Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pentingnya Hari Lahir dalam Islam
Senin, 08 November 2021 - 08:36 WIB
Ada sebagian orang yang menyangkal perayaan Maulid Nabi tidak berdasar pada dalil apa pun alias syubhat, bukan pula pada hadits yang menyebutkan Nabi puasa hari Senin. Sebab, hadis tersebut adalah dalil sunnah puasa hari Senin, bukan perayaannya.
Dr. ‘Izzat Ali ‘Athiyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam minha membantah bahwa klaim tersebut tidaklah benar. Sebab, perayaan atau peringatan (yang dilakukan Nabi) adalah takhsish (pengkhususan) pada hari tersebut. Bukan mukhashshis (yang mengkhususi) yaitu puasa. Jadi asal kesunnahannya adalah pen-takhsis-an hari Senin tersebut, bukan puasanya.
Lalu ada juga seseorang berkata bahwa Al-Qur'an tidak hanya mementingkan hari lahir saja, tetapi juga hari kematian. Maka seharusnya kesedihan lebih utama daripada kebahagiaan, dan bagi seorang pecinta, seharusnya hari itu menjadi hari duka.
Terkait klaim tersebut, al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa menjawab bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW ke dunia adalah seagung-agungnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dan wafatnya beliau adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa kita.
Sementara syariat menganjurkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat, dan bersabar, tenang, serta menyembunyikan kesedihan ketika musibah menimpa.
Kita tahu, syariat memerintahkan walimatul aqiqah ketika lahir seorang anak. Aqiqah adalah wujud syukur dan bahagia atas anak yang telah lahir. Kemudian ketika seseorang meninggal, alih-alih memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, misalnya, justru syariat melarang untuk meratapi orang yang meninggal dan berkabung yang berlarut-larut.
Dengan demikian, kaidah-kaidah syariat tersebut memberi petunjuk bahwa menampakkan ekspresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awal adalah sesuatu yang hasan (baca: baik). Wallahu'alam.
Dr. ‘Izzat Ali ‘Athiyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam minha membantah bahwa klaim tersebut tidaklah benar. Sebab, perayaan atau peringatan (yang dilakukan Nabi) adalah takhsish (pengkhususan) pada hari tersebut. Bukan mukhashshis (yang mengkhususi) yaitu puasa. Jadi asal kesunnahannya adalah pen-takhsis-an hari Senin tersebut, bukan puasanya.
Lalu ada juga seseorang berkata bahwa Al-Qur'an tidak hanya mementingkan hari lahir saja, tetapi juga hari kematian. Maka seharusnya kesedihan lebih utama daripada kebahagiaan, dan bagi seorang pecinta, seharusnya hari itu menjadi hari duka.
Terkait klaim tersebut, al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa menjawab bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW ke dunia adalah seagung-agungnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dan wafatnya beliau adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa kita.
Sementara syariat menganjurkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat, dan bersabar, tenang, serta menyembunyikan kesedihan ketika musibah menimpa.
Kita tahu, syariat memerintahkan walimatul aqiqah ketika lahir seorang anak. Aqiqah adalah wujud syukur dan bahagia atas anak yang telah lahir. Kemudian ketika seseorang meninggal, alih-alih memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, misalnya, justru syariat melarang untuk meratapi orang yang meninggal dan berkabung yang berlarut-larut.
Dengan demikian, kaidah-kaidah syariat tersebut memberi petunjuk bahwa menampakkan ekspresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awal adalah sesuatu yang hasan (baca: baik). Wallahu'alam.
(mhy)