Jangan Bersedih, Kematian Adalah Istirahat bagi Seorang Mukmin
Kamis, 15 Juli 2021 - 16:42 WIB
UJIAN adalah suatu yang pasti menimpa orang Mukmin. Ujian bisa berbentuk perkara yang menyenangkan atau bisa juga berwujud sesuatu yang menyusahkan. Allah SWT berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [al-Anbiya’/21: 35]
Di antara bentuk ujian yang Allah taala berikan kepada para hamba-Nya adalah dengan mewafatkan orang tersayang, baik itu orang tua, suami, istri, anak, saudara, atau lainnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ﴿١٥٥﴾الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴿١٥٦﴾أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. [al-Baqarah/2:155-157]
Namun, sesungguhnya kematian adalah hal yang baik karena dunia adalah ibarat penjara bagi seorang Mukmin. Ini artinya, jika seorang Mukmin meninggal dunia berarti dia terbebas dari penjara tersebut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ n : الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia itu penjara seorang mukmin dan surga orang kafir”. [HR. Muslim, no. 2956]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hadis ini dengan perkataan, “Maknanya bahwa semua orang Mukmin di dunia ini dipenjara atau dilarang dari syahwat-syahwat (perkara-perkara yang disukai) yang diharamkan dan dimakruhkan, dibebani dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan yang berat. Maka jika dia telah meninggal dunia, dia istirahat dari ini, dan dia kembali menuju perkara yang telah dijanjikan oleh Allah taala untuknya, berupa kenikmatan abadi dan istirahat yang bebas dari kekurangan.
Sedangkan orang kafir, maka dia mendapatkan kenikmatan di dunia, dengan sedikitnya kenikmatan itu dan disusahkan dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Jika dia mati, dia menuju siksaan abadi dan kecelakaan yang kekal”. [Syarh Nawawi pada Shahih Muslim, No. 2956]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya menjelaskan:
وعَنِ أَبِى قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِىٍّ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَّ عَلَيْهِ بِجِنَازَةٍ فَقَالَ : مُسْتَرِيحٌ ، وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ قَالَ: الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
Dari Abu Qatadah bin Rib’i al-Anshâri, dia menceritakan bahwa ada jenazah yang (dipikul) melewati Rasuullah SAW, maka beliau bersabda, “Orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya”.
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (maksud) orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya?”
Beliau menjawab, “Seorang hamba yang Mukmin beristirahat dari kepayahan dan gangguan dunia menuju rahmat Allah. Sedangkan hamba yang fajir (jahat), maka banyak manusia, bumi, pepohonan, dan binatang, beristirahat darinya”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Ibnut Tien rahimahullah berkata, “(Yang dimaksudkan seorang Mukmin dalam hadis di atas) kemungkinan adalah khusus orang yang bertakwa, atau semua orang Mukmin. Adapun yang dimaksudkan seorang fajir (jahat) kemungkinan adalah orang yang kafir, atau termasuk orang yang bermaksiat.”
ad-Dawudi rahimahullah berkata, “Adapun istirahatnya manusia adalah karena kemungkaran yang dilakukan oleh orang fajir itu (telah berhenti juga.
Jika manusia mengingkarinya, dia mengganggu mereka; namun jika mereka membiarkannya, maka mereka berdosa.
Adapun istirahatnya kota (bilad) karena kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh orang fajir itu (telah sirna juga). Karena hal itu menyebabkan tidak turun hujan, yang berakibat kebinasaan pertanian dan peternakan”.
Tetapi al-Baji rahimahullah mengkritik bagian awal dari perkataan ad-Dawudi, yaitu bahwa orang yang mendapatkan gangguannya, maka dia tidak berdosa dengan tidak mengingkarinya, jika dia telah mengingkari dengan hatinya. Atau dia mengingkari kemungkarannya dengan cara yang bisa menghindarkan dirinya dari gangguan si pelaku kejahatan.
Dan kemungkinan yang dimaksudkan dengan istirahatnya manusia darinya adalah karena kezhalimannya yang menimpa manusia (telah terhenti).
Sedangkan istirahatnya bumi darinya karena perbuatannya yang merampas bumi, menghalanginya dari hak bumi, dan dia mempergunakan bumi untuk perkara yang tidak selayaknya.
Sedangkan istirahatnya binatang karena perkara yang seharusnya tidak boleh dilakukan, yaitu melelahkannya. Wallahu a’lam.” [Fathul Bari, 18/354]
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. [al-Anbiya’/21: 35]
Baca Juga
Di antara bentuk ujian yang Allah taala berikan kepada para hamba-Nya adalah dengan mewafatkan orang tersayang, baik itu orang tua, suami, istri, anak, saudara, atau lainnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ﴿١٥٥﴾الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ﴿١٥٦﴾أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. [al-Baqarah/2:155-157]
Namun, sesungguhnya kematian adalah hal yang baik karena dunia adalah ibarat penjara bagi seorang Mukmin. Ini artinya, jika seorang Mukmin meninggal dunia berarti dia terbebas dari penjara tersebut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ n : الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia itu penjara seorang mukmin dan surga orang kafir”. [HR. Muslim, no. 2956]
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hadis ini dengan perkataan, “Maknanya bahwa semua orang Mukmin di dunia ini dipenjara atau dilarang dari syahwat-syahwat (perkara-perkara yang disukai) yang diharamkan dan dimakruhkan, dibebani dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan yang berat. Maka jika dia telah meninggal dunia, dia istirahat dari ini, dan dia kembali menuju perkara yang telah dijanjikan oleh Allah taala untuknya, berupa kenikmatan abadi dan istirahat yang bebas dari kekurangan.
Sedangkan orang kafir, maka dia mendapatkan kenikmatan di dunia, dengan sedikitnya kenikmatan itu dan disusahkan dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Jika dia mati, dia menuju siksaan abadi dan kecelakaan yang kekal”. [Syarh Nawawi pada Shahih Muslim, No. 2956]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya menjelaskan:
وعَنِ أَبِى قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِىٍّ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرَّ عَلَيْهِ بِجِنَازَةٍ فَقَالَ : مُسْتَرِيحٌ ، وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ قَالَ: الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
Dari Abu Qatadah bin Rib’i al-Anshâri, dia menceritakan bahwa ada jenazah yang (dipikul) melewati Rasuullah SAW, maka beliau bersabda, “Orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya”.
Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (maksud) orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya?”
Beliau menjawab, “Seorang hamba yang Mukmin beristirahat dari kepayahan dan gangguan dunia menuju rahmat Allah. Sedangkan hamba yang fajir (jahat), maka banyak manusia, bumi, pepohonan, dan binatang, beristirahat darinya”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Ibnut Tien rahimahullah berkata, “(Yang dimaksudkan seorang Mukmin dalam hadis di atas) kemungkinan adalah khusus orang yang bertakwa, atau semua orang Mukmin. Adapun yang dimaksudkan seorang fajir (jahat) kemungkinan adalah orang yang kafir, atau termasuk orang yang bermaksiat.”
ad-Dawudi rahimahullah berkata, “Adapun istirahatnya manusia adalah karena kemungkaran yang dilakukan oleh orang fajir itu (telah berhenti juga.
Jika manusia mengingkarinya, dia mengganggu mereka; namun jika mereka membiarkannya, maka mereka berdosa.
Adapun istirahatnya kota (bilad) karena kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh orang fajir itu (telah sirna juga). Karena hal itu menyebabkan tidak turun hujan, yang berakibat kebinasaan pertanian dan peternakan”.
Tetapi al-Baji rahimahullah mengkritik bagian awal dari perkataan ad-Dawudi, yaitu bahwa orang yang mendapatkan gangguannya, maka dia tidak berdosa dengan tidak mengingkarinya, jika dia telah mengingkari dengan hatinya. Atau dia mengingkari kemungkarannya dengan cara yang bisa menghindarkan dirinya dari gangguan si pelaku kejahatan.
Dan kemungkinan yang dimaksudkan dengan istirahatnya manusia darinya adalah karena kezhalimannya yang menimpa manusia (telah terhenti).
Sedangkan istirahatnya bumi darinya karena perbuatannya yang merampas bumi, menghalanginya dari hak bumi, dan dia mempergunakan bumi untuk perkara yang tidak selayaknya.
Sedangkan istirahatnya binatang karena perkara yang seharusnya tidak boleh dilakukan, yaitu melelahkannya. Wallahu a’lam.” [Fathul Bari, 18/354]
(mhy)