Dahsyatnya Al-Qur'an: Satu-satunya Kalam yang Bersifat Abadi (3/Tamat)
Sabtu, 10 Juli 2021 - 21:55 WIB
Muhammad Ma'ruf Assyahid
Jurnalis-Sufi,
Alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah,
Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah
Menurut Maulana Khalid, kalam (ucapan, firman) tidak pernah berubah dan murni. Ia tidak ada dalam huruf atau suara. Tidak dapat dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai perintah, larangan, narasi atau bahasa Arab, Persia, Ibrani, Turki atau Suryani.
Itu tidak mengambil bentuk seperti itu. Ia tidak bisa ditulis. Tidak memerlukan media seperti kecerdasan, telinga atau lidah. Meski begitu bisa dipahami melaluinya sebagai makhluk yang berbeda dari semua makhluk lainnya yang kita ketahui; bisa dikatakan dengan bahasa apa pun.
Jadi, jika dinyatakan dalam bahasa Arab itu disebut Al-Qur'an. Jika dinyatakan dalam bahasa Ibrani itu adalah Taurat. Jika dinyatakan dalam bahasa Suryani itu adalah injil. Ada tertulis dalam buku yang berjudul Sharh al-maqasid bahwa jika dinyatakan dalam bahasa Yunani itu adalah Injil dan jika dinyatakan dalam bahasa Suryani adalah Zabur.
Soal bahasa tanpa kata itu saya teringat kisah fantastis seorang neurolog terkenal dunia, Dr Eben Alexander III yang terkontaminasi bakteri miningitis pada 2008 dan mengalami apa yang disebut sebagai Near-death experience, atau mati suri. Selama tujuh hari koma di rumah sakit ia kemudian sadar dan menuliskan pengalamannya dalam buku best seller berjudul "Proof of Heaven". Dr Eben mengatakan bahwa arwahnya sempat bolak balik apa yang dia sebut sebagai pintu gerbang surga, dan berkomunikasi dengan pengantarnya —yang ia gambarkan seorang wanita yang sangat cantik— tanpa mengucapkan bahasa apapun, namun anehnya dia bisa memahami dan mengerti.
Pengalamannya 'masuk' surga dan bertemu bidadari itu menjadi sangat kontroversi di kalangan para neurologis dan ahli medis dunia, yang memang tidak percaya adanya hal gaib —anda perlu membaca kisah dia.
Dr Eben yang merupakan neurologis andal di AS dan setelah sembuh mampu membuktikan sendiri bahwa pada saat koma semua fungsi otaknya mati, khususnya neocortex untuk membantah para penyanggah simpulannya—dugaan para koleganya mimpi mati suri Dr Eben distimulan oleh neocortex, bagian yang akan tetap bekerja meskipun manusia tertidur.
Namun, tetap saja, kesaksiannya dibantah oleh para ilmuwan barat yang memang memandang sesuatu kebenaran dari apa yang bisa disaksikan dan amati secara inderawi.
Bagi saya, kisah ini bukannya membuktikan agama yang dianut Dr Eben benar, tetapi sebuah tanda-tanda kekuasaan Allah yang memang meliputi segala sesuatu di alam raya ini, bahwa Dia tengah membuat seorang ateis, menjadi sangat percaya dengan hal gaib.
Itu adalah tamparan keras dari Allah yang memberikan hujjah kuat kepada para ilmuwan kafir --orang yang tidak percaya pada kebenaran Allah-- di Negeri Paman Sam, sebagai rujukan ilmu pengetahuan kedokteran modern.
Menurut saya, mimpi Dr Eben itu benar, namun dia salah dalam mengidentifikasi keberadaan arwahnya saat mati suri. Dr Eben yang sampai sekarang getol mengampanyekan adanya eksistensi hidup setelah mati ini sebenarnya belum sampai di alam akhirat. Dia baru masuk ke level alam Barzakh, atau alam yang memisahkan antara alam dunia dan alam akhirat atau disebut juga alam kubur.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Dan di belakang mereka ada alam barzah (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan." (QS. 23:100)
Namun, saya mengira Dr Eben belum berurusan dengan Malaikat-malaikat Munkar dan Nakir, atau justru malah sedang 'dikerjain' karena ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa setiap orang yang mati tetap ruhnya akan akan diuji. Misalnya didatangi oleh arwah ayah, ibu, atau orang terdekat yang sudah meninggal terlebih dahulu agar ia masuk Nasrani atau Yahudi.
Pada alam Barzakh ini pula menurut saya, Allah menempatkan ruh-ruh orang yang sudah mati dan tidur, sehingga jangan heran banyak cerita mimpi seseorang bisa bertemu dengan orang yang sudah mati. Ruh-ruh para Nabi dan waliyullah bisa terbang bebas dari alam ini ke alam lain. Seperti diterangkan dalam sebuah hadist ruh, mereka ada dalam burung-burung yang terbang, dan hinggap di bawah singgasana Allah— 'Arsy.
Syekh Ibnu Qayyim al Jauziy mengatakan, roh-roh berbeda tempat di alam Barzakh, sesuai dengan amalannya di dunia. Di antaranya, roh yang ada di Illiyin paling tinggi di Al Mala'ul-A'la, yaitu roh para Nabi.
Sementara ruh orang-orang yang sesat seperti dikemukakan dalam sebuah nash, tidak akan bisa menembus langit, seperti juga dikemukakan oleh Syekh Qayyim bahwa di antara arwah yang tertahan di bumi, yaitu jiwa yang memiliki sifat bumi.
Sebuah hadist shahih mengatakan, bahwa Nabi menyebut arwah nantinya akan bergerombol sesuai dengan kebiasaanya di dunia, orang alim dengan orang alim, orang jahat dengan orang jahat.
Saya beberapa kali mengalami mimpi bertemu dengan tokoh yang sudah meninggal, dan itu pengalaman yang sungguh luar biasa mengingat saya sangat jarang sekali bermimpi. Saya merekomendasikan buku berjudul Barzakh karangan Sufi Akbar, Muhyiddin Ibn Arabi untuk memahami alam diantara dua dunia itu.
Menurut Maulana Khalid, kalam ilahi (Firman Allah Ta’ala) menceritakan berbagi hal. Jika itu menceritakan kejadian yang terjadi atau yang akan terjadi, itu disebut khabar (narasi); jika tidak demikian, itu disebut insha'. Apabila itu menyatakan hal-hal yang harus dilakukan, itu disebut amr (perintah). Jika itu menyatakan larangan, Nahy (larangan). Tapi tidak ada perubahan atau penambahan di Kalam al-ilahiyya.
Setiap kitab atau setiap halaman yang diturunkan adalah selembar firman Allah Ta’ala. Artinya, mereka adalah milik kalam an-Nafsi-Nya. Bila dalam bahasa Arab itu disebut Al-Qur'an. Wahyu yang terungkap dalam puisi dan yang bisa ditulis dan dikatakan dan didengar dan diingat adalah disebut kalam al-lafzi atau Al-Qur'anul-Karim.
Karena kalam al-lafzi menunjukkan ayat-ayat kalami, diperbolehkan untuk menyebutnya sebagai Al-ilahiyya. Meskipun Firman ini dalam satu modul, namun dapat dibagi dan dipecahkan menjadi beberapa bagian berkenaan dengan manusia. Karena keseluruhannya disebut Al-Qur'an, juga bagian-bagiannya disebut Al-Qur'an.
Para ulama sudah bulat mengatakan bahwa kalam Nafsi adalah qadim (abadi). Namun, tidak ada kebulatan suara apakah kalam al-lafzi adalah hadits atau qadim. Beberapa orang yang menganggap kalam al-lafzi sebagai hadist memperingati bahwa lebih baik tidak mengatakannya hadits berhubung hal itu bisa disalahpahami dan berarti bahwa kalam an-nafsi adalah hadist. Menurut Maulana Khalid, kesimpulan ini adalah solusi terbaik tentang kedudukan kalam nafsi dan kalam lafzi.
Ketika seorang ilmuwan dari pada 'jalan yang benar' terdengar telah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kerukunan, kita harus mengerti bahwa ia mengacu pada suatu dan kata-kata yang kita ucapkan dengan mulut kita. Para ilmuwan ini telah menyatakan bahwa baik Kalam an-nafsi dan kalam al-lafzi adalah Firman Allah Ta'ala.
Meskipun beberapa ilmuwan menganggap pernyataan ini adalah metafora, mereka semua sepakat bahwa itu adalah Firman Allah Ta'ala. Bahwa kalam an-nafsi adalah Firmah Allah Ta'ala berarti bahwa atas ucapan Allah Ta'ala. Dan bahwa kalam al-Lafzi adalah Firman Allahu Ta'ala berarti bahwa itu adalah diciptakan oleh Allah Ta'ala.
Redefinisi Sikap Iman atas Kitab Sebelumnya
Tafsir Kementerian Agama RI menyatakan bahwa keimanan kita terhadap Qur'an haruslah komprehensif dan rinci, sementara keimanan terhadap kitab-kitab sebelumnya bersifat global saja. Anjuran ini sangat masuk akal, seperti juga dikemukakan banyak mufassir, termasuk pula Maulana Khalid, bahwa ayat-ayat Quran otomatis menggugurkan ketentuan-ketentuan Allah pada kitab sebelumnya, dan memang setiap nabi hanya bertanggung jawab teradap umatnya masing-masing.
Namun, di sisi lain, saya melihat anjuran ini juga dipengaruhi oleh fakta, kitab-kitab sebelumnya sudah terdistorsi oleh pihak gereja, sehingga anjuran kepada masyarakat untuk bahkan membaca kitab-kitab tersebut tidak saya dengar dari para ulama-ulama, kecuali para ilmuan pada jurusan atau fakultas perbandingan agama dan tafsir. Bahwa, Qur'an otomatis menggugurkan semua ketentuan dalam kitab sebelumnya, namun saya kira bukan berarti detail kitab-kitab lama tidak berguna untuk dibaca dan dipelajari.
Bagi saya, bahkan membaca Injil versi yang sudah disesuaikan keimanan Gereja Vatikan juga sangat penting untuk mempertebal keimanan sebagai muslim. Syaratnya tentu sudah mengkhatamkan beberapa tafsir-tafsir Qur'an atau minimal terjemahan bagi yang tidak tahu arti Qur'an, agar justru tidak terseret menjadi murtad.
Wallahu A'lam
Jurnalis-Sufi,
Alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah,
Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah
Menurut Maulana Khalid, kalam (ucapan, firman) tidak pernah berubah dan murni. Ia tidak ada dalam huruf atau suara. Tidak dapat dikategorikan atau diklasifikasikan sebagai perintah, larangan, narasi atau bahasa Arab, Persia, Ibrani, Turki atau Suryani.
Itu tidak mengambil bentuk seperti itu. Ia tidak bisa ditulis. Tidak memerlukan media seperti kecerdasan, telinga atau lidah. Meski begitu bisa dipahami melaluinya sebagai makhluk yang berbeda dari semua makhluk lainnya yang kita ketahui; bisa dikatakan dengan bahasa apa pun.
Jadi, jika dinyatakan dalam bahasa Arab itu disebut Al-Qur'an. Jika dinyatakan dalam bahasa Ibrani itu adalah Taurat. Jika dinyatakan dalam bahasa Suryani itu adalah injil. Ada tertulis dalam buku yang berjudul Sharh al-maqasid bahwa jika dinyatakan dalam bahasa Yunani itu adalah Injil dan jika dinyatakan dalam bahasa Suryani adalah Zabur.
Soal bahasa tanpa kata itu saya teringat kisah fantastis seorang neurolog terkenal dunia, Dr Eben Alexander III yang terkontaminasi bakteri miningitis pada 2008 dan mengalami apa yang disebut sebagai Near-death experience, atau mati suri. Selama tujuh hari koma di rumah sakit ia kemudian sadar dan menuliskan pengalamannya dalam buku best seller berjudul "Proof of Heaven". Dr Eben mengatakan bahwa arwahnya sempat bolak balik apa yang dia sebut sebagai pintu gerbang surga, dan berkomunikasi dengan pengantarnya —yang ia gambarkan seorang wanita yang sangat cantik— tanpa mengucapkan bahasa apapun, namun anehnya dia bisa memahami dan mengerti.
Pengalamannya 'masuk' surga dan bertemu bidadari itu menjadi sangat kontroversi di kalangan para neurologis dan ahli medis dunia, yang memang tidak percaya adanya hal gaib —anda perlu membaca kisah dia.
Dr Eben yang merupakan neurologis andal di AS dan setelah sembuh mampu membuktikan sendiri bahwa pada saat koma semua fungsi otaknya mati, khususnya neocortex untuk membantah para penyanggah simpulannya—dugaan para koleganya mimpi mati suri Dr Eben distimulan oleh neocortex, bagian yang akan tetap bekerja meskipun manusia tertidur.
Namun, tetap saja, kesaksiannya dibantah oleh para ilmuwan barat yang memang memandang sesuatu kebenaran dari apa yang bisa disaksikan dan amati secara inderawi.
Bagi saya, kisah ini bukannya membuktikan agama yang dianut Dr Eben benar, tetapi sebuah tanda-tanda kekuasaan Allah yang memang meliputi segala sesuatu di alam raya ini, bahwa Dia tengah membuat seorang ateis, menjadi sangat percaya dengan hal gaib.
Itu adalah tamparan keras dari Allah yang memberikan hujjah kuat kepada para ilmuwan kafir --orang yang tidak percaya pada kebenaran Allah-- di Negeri Paman Sam, sebagai rujukan ilmu pengetahuan kedokteran modern.
Menurut saya, mimpi Dr Eben itu benar, namun dia salah dalam mengidentifikasi keberadaan arwahnya saat mati suri. Dr Eben yang sampai sekarang getol mengampanyekan adanya eksistensi hidup setelah mati ini sebenarnya belum sampai di alam akhirat. Dia baru masuk ke level alam Barzakh, atau alam yang memisahkan antara alam dunia dan alam akhirat atau disebut juga alam kubur.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Dan di belakang mereka ada alam barzah (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan." (QS. 23:100)
Namun, saya mengira Dr Eben belum berurusan dengan Malaikat-malaikat Munkar dan Nakir, atau justru malah sedang 'dikerjain' karena ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa setiap orang yang mati tetap ruhnya akan akan diuji. Misalnya didatangi oleh arwah ayah, ibu, atau orang terdekat yang sudah meninggal terlebih dahulu agar ia masuk Nasrani atau Yahudi.
Pada alam Barzakh ini pula menurut saya, Allah menempatkan ruh-ruh orang yang sudah mati dan tidur, sehingga jangan heran banyak cerita mimpi seseorang bisa bertemu dengan orang yang sudah mati. Ruh-ruh para Nabi dan waliyullah bisa terbang bebas dari alam ini ke alam lain. Seperti diterangkan dalam sebuah hadist ruh, mereka ada dalam burung-burung yang terbang, dan hinggap di bawah singgasana Allah— 'Arsy.
Syekh Ibnu Qayyim al Jauziy mengatakan, roh-roh berbeda tempat di alam Barzakh, sesuai dengan amalannya di dunia. Di antaranya, roh yang ada di Illiyin paling tinggi di Al Mala'ul-A'la, yaitu roh para Nabi.
Sementara ruh orang-orang yang sesat seperti dikemukakan dalam sebuah nash, tidak akan bisa menembus langit, seperti juga dikemukakan oleh Syekh Qayyim bahwa di antara arwah yang tertahan di bumi, yaitu jiwa yang memiliki sifat bumi.
Sebuah hadist shahih mengatakan, bahwa Nabi menyebut arwah nantinya akan bergerombol sesuai dengan kebiasaanya di dunia, orang alim dengan orang alim, orang jahat dengan orang jahat.
Saya beberapa kali mengalami mimpi bertemu dengan tokoh yang sudah meninggal, dan itu pengalaman yang sungguh luar biasa mengingat saya sangat jarang sekali bermimpi. Saya merekomendasikan buku berjudul Barzakh karangan Sufi Akbar, Muhyiddin Ibn Arabi untuk memahami alam diantara dua dunia itu.
Menurut Maulana Khalid, kalam ilahi (Firman Allah Ta’ala) menceritakan berbagi hal. Jika itu menceritakan kejadian yang terjadi atau yang akan terjadi, itu disebut khabar (narasi); jika tidak demikian, itu disebut insha'. Apabila itu menyatakan hal-hal yang harus dilakukan, itu disebut amr (perintah). Jika itu menyatakan larangan, Nahy (larangan). Tapi tidak ada perubahan atau penambahan di Kalam al-ilahiyya.
Setiap kitab atau setiap halaman yang diturunkan adalah selembar firman Allah Ta’ala. Artinya, mereka adalah milik kalam an-Nafsi-Nya. Bila dalam bahasa Arab itu disebut Al-Qur'an. Wahyu yang terungkap dalam puisi dan yang bisa ditulis dan dikatakan dan didengar dan diingat adalah disebut kalam al-lafzi atau Al-Qur'anul-Karim.
Karena kalam al-lafzi menunjukkan ayat-ayat kalami, diperbolehkan untuk menyebutnya sebagai Al-ilahiyya. Meskipun Firman ini dalam satu modul, namun dapat dibagi dan dipecahkan menjadi beberapa bagian berkenaan dengan manusia. Karena keseluruhannya disebut Al-Qur'an, juga bagian-bagiannya disebut Al-Qur'an.
Para ulama sudah bulat mengatakan bahwa kalam Nafsi adalah qadim (abadi). Namun, tidak ada kebulatan suara apakah kalam al-lafzi adalah hadits atau qadim. Beberapa orang yang menganggap kalam al-lafzi sebagai hadist memperingati bahwa lebih baik tidak mengatakannya hadits berhubung hal itu bisa disalahpahami dan berarti bahwa kalam an-nafsi adalah hadist. Menurut Maulana Khalid, kesimpulan ini adalah solusi terbaik tentang kedudukan kalam nafsi dan kalam lafzi.
Ketika seorang ilmuwan dari pada 'jalan yang benar' terdengar telah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kerukunan, kita harus mengerti bahwa ia mengacu pada suatu dan kata-kata yang kita ucapkan dengan mulut kita. Para ilmuwan ini telah menyatakan bahwa baik Kalam an-nafsi dan kalam al-lafzi adalah Firman Allah Ta'ala.
Meskipun beberapa ilmuwan menganggap pernyataan ini adalah metafora, mereka semua sepakat bahwa itu adalah Firman Allah Ta'ala. Bahwa kalam an-nafsi adalah Firmah Allah Ta'ala berarti bahwa atas ucapan Allah Ta'ala. Dan bahwa kalam al-Lafzi adalah Firman Allahu Ta'ala berarti bahwa itu adalah diciptakan oleh Allah Ta'ala.
Redefinisi Sikap Iman atas Kitab Sebelumnya
Tafsir Kementerian Agama RI menyatakan bahwa keimanan kita terhadap Qur'an haruslah komprehensif dan rinci, sementara keimanan terhadap kitab-kitab sebelumnya bersifat global saja. Anjuran ini sangat masuk akal, seperti juga dikemukakan banyak mufassir, termasuk pula Maulana Khalid, bahwa ayat-ayat Quran otomatis menggugurkan ketentuan-ketentuan Allah pada kitab sebelumnya, dan memang setiap nabi hanya bertanggung jawab teradap umatnya masing-masing.
Namun, di sisi lain, saya melihat anjuran ini juga dipengaruhi oleh fakta, kitab-kitab sebelumnya sudah terdistorsi oleh pihak gereja, sehingga anjuran kepada masyarakat untuk bahkan membaca kitab-kitab tersebut tidak saya dengar dari para ulama-ulama, kecuali para ilmuan pada jurusan atau fakultas perbandingan agama dan tafsir. Bahwa, Qur'an otomatis menggugurkan semua ketentuan dalam kitab sebelumnya, namun saya kira bukan berarti detail kitab-kitab lama tidak berguna untuk dibaca dan dipelajari.
Bagi saya, bahkan membaca Injil versi yang sudah disesuaikan keimanan Gereja Vatikan juga sangat penting untuk mempertebal keimanan sebagai muslim. Syaratnya tentu sudah mengkhatamkan beberapa tafsir-tafsir Qur'an atau minimal terjemahan bagi yang tidak tahu arti Qur'an, agar justru tidak terseret menjadi murtad.
Wallahu A'lam
(rhs)