Ketika Perempuan Boleh Menjadi Khatib Salat Id

Sabtu, 23 Mei 2020 - 03:50 WIB
Menurut Al-Sarakhshy, salah satu ulama otoritatif dari kalangan Hanafiyah, menyatakan:

يشترط لصلاة العيد ما يشترط لصلاة الجمعة، إلا الخطبة، فإنّها من شرائط الجمعة، وليست من شرائط العيد

“Disyaratkan untuk salat Id hal yang berlaku atas salat Jumat, kecuali khotbah. Karena sesungguhnya khotbah itu hanya merupakan syarat salat Jumat, namun tidak berlaku untuk shalat id.” (Al-Mabsuth, Juz 3, halaman 37).

Dengan demikian, menurut kalangan Hanafiyah, jumlah minimal peserta jamaah untuk mendirikan salat id adalah 3 orang ahli Jumat (orang yang wajib salat Jumat), ditambah 1 orang imam. Tanpa keberadaan ini, maka tidak sah salat Id tersebut.



Adapun terkait khotbah salat id, kalangan hanafiyah memandang, dari 3 peserta yang hadir, minimal 1 orang di antaranya mendengarkan khotbah.

يشترط لصحة الخطبة أن يحضر شخص واحد على الأقل لسماعها

“Disyaratkan untuk sahnya khotbah, adalah hadirnya minimal satu orang jamaah yang mendengarkan.” (Alfiqhu Pendapat senada disampaikan oleh Al-Kasany di dalam Badai’u al-Shanai’, Juz 1, halaman 275 dengan menegaskan ketentuan terhadap Imam, pemukiman (al-mishr), peserta jamaah, serta waktu pelaksanaan, kecuali khutbah. Karena khutbah hanya Sunnah yang dilakukan setelah shalat. Seandainya ditinggalkan, maka shalat id tersebut tetap dihukumi sah (Badai’u al-Shanai’, Juz 1, halaman 275).

Jika ketentuan ini terpenuhi, maka khotbah sudah bisa didirikan di dalamnya. Penting memperhatikan catatan dari Ibnu al-Hathab al-Hanafy, bahwa:

وأما من لا تجب عليه الجمعة من أهل القرى الصغار، والمسافرين والنساء والعبيد ومن عقل الصلاة من الصبيان؛ فليست في حقّهم سنة، ولكنه يستحب لهم إقامتها

“Adapun bagi orang yang tidak wajib baginya melaksanakan salat Jumat, seperti anak-anak kecil dari ahli desa, kaum musafir, kaum perempuan, hamba, dan anak-anak kecil yang sudah berakal, tidak ada hak bagi mereka kesunahan mendirikan Id. Akan tetapi, mereka sekadar dianjurkan untuk ikut mendirikan jamaah ‘id.” (Al-Mawahib al-Jalil, Juz 1, halaman 190)

Dengan demikian, menurut pandangan mazhab Hanafi, bagi peserta yang bukan ahli Jumat, seperti perempuan, orang musafir dan anak kecil, tidak dianggap sebagai yang memenuhi syarat wajib pendirian salat id yang didirikan khotbah di dalamnya.

Kewajiban pendirian salat id dan khutbah hanya berlaku dengan ketentuan jumlah jamaah memenuhi kriteria 4 orang ahli Jumat. ( )

Menurut pandangan sebagian kalangan Syafiiyah dan Hanabilah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Qudamah, ada ketentuan mendirikan shalat id sebagai wajib istithan, yaitu tinggal di wilayah administratif tertentu.

ويشترط الاستيطان في وجوبها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يصلها في سفره ولا خلفاؤه، وكذلك العدد المشترط للجمعة؛ لأنها صلاة عيد، فأشبهت الجمعة

“Disyaratkan harusnya tinggal di suatu perkampungan sebagai syarat wajibnya salat Id, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah melakukan salat id saat beliau melakukan safar. Demikian halnya dengan para khalifah penggantinya. Hal yang sama juga berlaku atas jumlah peserta jamaah, disyaratkan sebagaimana minimal jumlah jamaah salat Jum’ah, karena salat id adalah menyerupai ketentuan salat Jumat.” (Ibnu Qudamah al-Hanbaly, Al-Mughny li Ibn Qudamah, Juz 3, halaman 287).

Alhasil, ketika jumlah jamaah Jumat kurang dari 40 orang penduduk setempat (ahli Jumat), maka tidak wajib pendirian salat id dan kotbah di dalamnya. Akan tetapi, bagi mereka tetap boleh melaksanakan salat id tanpa khotbah.

Kedua, para ulama yang tidak mensyaratkan pendirian salat id sebagaimana syarat pendirian shalat Jumat. Pandangan ini disampaikan oleh kalangan Syafiiyah dalam qaul jadidnya. Imam Nawawi rahimahullah menegaskan:

المذهب المنصوص في الكتب الجديدة كلِّها: أنّ صلاة العيد تشرع للمنفرد في بيته أو غيره، وللمسافر والعبد والمرأة، وقيل: فيه قولان. الجديد: هذا. والقديم: أنّه يشترط فيها شروط الجمعة من اعتبار الجماعة والعدد بصفات الكمال، وغيرها

Menurut pendapat yang tertuang di dalam Kitab-Kitab berhaluan qaul jadid, seluruhnya: “sesungguhnya salat id disyariatkan baik bagi orang yang sendirian di rumah atau selainnya, dan bagi musafir, hamba sahaya dan kaum perempuan.”
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Yang pertama kali yang dihisab (dihitung) dari perbuatan seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika sempurna ia beruntung dan jika tidak sempurna, maka Allah Azza wa Jalla berfirman, Lihatlah apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat sunnah? Bila didapati ia memiliki amalan shalat sunnah, maka Dia berfirman Lengkapilah shalat wajibnya yang kurang dengan shalat sunnahnya

(HR. Nasa'i No. 463)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More