Begini Puasa Orang-Orang Terdahulu, Sebelum Islam Datang
Senin, 26 April 2021 - 18:29 WIB
Kendati ada puasa yang wajib sebelum Ramadhan, maka ia sudah dihapus (mansukh) dengan kewajiban puasa Ramadhan. Demikian seperti yang dikemukakan dalam Tafsir al-Thabari.
Dalam riwayat lain, selain puasa tiga hari dalam sebulan, Rasulullah juga menjalankan puasa ‘Asyura, yakni puasa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada 10 Muharram.
Bahkan, kaitan dengan puasa ‘Asyura ini, Ibnu ‘Abbas meriwayatkan, “Sewaktu datang ke Madinah, Rasulullah mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura.
Beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’
Mereka menjawab, ‘Ini hari yang agung di mana Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan bala tentara Fir‘aun. Maka kaum Yahudi pun puasa sebagai wujud syukur.’
Beliau lalu bersabda, ‘Aku tentu lebih utama terhadap Musa dan lebih hak menjalankan puasa itu dibanding kalian.’
Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabat berpuasa pada hari itu.”
Hal itu kemudian ditandaskan oleh Ibnu Abi Hatim (w. 327) dalam Tafsîr-nya berdasarkan riwayat al-Dhahak, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas‘ud. Ia menyatakan bahwa puasa tiga hari setiap bulan juga biasa dilakukan oleh Nabi Nuh AS, juga oleh para nabi setelahnya, kemudian diikuti oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Puasa mereka dilakukan selama tiga hari setiap bulannya dan berbuka pada waktu isya.
Bahkan, dalam Tafsir al-Tsa‘labi disebutkan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam pun pernah menjalankan puasa tiga hari ini.
Diriwayatkan, sewaktu diturunkan dari surga ke muka bumi, Nabi Adam terbakar kulitnya oleh matahari, sehingga tubuhnya menghitam. Kemudian, ia berpuasa pada hari ketiga, yakni tanggal lima belas. Kemudian, ia didatangi oleh malaikat Jibril dan ditanya, “Wahai Adam, maukah tubuhmu kembali memutih?” Nabi Adam menjawab, “Tentu saja.” Malaikat Jibril melanjutkan, “Berpuasalah engkau pada tanggal 13, 14, dan 15.”
Ia pun berpuasa. Pada hari pertama, memutihlah sepertiga tubuhnya. Pada hari kedua, memutihlah dua pertiga tubuhnya. Pada hari ketiga, memutihlah seluruh tubuhnya. Maka kemudian puasa ini disebut dengan puasa “ayyamul bidl” atau “hari-hari putih”.
Di samping itu, dalam Tafsîr al-Thabari kembali dikemukakan, puasa ‘Asyura juga pernah dilaksanakan oleh Nabi Nuh ‘alaihis salam sewaktu turun dengan selamat dari kapal yang ditumpanginya.
Disebutkan, pada awal bulan Rajab, Nabi Nuh ‘alaihis salam mulai menaiki kapalnya. Saat itu, ia bersama para penumpang lainnya berpuasa. Kapal pun berlayar hingga enam bulan lamanya.
Pada bulan Muharram, kapal berlabuh di gunung Judi, tepat pada hari ‘Asyura. Maka ia pun berpuasa, tak lupa memerintah para penumpang lain, termasuk hewan bawaannya, untuk turut berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah.
Selanjutnya, puasa orang-orang terdahulu juga dapat dilacak dari sabda Rasulullah sendiri sewaktu ditanya oleh seorang laki-laki, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang berpuasa satu hari dan berbuka satu hari?”
Beliau menjawab, “Itu adalah puasanya saudaraku, Dawud a.s.”
Bahkan dalam hadis lain, beliau menyatakan:
أَفْضَلُ الصَّوْمِ صَوْمُ أَخِي دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
Dalam riwayat lain, selain puasa tiga hari dalam sebulan, Rasulullah juga menjalankan puasa ‘Asyura, yakni puasa yang biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada 10 Muharram.
Bahkan, kaitan dengan puasa ‘Asyura ini, Ibnu ‘Abbas meriwayatkan, “Sewaktu datang ke Madinah, Rasulullah mendapati kaum Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura.
Beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’
Mereka menjawab, ‘Ini hari yang agung di mana Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan bala tentara Fir‘aun. Maka kaum Yahudi pun puasa sebagai wujud syukur.’
Beliau lalu bersabda, ‘Aku tentu lebih utama terhadap Musa dan lebih hak menjalankan puasa itu dibanding kalian.’
Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabat berpuasa pada hari itu.”
Hal itu kemudian ditandaskan oleh Ibnu Abi Hatim (w. 327) dalam Tafsîr-nya berdasarkan riwayat al-Dhahak, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas‘ud. Ia menyatakan bahwa puasa tiga hari setiap bulan juga biasa dilakukan oleh Nabi Nuh AS, juga oleh para nabi setelahnya, kemudian diikuti oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Puasa mereka dilakukan selama tiga hari setiap bulannya dan berbuka pada waktu isya.
Bahkan, dalam Tafsir al-Tsa‘labi disebutkan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam pun pernah menjalankan puasa tiga hari ini.
Diriwayatkan, sewaktu diturunkan dari surga ke muka bumi, Nabi Adam terbakar kulitnya oleh matahari, sehingga tubuhnya menghitam. Kemudian, ia berpuasa pada hari ketiga, yakni tanggal lima belas. Kemudian, ia didatangi oleh malaikat Jibril dan ditanya, “Wahai Adam, maukah tubuhmu kembali memutih?” Nabi Adam menjawab, “Tentu saja.” Malaikat Jibril melanjutkan, “Berpuasalah engkau pada tanggal 13, 14, dan 15.”
Ia pun berpuasa. Pada hari pertama, memutihlah sepertiga tubuhnya. Pada hari kedua, memutihlah dua pertiga tubuhnya. Pada hari ketiga, memutihlah seluruh tubuhnya. Maka kemudian puasa ini disebut dengan puasa “ayyamul bidl” atau “hari-hari putih”.
Di samping itu, dalam Tafsîr al-Thabari kembali dikemukakan, puasa ‘Asyura juga pernah dilaksanakan oleh Nabi Nuh ‘alaihis salam sewaktu turun dengan selamat dari kapal yang ditumpanginya.
Disebutkan, pada awal bulan Rajab, Nabi Nuh ‘alaihis salam mulai menaiki kapalnya. Saat itu, ia bersama para penumpang lainnya berpuasa. Kapal pun berlayar hingga enam bulan lamanya.
Pada bulan Muharram, kapal berlabuh di gunung Judi, tepat pada hari ‘Asyura. Maka ia pun berpuasa, tak lupa memerintah para penumpang lain, termasuk hewan bawaannya, untuk turut berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah.
Selanjutnya, puasa orang-orang terdahulu juga dapat dilacak dari sabda Rasulullah sendiri sewaktu ditanya oleh seorang laki-laki, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang berpuasa satu hari dan berbuka satu hari?”
Beliau menjawab, “Itu adalah puasanya saudaraku, Dawud a.s.”
Bahkan dalam hadis lain, beliau menyatakan:
أَفْضَلُ الصَّوْمِ صَوْمُ أَخِي دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا