Demi Allah, Aku Ingin Menginjak Surga dengan Kakiku yang Pincang Ini
Senin, 20 April 2020 - 07:46 WIB
"Ya Allah, jangan kembalikan aku ke keluargaku, dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
Doa itu keluar dari mulut Amru bin Jumuh, ketika ia bersiap-siap mengenakan baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum muslimin ke medan Uhud. Ini adalah kali pertama bagi Amru terjun ke medan perang, karena dia kakinya pincang.
Di dalam Al-Quran disebutkan: "Tiada dosa atas orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit untuk tidak ikut berperang." (QS Al-Fath : 17)
Karena kepincangannya itu maka Amru tidak wajib ikut berperang, di samping keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga Amru dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan bergabung dengan kaum muslimin lainnya untuk berperang.
Sebenarnya, kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan: "Sadarilah hai Amru, bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi SAW."
Namun Amru menjawab: "Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?"
Meski Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena itu Amru kemudian menghadap Rasulullah SAW dan berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini."
"Engkau dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu," kata Nabi mengingatkan.
"Aku tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana," kata Amru tetap berkeras.
Melihat semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum Amru: "Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya."
Dengan terpincang-pincang Amru akhirnya ikut juga berperang di barisan depan bersama seorang anaknya. Mereka berperang dengan gagah berani, seakan-akan berteriak: "Aku mendambakan surga, aku mendambakan mati: sampai akhirnya ajal menemui mereka”.
Setelah perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di antara mereka adalah Sayyidah Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu Sayyidah Aisyah melihat Hindun, istri Amru bin Jumuh, sedang menuntun unta ke arah Madinah. Aisyah bertanya: "Bagaiman beritanya?"
"Baik-baik, Rasulullah selamat. Musibah yang ada ringan-ringan saja. Sedang orang-orang kafir pulang dengan kemarahan," jawab Hindun.
"Mayat siapakah di atas unta itu?"
"Saudaraku, anakku dan suamiku."
"Akan dibawa ke mana?"
"Akan dikubur di Madinah."
Setelah itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah Madinah. Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.
"Barangkali terlalu berat," kata Sayyidah Aisyah.
"Tidak. Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain," jawab Hindun.
Ia kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali, namun binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi merebah ketika dibelokkan ke arah Madinah.
Menyaksikan pemandangan aneh itu, Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya: "Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan suamiku akan kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi binatang ini tak mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat."
Rasulullah berkata kepada Hindun: "Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?"
"Benar ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan berdoa: "Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
"Karena itulah unta ini tidak mau berangkat ke Medinah. Allah SWT tidak mau mengembalikan jasad ini ke Madinah," kata beliau kemudian.
"Sesungguhnya di antara kamu sekalian ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar dikabulkan. Di antara mereka itu adalah suamimu, Amru bin Jumuh," sambung Nabi.
Setelah itu Rasulullah memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud. Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun: "Mereka akan bertemu di surga. Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu."
"Ya Rasulullah, doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka,” kata Hindun memohon kepada Nabi.
Doa itu keluar dari mulut Amru bin Jumuh, ketika ia bersiap-siap mengenakan baju perang dan bermaksud berangkat bersama kaum muslimin ke medan Uhud. Ini adalah kali pertama bagi Amru terjun ke medan perang, karena dia kakinya pincang.
Di dalam Al-Quran disebutkan: "Tiada dosa atas orang-orang buta, atas orang-orang pincang dan atas orang sakit untuk tidak ikut berperang." (QS Al-Fath : 17)
Karena kepincangannya itu maka Amru tidak wajib ikut berperang, di samping keempat anaknya telah pergi ke medan perang. Tidak seorangpun menduga Amru dengan keadaannya yang seperti itu akan memanggul senjata dan bergabung dengan kaum muslimin lainnya untuk berperang.
Sebenarnya, kaumnya telah mencegah dia dengan mengatakan: "Sadarilah hai Amru, bahwa engkau pincang. Tak usahlah ikut berperang bersama Nabi SAW."
Namun Amru menjawab: "Mereka semua pergi ke surga, apakah aku harus duduk-duduk bersama kalian?"
Meski Amru berkeras, kaumnya tetap mencegahnya pergi ke medan perang. Karena itu Amru kemudian menghadap Rasulullah SAW dan berkata kepada beliau: "Wahai Rasulullah, kaumku mencegahku pergi berperang bersama Tuan. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini."
"Engkau dimaafkan. Berperang tidak wajib atas dirimu," kata Nabi mengingatkan.
"Aku tahu itu, wahai Rasulullah. Tetapi aku ingin berangkat ke sana," kata Amru tetap berkeras.
Melihat semangat yang begitu kuat, Rasulullah kemudian bersabda kepada kaum Amru: "Biarlah dia pergi. Semoga Allah menganugerahkan kesyahidan kepadanya."
Dengan terpincang-pincang Amru akhirnya ikut juga berperang di barisan depan bersama seorang anaknya. Mereka berperang dengan gagah berani, seakan-akan berteriak: "Aku mendambakan surga, aku mendambakan mati: sampai akhirnya ajal menemui mereka”.
Setelah perang usai, kaum wanita yang ikut ke medan perang semuanya pulang. Di antara mereka adalah Sayyidah Aisyah. Di tengah perjalanan pulang itu Sayyidah Aisyah melihat Hindun, istri Amru bin Jumuh, sedang menuntun unta ke arah Madinah. Aisyah bertanya: "Bagaiman beritanya?"
"Baik-baik, Rasulullah selamat. Musibah yang ada ringan-ringan saja. Sedang orang-orang kafir pulang dengan kemarahan," jawab Hindun.
"Mayat siapakah di atas unta itu?"
"Saudaraku, anakku dan suamiku."
"Akan dibawa ke mana?"
"Akan dikubur di Madinah."
Setelah itu Hindun melanjutkan perjalanan sambil menuntun untanya ke arah Madinah. Namun untanya berjalan terseot-seot lalu merebah.
"Barangkali terlalu berat," kata Sayyidah Aisyah.
"Tidak. Unta ini kuat sekali. Mungkin ada sebab lain," jawab Hindun.
Ia kemudian memukul unta tersebut sampai berdiri dan berjalan kembali, namun binatang itu berjalan dengan cepat ke arah Uhud dan lagi-lagi merebah ketika dibelokkan ke arah Madinah.
Menyaksikan pemandangan aneh itu, Hindun kemudian menghadap kepada Rasulullah dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya: "Hai Rasulullah. Jasad saudaraku, anakku dan suamiku akan kubawa dengan unta ini untuk dikuburkan di Madinah. Tapi binatang ini tak mau berjalan bahkan berbalik ke Uhud dengan cepat."
Rasulullah berkata kepada Hindun: "Sungguh unta ini sangat kuat. Apakah suamimu tidak berkata apa-apa ketika hendak ke Uhud?"
"Benar ya Rasulullah. Ketika hendak berangkat dia menghadap ke kiblat dan berdoa: "Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke keluargaku dan limpahkanlah kepadaku kesyahidan."
"Karena itulah unta ini tidak mau berangkat ke Medinah. Allah SWT tidak mau mengembalikan jasad ini ke Madinah," kata beliau kemudian.
"Sesungguhnya di antara kamu sekalian ada orang-orang jika berdoa kepada Allah benar-benar dikabulkan. Di antara mereka itu adalah suamimu, Amru bin Jumuh," sambung Nabi.
Setelah itu Rasulullah memerintahkan agar ketiga jasad itu dikuburkan di Uhud. Selanjutnya beliau berkata kepada Hindun: "Mereka akan bertemu di surga. Amru bin Jumuh, suamimu; Khulad, anakmu; dan Abdullah, saudaramu."
"Ya Rasulullah, doakan aku agar Allah mengumpulkan aku bersama mereka,” kata Hindun memohon kepada Nabi.
(mhy)