Kisah Buran, Putri Bizantium yang Jadi Maha Ratu Persia
Selasa, 09 November 2021 - 05:15 WIB
Buran binti Kisra II bin Hurmuz IV bin Kisra I sempat jadi perhatian, menyusul kesuksesan dirinya menjadi perempuan pertama yang menjadi Ratu Persia (Dinasti Sasaniyah). "Tidak sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan,” sabda Rasulullah SAW.
Pada era Rasulullah SAW, Persia menjadi salah satu negeri yang menjadi perhatian dunia. Suksesi di negeri itu menjadi pusat perhatian. Maklum saja, kala itu, Persia adalah salah satu dari dua kekuataan besar di dunia. Satunya lagi adalah Romawi.
Persia dengan penduduk mayoritas Majusi, sedangkan Romawi berpenduduk Nasrani. Dua kekuatan ini di kemudian hari diambil-alih Arab yang Muslim, menggantikan Persia.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW sempat mengomentari suksesi di Persia. Humaid meriwayatkan, suatu waktu ketika raja di Persia digantikan, Rasulullah bertanya, “Siapa yang menggantikannya?”
Mereka menjawab, “Anak perempuannya (maksudnya adalah anak perempuan Abarwiz).”
Kemudian dalam riwayat yang berkaitan, Abu Bakrah berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa orang Persia mengangkat putri Raja sebagai penggantinya, Rasulullah bersabda, “Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (HR Bukhari)
Atau dalam versi lain, hadits itu berbunyi, “Sebuah bangsa tidak akan pernah makmur yang mempercayakan urusannya kepada seorang wanita.” (HR al-Masudi dan Ibnu Qutaibah)
Ada dua orang wanita anggota keluarga kerajaan yang diangkat menjadi Ratu Persia pada masa-masa itu, mereka yaitu Buran dan Azarmidukht. Keduanya adalah putri Abarwiz (Kisra II) atau saudara perempuan Shiruyah.
Buran memerintah pada tahun 630 M, sempat tumbang, lalu memerintah lagi tahun 631-632 M. Kekuasaan Buran sempat diambil-alih Azarmidukht pada 630-631.
Sejarawan Agha Ibrahim Akram dalam bukunya berjudul The Muslim Conquest of Persia menyebutkan yang dimaksud dalam hadits Nabi tersebut, adalah Buran putri Kisra, karena menurutnya, Buran hidup di masa yang sama ketika Nabi masih hidup.
Ratunya Para Ratu
Lalu siapa sejatinya Buran, sang Ratu Persia itu? Dia adalah
putri Persia pertama yang menjadi Ratunya para ratu yang dalam bahasa Persia banbishnan banbishn, sebagai padanan dari Shahshanah (rajanya para raja).
Al-Tabari dalam bukunya berjudul Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menyebutkan Buran adalah putri Abarwiz (Kisra II) – putra Hurmuz IV – putra Anushirwan (Kisra I). Jadi jika dalam tradisi Arab penyebutan namanya menjadi Buran binti Kisra II bin Hurmuz IV bin Kisra I.
Agha Ibrahim Akram merinci Buran adalah saudara perempuan Shiruyah, raja sebelumnya yang telah membunuh ayahnya sendiri (Kisra II) dan hampir semua sanak keluarganya yang laki-laki.
Sedangkan menurut sejarawan Persia Hamzah al-Isfahani dalam Tarikh Sini Muluk al-Ard wal-Anbiya, Buran adalah putri Kisra II dari istrinya yang bernama Maryam, dia adalah putri Bizantium, putri dari Kaisar Heraklius.
Dengan statusnya sebagai keturunan raja dari dua dinasti besar pada masa itu, Sasaniyah dan Bizantium, dia menjadi ratu yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Dalam catatan sumber sejarah lainnya, Ignazio Guidi menyebut Buran, selain sebagai saudara perempuan, juga berperan sebagai seorang istri bagi Shiruyah.
Hal ini memungkinkan, sebab umum diketahui pada masa itu, bahwa Dinasti Sasaniyah kerap kali melaksanakan perkawinan sedarah (incestuous) di kalangan keluarga mereka sendiri. Namun, bukan berarti setiap perkawinan di antara keluarga kerajaan sedarah, hal ini bisa berubah tergantung kondisi, perkawinan karena aliansi politik pun tercatat di dalam sejarah mereka.
Sisi Religius Buran
Al-Tabari menuturkan, bahwa ketika Buran didaulat untuk menjadi Ratu Persia, dia berkata, “Aku akan mengejar kebenaran dan menahbiskan keadilan,” dannya mempercayakan urusan pemerintahannya kepada Fus Farrukh dan memberinya jabatan sebagai menteri utama.
Dia berperilaku baik terhadap rakyatnya dan memberlakukan keadilan di antara mereka. Dia memberi perintah agar koin perak atas namanya dicetak, dan dia memperbaiki jembatan batu (al-qanatir) dan jembatan perahu (al-jusur).
Dia juga memutihkan kewajiban pajak tanah bagi orang-orang yang menunggak, dan dia menulis kepada rakyat surat terbuka tentang kebijakan-kebijakannya yang berpihak kepada mereka. Dan dalam surat itu dia juga menyinggung tentang anggota keluarganya yang telah binasa (karena dibunuh oleh Shiruyah).
Pada saat yang bersamaan, dia menunjukkan sisi religiusitasnya, dengan mengungkapkan harapannya bahwa Tuhan akan menunjukkan kepada mereka, melalui kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat dan kebijakan tegas yang dikeluarkan dari posisinya yang tinggi.
Apa yang akan membuat mereka menyadari bahwa sebuah wilayah tidak ditundukkan melalui kekuatan dan energi manusia. Bahwa kekuatan militer bukan didirikan atas terenggutnya kebebasan rakyat, dan kemenangan itu tidak diperoleh melalui tipu muslihat dan kebencian manusia yang dipadamkan, tetapi semua berasal dari Tuhan, Dia Yang Dimuliakan dan Dipuja-puja.
Lebih jauh, dia menasihati rakyatnya untuk patuh dan mendorong mereka untuk setia. Surat-suratnya menyampaikan semua yang diperlukan (yaitu, untuk bimbingan dan kesejahteraan rakyat).
Hancur dari Dalam
Berkenaan dengan perang yang telah berlangsung lama antara Sasaniyah dan Bizantium, dia menunjukkan itikad baiknya dalam perdamaian dengan mengembalikan kayu salib suci Yerusalem kepada penguasa Bizantium yang dimediasi oleh seorang Kristen Nestorian yang bernama Ishu’hab.
Meski demikian, Sang Ratu, bagaimanapun, tidak memiliki kekuatan untuk memulihkan kedamaian dan ketertiban Istana Sasaniyah yang hancur dari dalam.
Jenderal, abdi dalam, dan bangsawan-bangsawan kuat Persia terus bertarung di antara mereka sendiri. Saat kekacauan dan kemunduran semakin drastis, wilayah Sasaniyah juga diserang oleh orang-orang Turki dan Khazar.
Pada saat yang bersamaan, pasukan Muslim dari Jazirah Arab, yang dalam sudut pandang Persia adalah sebuah kekuatan besar yang meledak, yang muncul secara tiba-tiba, mulai melancarkan ekspansinya ke wilayah Persia.
Ratu yang tidak berdaya ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalikkan proses disintegrasi politik Dinasti Sasaniyah. Tidak diketahui apa sebabnya, Buran kemudian meninggal setelah satu tahun empat bulan naik takhta.
Lihat Juga: Kisah Berakhirnya Perlawanan Persia: Berikut Ini Wilayah Paling Sulit Ditaklukkan Muslim
Pada era Rasulullah SAW, Persia menjadi salah satu negeri yang menjadi perhatian dunia. Suksesi di negeri itu menjadi pusat perhatian. Maklum saja, kala itu, Persia adalah salah satu dari dua kekuataan besar di dunia. Satunya lagi adalah Romawi.
Persia dengan penduduk mayoritas Majusi, sedangkan Romawi berpenduduk Nasrani. Dua kekuatan ini di kemudian hari diambil-alih Arab yang Muslim, menggantikan Persia.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW sempat mengomentari suksesi di Persia. Humaid meriwayatkan, suatu waktu ketika raja di Persia digantikan, Rasulullah bertanya, “Siapa yang menggantikannya?”
Mereka menjawab, “Anak perempuannya (maksudnya adalah anak perempuan Abarwiz).”
Kemudian dalam riwayat yang berkaitan, Abu Bakrah berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa orang Persia mengangkat putri Raja sebagai penggantinya, Rasulullah bersabda, “Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (HR Bukhari)
Atau dalam versi lain, hadits itu berbunyi, “Sebuah bangsa tidak akan pernah makmur yang mempercayakan urusannya kepada seorang wanita.” (HR al-Masudi dan Ibnu Qutaibah)
Ada dua orang wanita anggota keluarga kerajaan yang diangkat menjadi Ratu Persia pada masa-masa itu, mereka yaitu Buran dan Azarmidukht. Keduanya adalah putri Abarwiz (Kisra II) atau saudara perempuan Shiruyah.
Buran memerintah pada tahun 630 M, sempat tumbang, lalu memerintah lagi tahun 631-632 M. Kekuasaan Buran sempat diambil-alih Azarmidukht pada 630-631.
Sejarawan Agha Ibrahim Akram dalam bukunya berjudul The Muslim Conquest of Persia menyebutkan yang dimaksud dalam hadits Nabi tersebut, adalah Buran putri Kisra, karena menurutnya, Buran hidup di masa yang sama ketika Nabi masih hidup.
Ratunya Para Ratu
Lalu siapa sejatinya Buran, sang Ratu Persia itu? Dia adalah
putri Persia pertama yang menjadi Ratunya para ratu yang dalam bahasa Persia banbishnan banbishn, sebagai padanan dari Shahshanah (rajanya para raja).
Al-Tabari dalam bukunya berjudul Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menyebutkan Buran adalah putri Abarwiz (Kisra II) – putra Hurmuz IV – putra Anushirwan (Kisra I). Jadi jika dalam tradisi Arab penyebutan namanya menjadi Buran binti Kisra II bin Hurmuz IV bin Kisra I.
Agha Ibrahim Akram merinci Buran adalah saudara perempuan Shiruyah, raja sebelumnya yang telah membunuh ayahnya sendiri (Kisra II) dan hampir semua sanak keluarganya yang laki-laki.
Sedangkan menurut sejarawan Persia Hamzah al-Isfahani dalam Tarikh Sini Muluk al-Ard wal-Anbiya, Buran adalah putri Kisra II dari istrinya yang bernama Maryam, dia adalah putri Bizantium, putri dari Kaisar Heraklius.
Dengan statusnya sebagai keturunan raja dari dua dinasti besar pada masa itu, Sasaniyah dan Bizantium, dia menjadi ratu yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Dalam catatan sumber sejarah lainnya, Ignazio Guidi menyebut Buran, selain sebagai saudara perempuan, juga berperan sebagai seorang istri bagi Shiruyah.
Hal ini memungkinkan, sebab umum diketahui pada masa itu, bahwa Dinasti Sasaniyah kerap kali melaksanakan perkawinan sedarah (incestuous) di kalangan keluarga mereka sendiri. Namun, bukan berarti setiap perkawinan di antara keluarga kerajaan sedarah, hal ini bisa berubah tergantung kondisi, perkawinan karena aliansi politik pun tercatat di dalam sejarah mereka.
Sisi Religius Buran
Al-Tabari menuturkan, bahwa ketika Buran didaulat untuk menjadi Ratu Persia, dia berkata, “Aku akan mengejar kebenaran dan menahbiskan keadilan,” dannya mempercayakan urusan pemerintahannya kepada Fus Farrukh dan memberinya jabatan sebagai menteri utama.
Dia berperilaku baik terhadap rakyatnya dan memberlakukan keadilan di antara mereka. Dia memberi perintah agar koin perak atas namanya dicetak, dan dia memperbaiki jembatan batu (al-qanatir) dan jembatan perahu (al-jusur).
Dia juga memutihkan kewajiban pajak tanah bagi orang-orang yang menunggak, dan dia menulis kepada rakyat surat terbuka tentang kebijakan-kebijakannya yang berpihak kepada mereka. Dan dalam surat itu dia juga menyinggung tentang anggota keluarganya yang telah binasa (karena dibunuh oleh Shiruyah).
Pada saat yang bersamaan, dia menunjukkan sisi religiusitasnya, dengan mengungkapkan harapannya bahwa Tuhan akan menunjukkan kepada mereka, melalui kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat dan kebijakan tegas yang dikeluarkan dari posisinya yang tinggi.
Apa yang akan membuat mereka menyadari bahwa sebuah wilayah tidak ditundukkan melalui kekuatan dan energi manusia. Bahwa kekuatan militer bukan didirikan atas terenggutnya kebebasan rakyat, dan kemenangan itu tidak diperoleh melalui tipu muslihat dan kebencian manusia yang dipadamkan, tetapi semua berasal dari Tuhan, Dia Yang Dimuliakan dan Dipuja-puja.
Lebih jauh, dia menasihati rakyatnya untuk patuh dan mendorong mereka untuk setia. Surat-suratnya menyampaikan semua yang diperlukan (yaitu, untuk bimbingan dan kesejahteraan rakyat).
Hancur dari Dalam
Berkenaan dengan perang yang telah berlangsung lama antara Sasaniyah dan Bizantium, dia menunjukkan itikad baiknya dalam perdamaian dengan mengembalikan kayu salib suci Yerusalem kepada penguasa Bizantium yang dimediasi oleh seorang Kristen Nestorian yang bernama Ishu’hab.
Meski demikian, Sang Ratu, bagaimanapun, tidak memiliki kekuatan untuk memulihkan kedamaian dan ketertiban Istana Sasaniyah yang hancur dari dalam.
Jenderal, abdi dalam, dan bangsawan-bangsawan kuat Persia terus bertarung di antara mereka sendiri. Saat kekacauan dan kemunduran semakin drastis, wilayah Sasaniyah juga diserang oleh orang-orang Turki dan Khazar.
Pada saat yang bersamaan, pasukan Muslim dari Jazirah Arab, yang dalam sudut pandang Persia adalah sebuah kekuatan besar yang meledak, yang muncul secara tiba-tiba, mulai melancarkan ekspansinya ke wilayah Persia.
Ratu yang tidak berdaya ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalikkan proses disintegrasi politik Dinasti Sasaniyah. Tidak diketahui apa sebabnya, Buran kemudian meninggal setelah satu tahun empat bulan naik takhta.
Lihat Juga: Kisah Berakhirnya Perlawanan Persia: Berikut Ini Wilayah Paling Sulit Ditaklukkan Muslim
(mhy)