Kaifiyah Sholat Tarawih, Ibnu Taimiyah: Bukan Soal Bilangan
Selasa, 13 April 2021 - 20:07 WIB
Salat tarawih adalah bagian dari salat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan , dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih , karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat. Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah.
Hamzah Al Sanuwi Lc, M.Ag dalam tulisannya berjudul "Shalat Tarawih Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Salafush Shalih" menjelaskan, tarawih menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan. Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena terlalu lamanya berdiri.
"Dari situ,kemudian setiap empat raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz," jelasnya.
Berbeda dengan ibadah puasa, ibadah tarawih membuka berbagai perbedaan cara (kaifiyah) di antara berbagai golongan umat Islam yang ada.
Imam mazhab seperti Imam Syafi’i , Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal misalnya melakukan salat tarawih dengan 20 rakaat dengan satu witir. Sementara itu Imam Malik melakukan 36 rakaat dengan ditutup salat witir.
Beberapa ulama atsar dan sahabat Nabi bahkan ada yang tidak membatasi jumlah rakaat salat tarawih.
“Salat tarawih itu kan disebut sebagai salat lail ( salat malam ), atau kalau bangun tidur disebut sebagai salat tahajud , kalau dilaksanakan di bulan Ramadan disebut dengan tarawih karena ada jeda istirahatnya,” terang Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Tri Sundani dalam laman resmi Muhammadiyah yang disiarkan 11 April 2021 lalu.
Agus menjelaskan bahwa pada prinsipnya salat tarawih sama halnya dengan salat malam sehingga umat Islam wajib berlapang dada dengan perbedaan cara yang ada.
Muhammadiyah sendiri, menurut Agus, memilih mengikuti tata cara yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam yakni salat tarawih dengan dua macam pilihan caranya.
Pilihan pertama, Muhammadiyah menggunakan formasi 4-4-3 berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi,
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah melakukan salat sunah pada Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. Kemudian, beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat lagi tiga rakaat (witir).”
“Rakaat pertama witir baca Surat Al-A’la, rakaat kedua Al-Kafirun, dan rakaat ketiga baca Al-Ikhlas. Atau bisa tiga qul itu (Al Ikhlas, Al Falaq, An-Nas),” jelas Agus.
Sedangkan pilihan kedua, Muhammadiyah memakai formasi 2-2-2-2-2 ditambah satu witir berdasarkan hadis riwayat Muslim dari sahabat Ibn Abbas yang berbunyi,
“Aku berdiri di samping Rasulullah, kemudian Rasulullah meletakkan tangan kanannya di kepalaku dan dipegangnya telinga kananku dan ditelitinya, lalu Rasulullah salat dua rakaat kemudian dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, dan kemudian dua rakaat, selanjutnya Rasulullah salat witir, kemudian Rasulullah tiduran menyamping sampai Bilal menyerukan azan. Maka bangunlah Rasulullah dan salat dua rakaat singkat-singkat, kemudian pergi melaksanakan saalat subuh.”
“Nah karena Muhammadiyah memperbandingkan hadis-hadis itu, maka pilihan yang dipilih oleh Tarjih Muhammadiyah adalah dua tadi. Jadi warga Muhammadiyah bisa memilih salah satu dari dua tadi karena itu tanawu’ ibadah. Pilihan dalam ibadah,” ungkapnya.
Belasan Pendapat
Menurut Abu Hamzah Al Sanuwi, mengenai masalah bilangan rekaat dalam salat tarawih, di antara para ulama salaf memang terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat.
Baca Juga
Hamzah Al Sanuwi Lc, M.Ag dalam tulisannya berjudul "Shalat Tarawih Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Salafush Shalih" menjelaskan, tarawih menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan. Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena terlalu lamanya berdiri.
"Dari situ,kemudian setiap empat raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz," jelasnya.
Berbeda dengan ibadah puasa, ibadah tarawih membuka berbagai perbedaan cara (kaifiyah) di antara berbagai golongan umat Islam yang ada.
Imam mazhab seperti Imam Syafi’i , Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal misalnya melakukan salat tarawih dengan 20 rakaat dengan satu witir. Sementara itu Imam Malik melakukan 36 rakaat dengan ditutup salat witir.
Beberapa ulama atsar dan sahabat Nabi bahkan ada yang tidak membatasi jumlah rakaat salat tarawih.
“Salat tarawih itu kan disebut sebagai salat lail ( salat malam ), atau kalau bangun tidur disebut sebagai salat tahajud , kalau dilaksanakan di bulan Ramadan disebut dengan tarawih karena ada jeda istirahatnya,” terang Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agus Tri Sundani dalam laman resmi Muhammadiyah yang disiarkan 11 April 2021 lalu.
Agus menjelaskan bahwa pada prinsipnya salat tarawih sama halnya dengan salat malam sehingga umat Islam wajib berlapang dada dengan perbedaan cara yang ada.
Muhammadiyah sendiri, menurut Agus, memilih mengikuti tata cara yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam yakni salat tarawih dengan dua macam pilihan caranya.
Pilihan pertama, Muhammadiyah menggunakan formasi 4-4-3 berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi,
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah melakukan salat sunah pada Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. Kemudian, beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat lagi tiga rakaat (witir).”
“Rakaat pertama witir baca Surat Al-A’la, rakaat kedua Al-Kafirun, dan rakaat ketiga baca Al-Ikhlas. Atau bisa tiga qul itu (Al Ikhlas, Al Falaq, An-Nas),” jelas Agus.
Sedangkan pilihan kedua, Muhammadiyah memakai formasi 2-2-2-2-2 ditambah satu witir berdasarkan hadis riwayat Muslim dari sahabat Ibn Abbas yang berbunyi,
“Aku berdiri di samping Rasulullah, kemudian Rasulullah meletakkan tangan kanannya di kepalaku dan dipegangnya telinga kananku dan ditelitinya, lalu Rasulullah salat dua rakaat kemudian dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi, dan kemudian dua rakaat, selanjutnya Rasulullah salat witir, kemudian Rasulullah tiduran menyamping sampai Bilal menyerukan azan. Maka bangunlah Rasulullah dan salat dua rakaat singkat-singkat, kemudian pergi melaksanakan saalat subuh.”
“Nah karena Muhammadiyah memperbandingkan hadis-hadis itu, maka pilihan yang dipilih oleh Tarjih Muhammadiyah adalah dua tadi. Jadi warga Muhammadiyah bisa memilih salah satu dari dua tadi karena itu tanawu’ ibadah. Pilihan dalam ibadah,” ungkapnya.
Belasan Pendapat
Menurut Abu Hamzah Al Sanuwi, mengenai masalah bilangan rekaat dalam salat tarawih, di antara para ulama salaf memang terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat.