'an (1)
Minggu, 11 April 2021 - 09:02 WIB
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Perkembangan awal tafsir Al-Qur'an sejatinya telah diawali semenjak turunnya Al-Qur'an itu sendiri. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai pengemban risalah dakwah dalam posisinya sebagai objek penerima wahyu Al-Qur'an, pada saat yang sama juga beliau menempati peran sebagai penafsir dari ayat-ayat kalam Allah itu.
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم masih hidup sering kali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Baca Juga: 15 Ilmu Ini Harus Dikuasai Jika Ingin Menafsirkan Al-Qur'an
Manakala para sahabat tidak memahami arti makna atau kandungan ayat yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an, maka mereka pun masih mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk bertanya dan meminta penjelasan atas kandungan ayat yang belum mereka mengerti.
Sebagai contoh, ketika turunnya QS Al-An'am Ayat 82 yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman akan mendapatkan ketentraman dan petunjuk dari Allah Ta'ala."
Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri? Rasul menjawab: Bukan itu yang dimaksud ayat tersebut. Kezaliman dalam ayat ini maknanya ialah kemusyrikan. Tidakkah kalian mendengar firman Allah: "Sesungguhnya kemusyrikan itu ialah kezaliman yang besar" (QS. Lukman: 13)"
Sepeninggal Rasulullah صلى الله عليه وسلم, para sahabat masih dapat bertanya dengan para sahabat yang memiliki kapasitas dan keahlian di bidang penafsiran Al-Qur'an. Salah satu di antaranya, yaitu Ibn Abbas, seorang ulama tafsir yang pernah didoakan langsung oleh Nabi صلى الله عليه وسلم sewaktu kecilnya agar ia memperoleh pemahaman yang luas dalam memahami ayat-ayat Allah di dalam Al-Qur'an.
Usaha menafsirkan Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri. Ali ibn Abi Thalib (wafat 40 H); ‘Abdullah ibn ‘Abbas (wafat 68 H); Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 32 H) dan Ubay ibn Ka'ab (wafat 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dibanding sahabat-sahabat yang lain.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy'ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum ada satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.
Selanjutnya pada masa Tabi'in, upaya penafsiran terus berlangsung dan terus mengalami perkembangan yang sangat pesat di kalangan kaum muslimin. Pada masa periode ini, sejarah perkembangan t afsir Al-Qur'an telah mengkristal menjadi satu disiplin keilmuan tersendiri yang baru dikenal dengan metode penjelasan tafsir bil riwayah.
Tercatat paling tidak di masa ini terdapat 3 corak aliran tafsir yang masing-masing berkembang di Makkah, Madinah dan Irak.
1. Aliran Makkah yang berkiblat pada Ibn Abbas. Di antara murid-murid Ibn Abbas, yaitu Sa’id Ibn Jabr, Mujahid Ibn Jabir al-Makky, Atha Ibn Abi Rab’ah, Ikrimah dll.
2. Aliran Madinah yang berkiblat pada Ubay bin Ka’ab. Di antara murid-muridnya, Anas bin Malik, Abdurrahman bin Zayd, dll.
3. Aliran Irak yang berkiblat pada Ibn Mas’ud. Di antara murid-murid Ibn Mas’ud, yaitu: Qatadah dan Imam Hasan al-Bashri, dll.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masingmasing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri. Namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri.
Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut Tafsir bil Ma`tsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma'tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut.
Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai Tafsir bi ar-Ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai Tafsir Isyari.
Perkembangan selanjutnya, ilmu tafsir terus menerus menjadi perhatian khusus bagi kaum muslimin berabad-abad lamanya dari generasi ke generasi hingga hari ini. Terkait periodesasi sejarah perkembangan ilmu tafsir Al-Qur'an, dapatlah kita bagi menjadi tiga periode, yaitu periode awal, periode pertengahan dan periode masa modern saat ini.
(Bersambung)
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Perkembangan awal tafsir Al-Qur'an sejatinya telah diawali semenjak turunnya Al-Qur'an itu sendiri. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai pengemban risalah dakwah dalam posisinya sebagai objek penerima wahyu Al-Qur'an, pada saat yang sama juga beliau menempati peran sebagai penafsir dari ayat-ayat kalam Allah itu.
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم masih hidup sering kali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Baca Juga: 15 Ilmu Ini Harus Dikuasai Jika Ingin Menafsirkan Al-Qur'an
Manakala para sahabat tidak memahami arti makna atau kandungan ayat yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an, maka mereka pun masih mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk bertanya dan meminta penjelasan atas kandungan ayat yang belum mereka mengerti.
Sebagai contoh, ketika turunnya QS Al-An'am Ayat 82 yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman akan mendapatkan ketentraman dan petunjuk dari Allah Ta'ala."
Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri? Rasul menjawab: Bukan itu yang dimaksud ayat tersebut. Kezaliman dalam ayat ini maknanya ialah kemusyrikan. Tidakkah kalian mendengar firman Allah: "Sesungguhnya kemusyrikan itu ialah kezaliman yang besar" (QS. Lukman: 13)"
Sepeninggal Rasulullah صلى الله عليه وسلم, para sahabat masih dapat bertanya dengan para sahabat yang memiliki kapasitas dan keahlian di bidang penafsiran Al-Qur'an. Salah satu di antaranya, yaitu Ibn Abbas, seorang ulama tafsir yang pernah didoakan langsung oleh Nabi صلى الله عليه وسلم sewaktu kecilnya agar ia memperoleh pemahaman yang luas dalam memahami ayat-ayat Allah di dalam Al-Qur'an.
Usaha menafsirkan Al-Qur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri. Ali ibn Abi Thalib (wafat 40 H); ‘Abdullah ibn ‘Abbas (wafat 68 H); Abdullah Ibn Mas’ud (wafat 32 H) dan Ubay ibn Ka'ab (wafat 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dibanding sahabat-sahabat yang lain.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy'ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum ada satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.
Selanjutnya pada masa Tabi'in, upaya penafsiran terus berlangsung dan terus mengalami perkembangan yang sangat pesat di kalangan kaum muslimin. Pada masa periode ini, sejarah perkembangan t afsir Al-Qur'an telah mengkristal menjadi satu disiplin keilmuan tersendiri yang baru dikenal dengan metode penjelasan tafsir bil riwayah.
Tercatat paling tidak di masa ini terdapat 3 corak aliran tafsir yang masing-masing berkembang di Makkah, Madinah dan Irak.
1. Aliran Makkah yang berkiblat pada Ibn Abbas. Di antara murid-murid Ibn Abbas, yaitu Sa’id Ibn Jabr, Mujahid Ibn Jabir al-Makky, Atha Ibn Abi Rab’ah, Ikrimah dll.
2. Aliran Madinah yang berkiblat pada Ubay bin Ka’ab. Di antara murid-muridnya, Anas bin Malik, Abdurrahman bin Zayd, dll.
3. Aliran Irak yang berkiblat pada Ibn Mas’ud. Di antara murid-murid Ibn Mas’ud, yaitu: Qatadah dan Imam Hasan al-Bashri, dll.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masingmasing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri. Namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri.
Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut Tafsir bil Ma`tsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma'tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut.
Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai Tafsir bi ar-Ra'yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai Tafsir Isyari.
Perkembangan selanjutnya, ilmu tafsir terus menerus menjadi perhatian khusus bagi kaum muslimin berabad-abad lamanya dari generasi ke generasi hingga hari ini. Terkait periodesasi sejarah perkembangan ilmu tafsir Al-Qur'an, dapatlah kita bagi menjadi tiga periode, yaitu periode awal, periode pertengahan dan periode masa modern saat ini.
(Bersambung)
(rhs)