6 Macam Orang yang Bahagia Menurut Al-Qur’an
Selasa, 21 September 2021 - 15:31 WIB
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof Dr. Hamka Jakarta, Anisia Kumala, menyatakan enam macam orang yang bahagia menurut Al-Quran.
Al-Quran menjelaskan kata bahagia dengan berbagai macam definisi, misalnya “sa’adah,” yang berarti kebahagiaan yang kekal, atau juga ada “falah,” yang berarti mencapai kebahagiaan dengan menemukan apa yang dicari.
"Jika merujuk kepada Kitabullah, maka Allah membagi orang-orang yang bahagia menjadi enam macam," ujarnya pada Kajian Islam Subuh Uhamka berjudul judul Jalan Meraih Bahagia, belum lama ini.
Yang pertama, menurut dia, adalah orang yang khusyuk dalam salatnya. Kedua, orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna. Ketiga, orang yang menunaikan zakat.
Keempat, orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri atau budak yang dimilikinya. Kelima, orang yang memelihara amanah dan janji yang dipikulnya. Keenam, orang yang memelihara salatnya, yang juga telah Allah jelaskan dalam al-Qur’an surat Al Mu’minun ayat 1-9 .
Allah SWT berfirman:
1. Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,
2. (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya,
3. dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,
4. dan orang yang menunaikan zakat,
5. dan orang yang memelihara kemaluannya,
6. kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
“Islam itu Islam ini mengajarkan keseimbangan. Orang itu diminta Bahagia ketika di akhirat kekal, tapi juga harus ingat ketika di dunia ada nasib yang harus diperjuangkan juga. Kalau kita mengejar akhirat jangan lupa juga dunia. Jadi ini kuncinya,” demikian Anisia Kumala.
Kebahagiaa yang Sesungguhnya
Dewasa ini sering kali terdengar di khalayak ramai tentang ajakan untuk menjaga imun di masa pandemi Covid-19. Bukan tanpa alasan, sebab setelah hampir dua tahun belakangan ini sudah banyak nyawa yang berpulang menghadap Rabb-Nya.
Kondisi pandemi covid-19 yang masih hadir di tengah masyarakat memberikan dampak global secara ekonomi, bisnis, sosial, dan politik, bahkan tak terkecuali juga dengan meningkatnya kasus bunuh diri. Faktor depresi dan ketidakmampuan mengenali dan mengatasi masalah yang terjadi merupakan benih-benih awal yang bisa membawa seseorang untuk bunuh diri.
Menurut Anisia, ajakan yang demikian ini sebenarnya adalah implementasi dari cara seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan. Definisi kebahagiaan yang berbeda-beda tiap orang juga mempengaruhi cara untuk mencapai kebahagiaan tersebut berbeda.
“Ada yang mencari kebahagiaan dengan melakukan berbagai macam hal yang mereka sukai, ada yang mencari kebahagiaan dengan bertemu keluarga, bahkan ada yang dengan tidak melakukan apa-apa, sudah mencapai titik kebahagiaannya,” kata Anisia.
Anisia menjelaskan bahwa hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya adalah sifatnya stabil dan berkepanjangan, berbeda dengan senang yang cepat berganti, singkat, dan sesaat.
Al-Quran menjelaskan kata bahagia dengan berbagai macam definisi, misalnya “sa’adah,” yang berarti kebahagiaan yang kekal, atau juga ada “falah,” yang berarti mencapai kebahagiaan dengan menemukan apa yang dicari.
"Jika merujuk kepada Kitabullah, maka Allah membagi orang-orang yang bahagia menjadi enam macam," ujarnya pada Kajian Islam Subuh Uhamka berjudul judul Jalan Meraih Bahagia, belum lama ini.
Yang pertama, menurut dia, adalah orang yang khusyuk dalam salatnya. Kedua, orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna. Ketiga, orang yang menunaikan zakat.
Keempat, orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri atau budak yang dimilikinya. Kelima, orang yang memelihara amanah dan janji yang dipikulnya. Keenam, orang yang memelihara salatnya, yang juga telah Allah jelaskan dalam al-Qur’an surat Al Mu’minun ayat 1-9 .
Allah SWT berfirman:
قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَۙ
1. Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,
الَّذِيۡنَ هُمۡ فِىۡ صَلَاتِهِمۡ خَاشِعُوۡنَ
2. (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya,
وَالَّذِيۡنَ هُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَۙ
3. dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna,
وَالَّذِيۡنَ هُمۡ لِلزَّكٰوةِ فَاعِلُوۡنَۙ
4. dan orang yang menunaikan zakat,
وَالَّذِيۡنَ هُمۡ لِفُرُوۡجِهِمۡ حٰفِظُوۡنَۙ
5. dan orang yang memelihara kemaluannya,
اِلَّا عَلٰٓى اَزۡوَاجِهِمۡ اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُهُمۡ فَاِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُوۡمِيۡنَۚ
6. kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
“Islam itu Islam ini mengajarkan keseimbangan. Orang itu diminta Bahagia ketika di akhirat kekal, tapi juga harus ingat ketika di dunia ada nasib yang harus diperjuangkan juga. Kalau kita mengejar akhirat jangan lupa juga dunia. Jadi ini kuncinya,” demikian Anisia Kumala.
Kebahagiaa yang Sesungguhnya
Dewasa ini sering kali terdengar di khalayak ramai tentang ajakan untuk menjaga imun di masa pandemi Covid-19. Bukan tanpa alasan, sebab setelah hampir dua tahun belakangan ini sudah banyak nyawa yang berpulang menghadap Rabb-Nya.
Kondisi pandemi covid-19 yang masih hadir di tengah masyarakat memberikan dampak global secara ekonomi, bisnis, sosial, dan politik, bahkan tak terkecuali juga dengan meningkatnya kasus bunuh diri. Faktor depresi dan ketidakmampuan mengenali dan mengatasi masalah yang terjadi merupakan benih-benih awal yang bisa membawa seseorang untuk bunuh diri.
Menurut Anisia, ajakan yang demikian ini sebenarnya adalah implementasi dari cara seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan. Definisi kebahagiaan yang berbeda-beda tiap orang juga mempengaruhi cara untuk mencapai kebahagiaan tersebut berbeda.
“Ada yang mencari kebahagiaan dengan melakukan berbagai macam hal yang mereka sukai, ada yang mencari kebahagiaan dengan bertemu keluarga, bahkan ada yang dengan tidak melakukan apa-apa, sudah mencapai titik kebahagiaannya,” kata Anisia.
Anisia menjelaskan bahwa hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya adalah sifatnya stabil dan berkepanjangan, berbeda dengan senang yang cepat berganti, singkat, dan sesaat.
(mhy)