Samakah Wali Djazab dengan Orang Gila? Begini Cara Mengenalinya

Sabtu, 10 Juli 2021 - 15:25 WIB
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
Ustaz TGH Dr Miftah el-Banjary

Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,

Pensyarah Kitab Dalail Khairat

Melanjutkan pembahasan kajian sufistik, ada persoalan yang seringkali membingungkan, bahkan ada banyak pertanyaan di kalangan orang awam yang belum terjawab terkait fenomena Wali Madjzub. Apakah Wali Madjzub itu benar-benar ada?

Apakah seorang yang dikatakan sebagai seorang wali Jadzab benar-benar seorang wali pilihan Allah? Bagaimana cara mengenali dan membedakan dengan orang yang berpura-pura bertingkah laku Djazab? Bagaimana membedakannya dengan orang yang mengalami gangguan kejiwaan?

Untuk menjawab persoalan ini, kita harus memahami terlebih dahulu pembagian maqam kewalian dalam perspektif kajian ilmu tasawuf. Meyakini adanya manusia pilihan yang menjadi kekasih Allah adalah salah satu ajaran pokok dalam agama Islam.

Kekasih Allah atau yang biasa dikenal dengan waliyullah adalah orang-orang terpilih yang memiliki kedekatan secara khusus dengan Allah subhanahu wata’ala.

Mengenai waliyullah ini, Al-Qur’an menjelaskan:

أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". [QS. Yunus: 62]

Kelompok waliyullah ini secara pandangan tawasuf terbagi menjadi 3 kategori besar, yaitu: Wali Sufi, Wali Malamatiyyah, dan Wali Djazab atau Madjzub. Meskipun nanti dalam kewalian sufi, ada wali yang berperan sebagai wali masyhur/dikenal dan wali mastur/tersembunyi.

Wali dari kalangan sufi terdiri dari para wali yang dapat dikenali maqam dan kepangkatannya, seperti Wali Qutbul Ghauts, Ghauts, Quthbul Aqtab, Quthub, Imamah, Badal/Budala, Nuqaba, Nujaba, Autad, dan masih banyak kepangkatan lainnya, menurut Imam Ibnu Arabi. Demikian pula disebutkan oleh Syekh Yusuf an-Nabhani di dalam kitab "Jaamie Karamatil Awliya".

Para waliyullah ini mengemban berbagai macam tugas masing-masing serta diberi keistimewaan oleh Allah dengan memiliki karamah yang berbeda-beda. (Syekh Dliya’uddin Ahmad bin Mushthafa, Jami’ al-Ushul fi al-Auliya, hal. 168).

Penampilan para wali sufi ini tampak bersih seperti lazimnya, para Ulama dan Masyaikh yang kita kenal pada lazimnya. Jalan yang ditempuh mereka tak lain adalah menggapai makrifatullah. Dalam ilmu tasawwuf, terdapat dua jalan untuk menggapai makrifat ini.

Pertama, suluk. Jalan ini adalah pilihan jalan yang ditempuh secara normal. Seseorang yang mengamalkan laku tasawuf secara tidak langsung juga disebut sebagai salik.

Kedua, Jadzab. Jalan ini adalah jalan khusus yang tidak sembarang orang bisa mengamalkan, hanya orang-orang khusus yang memang terpilih yang dapat menempuh jalan ini.

Dua jalan menuju makrifatullah di atas, secara sederhana diilustrasikan dalam kitab Nasihah al-Murid fi Thariq ahli as-Suluk wa at-Tajrid berikut:

اعلم أن الجذب والسلوك مثلهما كالأشجار، شجرة الجذب لها عروق وفروع، وكذلك شجرة السلوك لها عروق وفروع وكلّ عرق وفرع منهما له أثمار. عروق الجذب هي العلوم اللدنية الغيبية، وأثمار فروع الجذب هي أن يكون صاحبها بأمر الله تعالى يقول للشيء كن فيكون والكلّ مواهب وكذلك عروق شجر السلوك تثمر بالعلم الظاهر، وفروعه تثمر بالعمل الظاهري، وإن تفاوت أهل السلوك مع أهل الجذب إلّا أنَّ أهل السلوك عبادتهم من وراء حجاب، وأهل الجذب ما بينهم وبين الله حجاب منه إليهم، ومنهم إليه

"Ketahuilah bahwa jadzab dan suluk itu seperti pepohonan. Pohon jadzab memiliki akar dan tangkai, begitu pula pohon suluk juga memiliki akar dan tangkai. Setiap akar dan tangkai dari kedua pohon tersebut memiliki buah.

Akar dari pohon jadzab adalah ilmu laduni yang bersifat ghaib, dan buah dari tangkai pohon jadzab adalah saat orang yang jadzab mendapat perintah Allah agar mengatakan pada sesuatu kun fa yakun, segalanya murni pemberian dari Allah.

Sedangkan akar dari pohon suluk dapat membuat pohon berbuah dengan Ilmu yang dzahir (tampak) dan tangkainya berbuah dengan amal yang bersifat dzahir, meski orang yang mengamalkan laku suluk dan orang jadzab berbeda, orang yang mengamalkan laku suluk beribadah di belakang tirai penghalang dari Allah, sedangkan orang jadzab tidak ada di antara mereka dan Allah penghalang apa pun.

(Pesan) dari Allah langsung pada mereka, dan (ibadah) dari mereka langsung tertuju pada Allah” (Syekh ‘Ali bin Abdurrahman bin Muhammad al-Imrani, Nasihah al-Murid fi Thariq ahli as-Suluk wa at-Tajrid, Hal. 17)

Berdasarkan referensi di atas, orang yang mengamalkan laku suluk masih berada di bawah orang yang sudah sampai pada fase jadzab. Jadzab sendiri oleh para ulama didefinisikan dengan pengertian berikut:

الجذبة هي التجلي الإلهي، وفيها يحصل التحقيق بالأسماء الإلهية، والاستشعار بالاسم الصمد

"Jadzab adalah tampaknya sifat-sifat ilahi. Ketika dalam kondisi jadzab, akan betul-betul tampak secara nyata sifat-sifat Allah dan (seseorang) mampu merasakannya." (Syekh Mahmud Abdur Rauf al-Qasim, al-Kasyf an Haqiqah as-Shufiyyah, juz 1, hal. 244).

Orang yang dalam kondisi jadzab seringkali melakukan perbuatan di luar nalar manusia biasa. Sebab, apa yang dilakukan oleh mereka dalam keadaan jadzab sudah di luar kapasitasnya sebagai manusia.

Meski demikian, patut dibedakan antara orang yang melakukan hal-hal aneh (khâriq al-âdah) karena memang betul-betul jadzab dengan orang yang hanya pura-pura jadzab.

Untuk menandai perbedaan dua orang ini cukup sederhana, yakni dengan cara melihat tingkah laku orang tersebut setelah kondisi terjaga. Jika saat kondisi normal, ia senantiasa berzikir dan beribadah serta menjauhi hal-hal duniawi yang bersifat profan, maka bisa dipastikan keanehan yang ia lakukan adalah berangkat dari maqam jadzab.

Sebaliknya, jika seseorang setelah dalam kondisi normal justru lebih mendekatkan diri pada hal-hal yang bersifat duniawi dan senang mendekat dengan orang-orang yang memiliki ambisi duniawi, maka bisa dipastikan keanehan yang ia lakukan bukanlah bermula dari keadaan jadzab. Tapi hanya sebatas tipu daya yang dilakukannya untuk menarik perhatian orang lain.

Perbedaan dua karakteristik ini seperti yang digambarkan dalam pembahasan menari saat berzikir yang dijelaskan dalam kitab Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhari wa Muslim:

واعلم أن الرقص فى حال الذكر ليس من الشرع ولا من المروءة ولم يعذر فيه الّا الفرد النادر من أهل الأحوال والجذب وله عند القوم علامة يميزون بها بين ما كان منه عن جذب حقيقي وبين ما كان عن تلاعب وتلبيس على الناس فقد قالوا إنّ المجذوب إذا كان بعد الصحو يوجد معرضا عن الدنيا وأهلها مقبلا على ذكر الله وعبادته فهذا جذبه حقيقي ويعذر فى رقصه وإذا كان بعد الصحو من تجاذبه ورقصه يوجد مقبلا على الدنيا متأنسا بأهلها لا فرق بينه وبينهم فى الأحوال واللهو فهو متلاعب كاذب فى دعوى جذبه صاحب رقص ولعب فهو ممن اتّخذ دينه هزوا ولعبا

"Ketahuilah bahwa menari pada saat berdzikir bukan bagian dari ajaran syariat dan bukan bagian dari budi pekerti yang baik.

Tindakan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk dibenarkan oleh siapa pun kecuali bagi orang khusus dari kalangan orang jadzab.

Menurut sebagian kalangan (ulama sufi) jadzab memiliki tanda-tanda tertentu yang membedakan antara tindakan jadzab yang hakiki dan tindakan yang berangkat dari main-main dan tipu daya di hadapan manusia.

Mereka berkata bahwa orang yang jadzab ketika setelah sadar ia berpaling dari dunia dan menghadap untuk berdzikir pada Allah dan beribadah kepada-Nya. Maka sikap jadzabnya adalah sikap jadzab yang sungguhan, tindakannya menari saat berdzikir dianggap udzur.

Sedangkan ketika setelah sadar dari jadzab dan selesai menari saat zikir, seseorang lantas menghadap pada dunia dan merasa senang berjumpa dengan orang yang tergiur dengan dunia.

Hingga tidak ada perbedaan antara dirinya dan orang yang tergiur dengan dunia dalam perbuatan dan sikap main-mainnya, maka ia adalah orang yang main-main dan bohong atas klaim kejadzabannya saat menari dan bersenda gurau, ia adalah bagian dari orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau." (Syekh Muhammad Habibullah bin Abdullah as-Syinqithi, Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhari wa Muslim, juz 3, hal. 155)

Dengan demikian disimpulkan bahwa jadzab adalah sebuah keadaan saat seseorang sudah lepas dalam kapasitasnya sebagai manusia karena tampak secara jelas padanya sifat-sifat Allah (tajalli). Segala keanehan perbuatan yang dilakukan dalam kondisi jadzab bermula dari petunjuk Allah.

Orang yang sudah sampai pada maqam jadzab ini biasa dikenal dengan sebutan Majdzub. Sedangkan masyarakat mengenal orang yang sudah sampai pada maqam ini dengan sebutan wali jadzab atau Wali Majdzub.

Dan orang yang dijadikan wali Madjzub ini hanya sebatas untuk dirinya sendiri dan tidak untuk dijadikan sebagai guru, berbeda dengan wali sufi yang memang ditugaskan sebagai Murabbi Mursyid membimbing para murid-muridnya.

Bagaimana dengan Wali Malamatiyyah?

Sedangkan kewalian Malamatiyyah merupakan orang-orang yang senang menyembunyikan identitas kewaliannya. Mereka tidak senang jika ada orang yang mengetahui maqam dan rahasia kewaliannya.

Dalam penampilannya mereka senang menyamar seperti orang yang hina dan merasakan kedekatan dengan Allah dengan kondisi seperti itu. Dan mereka berpenampilan seperti orang kurang sehat, seperti wali Madjub akan tetapi mereka bukanlah tergolong wali Djazab.

Semoga bermanfaat dalam menambah pemahaman kita dalam memamahi dunia kewalian dan sufistik bagi orang-orang yang mempercayai dan meyakininya saja. Wallahu 'alam.

(rhs)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Makan sahurlah kalian, karena (makan) di waktu sahur itu mengandung barakah.

(HR. Muslim No. 1835)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More