Sejarah Ilmu Nahwu Pertama Kali Ditulis di Masa Sayyidina Ali
Rabu, 22 April 2020 - 17:21 WIB
Ustaz DR Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an
Suatu malam, seorang putra dari Abu Aswad Ad-Dualy, seorang ahli bahasa di masa Tabi'in mengatakan pada ayahnya:
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ؟ (Maa Ahsanu as-Samaa?)
Lantas, Abu Aswad ad-Du'aly menjawab:
النَّجُوْمُ (An-Nujuum yang artinya bintang-bintang).
Putra dari Abu Aswad ad-Du'aly itu balik menanggapi bahwa yang ia maksudkan bukan dalam bentuk pertanyaan, melainkan bentuk ungkapan ketakjuban. "Betapa indahnya langit!"
Abu Aswad ad-Du'aly terkejut, sebab ungkapan yang dipahaminya dari ungkapan putranya itu bukan dalam bentuk ketakjuban, melainkan bentuk pertanyaan. "Apakah yang terindah di langit!" sehingga ia menjawab pertanyaan putranya itu dengan jawaban, "Bintang-bintang".
Perbedaannya hanya dari harakat dhammah dan fathah pada kata "Ahsan" [أَحْسَن]. Jika dibaca dhammah:
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ؟ (Maa Ahsanu as-Samaa). Maka bentuknya adalah ungkapan pertanyaan dengan arti "Apakah yang terindah dari langit?"
Sedangkan jika dibaca fathah: مَا أَحْسَنَ السَّمَاءِ؟ (Maa Ahsana as-Samaa). Maka bentuknya adalah ungkapan ketakjuban dengan arti "Betapa indahnya langit!"
Bentuk kalimatnya sama, namun berbeda harakat, berbeda pengucapan, maka dalam bahasa Arab, bisa merubah pada posisi i'rab, dan tentunya akan merubah arti, makna dan maksud tujuannya.
Usai kejadian itu, Abu Aswad ad-Dualy menjadi gamang. Beliau memikirkan bagaimana generasi mendatang memahami bahasa Arab dan Al-Qur'an. Akhirnya, Abu Aswad Ad-Du'aly mendatangi Khalifah Amirul Mukminin, Sayyidina Ali bin Abi Thalib (radhialahu 'anhu) untuk melaporkan kejadian tersebut.
Lantas, Sayyidina Ali bin Thalib memerintahkan Abu Aswad ad-Du'aly menulis dan menyusun kaidah-kaidah ilmu tata bahasa Arab yang kita kenal hari ini dengan ilmu Nahwu.
Inilah sejarah ilmu Nahwu pertama kali dituliskan secara sistematis. Maka di sana dikenal harakat atau baris, diberikan syakal atau noqtah/titik pada huruf-huruf hijaiyyah, untuk membedakan antara semisal:
• ب- ت- ث
• س-ش
• ص- ض
• ر-ز- د- ذ
Kita tidak membayangkan betapa susahnya kita membaca dan mengenal perbedaan huruf-huruf hijayyah ketika kita membaca Al-Qur'an, sekiranya tanpa ada syakal tersebut.
Padahal sebelumnya Al-Qur'an pada masa Nabi Saw hingga masa sahabat tabien ditulis tanpa syakal dan harakat. Hal ini tidak terlepas dari jasa usaha Abu Aswad ad-Du'aly terhadap kaum muslimin.
Tanpa mengetahui posisi Irab, bisa saja seseorang yang membaca Al-Qur'an, bukan saja keliru dalam pengucapan, tapi juga mengakibatkan perubahan makna yang fatal. Misalnya pada firman Allah Ta'ala pada surah Fathir ayat 28: إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya diantara para hamba-Nya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama."
Posisi Irab yang menjadi Fail (pelaku) di sana adalah kata الْعُلَمَاءُ dengan tanda irabnya "Dhammah", meski letak posisinya di akhir kalimat. Sedangkan posisi Maf'ul (objek) yang didahulukan adalah justru kata اللَّهَ dengan alamat irabnya "Fathah".
Sekiranya ada orang yang salah baca, kata الَّلهُ dibaca "Dhammah" dan kata "الْعُلَمَاءَ" dibaca "Fathah", maka maknanya berubah menjadi:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ
"Sesungguhnya diantara hamba-Nya hanyalah Allah yang takut pada para Ulama".
Fatal bukan kesalahannya? Maysa Allah takut dengan ulama? Tapi itulah dampak dari kesalahan membaca dan kesalahan posisi Irabnya. Inilah kelebihan dan kedetailan dalam bahasa Arab yang tidak akan ditemukan dalam bahasa lainnya dalam bahasa lain di dunia.
Oleh karena itu, salah satu alasan kekayaan diksi kata bahasa Arab serta keragaman posisi kalimatnya yang begitu sangat detail menjadikanya dipilih sebagai bahasa wahyu kitab suci terakhir yang menyempurnakan kitab-kitab suci umat terdahulu, Injil, Zabur dan Taurat.
Usaha Abu Aswad ad-Du'aly dilanjutkan oleh Imam Sibawaih dengan mengarang kitab Ilmu Nahwu yang diberi judul: Al-Kitab. [ُالكِتَاب]
Pada karya Al-Kitab itu, Imam Sibawaih merumuskan lebih lengkap seperti istilah seperti: Mabny dan Mu'rab, Fi'il, Fa'il dan Maf'ul, Mubtada dan Khabar, Jumlah Ismiyyah dan Fi'liyyah, dsb.
Selanjutnya, karya-karya Imam Sibawaih dilanjutkan oleh para generasi ulama bahasa pada masa-masa berikutnya, seperti Ibnu Jinni, al-Farra, Imam al-Jahidz dan masih banyak pakar bahasa Arab yang mereka tinggalkan karya-karya pemikirannya yang masih bisa kita baca dan pelajari hingga hari ini.
Oleh karenanya, tidak mudah menjadi seorang dai, seorang ulama, jika belum mampu menguasai keilmuan dasar bahasa Arab dalam penguasaan Ilmu Nahwu, Sharaf, Dilalah, Balaghah dan lainnya yang dipergunakan dalam memahami Al-Qur'an.
Wallahu A'lam Bish showab
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an
Suatu malam, seorang putra dari Abu Aswad Ad-Dualy, seorang ahli bahasa di masa Tabi'in mengatakan pada ayahnya:
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ؟ (Maa Ahsanu as-Samaa?)
Lantas, Abu Aswad ad-Du'aly menjawab:
النَّجُوْمُ (An-Nujuum yang artinya bintang-bintang).
Putra dari Abu Aswad ad-Du'aly itu balik menanggapi bahwa yang ia maksudkan bukan dalam bentuk pertanyaan, melainkan bentuk ungkapan ketakjuban. "Betapa indahnya langit!"
Abu Aswad ad-Du'aly terkejut, sebab ungkapan yang dipahaminya dari ungkapan putranya itu bukan dalam bentuk ketakjuban, melainkan bentuk pertanyaan. "Apakah yang terindah di langit!" sehingga ia menjawab pertanyaan putranya itu dengan jawaban, "Bintang-bintang".
Perbedaannya hanya dari harakat dhammah dan fathah pada kata "Ahsan" [أَحْسَن]. Jika dibaca dhammah:
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ؟ (Maa Ahsanu as-Samaa). Maka bentuknya adalah ungkapan pertanyaan dengan arti "Apakah yang terindah dari langit?"
Sedangkan jika dibaca fathah: مَا أَحْسَنَ السَّمَاءِ؟ (Maa Ahsana as-Samaa). Maka bentuknya adalah ungkapan ketakjuban dengan arti "Betapa indahnya langit!"
Bentuk kalimatnya sama, namun berbeda harakat, berbeda pengucapan, maka dalam bahasa Arab, bisa merubah pada posisi i'rab, dan tentunya akan merubah arti, makna dan maksud tujuannya.
Usai kejadian itu, Abu Aswad ad-Dualy menjadi gamang. Beliau memikirkan bagaimana generasi mendatang memahami bahasa Arab dan Al-Qur'an. Akhirnya, Abu Aswad Ad-Du'aly mendatangi Khalifah Amirul Mukminin, Sayyidina Ali bin Abi Thalib (radhialahu 'anhu) untuk melaporkan kejadian tersebut.
Lantas, Sayyidina Ali bin Thalib memerintahkan Abu Aswad ad-Du'aly menulis dan menyusun kaidah-kaidah ilmu tata bahasa Arab yang kita kenal hari ini dengan ilmu Nahwu.
Inilah sejarah ilmu Nahwu pertama kali dituliskan secara sistematis. Maka di sana dikenal harakat atau baris, diberikan syakal atau noqtah/titik pada huruf-huruf hijaiyyah, untuk membedakan antara semisal:
• ب- ت- ث
• س-ش
• ص- ض
• ر-ز- د- ذ
Kita tidak membayangkan betapa susahnya kita membaca dan mengenal perbedaan huruf-huruf hijayyah ketika kita membaca Al-Qur'an, sekiranya tanpa ada syakal tersebut.
Padahal sebelumnya Al-Qur'an pada masa Nabi Saw hingga masa sahabat tabien ditulis tanpa syakal dan harakat. Hal ini tidak terlepas dari jasa usaha Abu Aswad ad-Du'aly terhadap kaum muslimin.
Tanpa mengetahui posisi Irab, bisa saja seseorang yang membaca Al-Qur'an, bukan saja keliru dalam pengucapan, tapi juga mengakibatkan perubahan makna yang fatal. Misalnya pada firman Allah Ta'ala pada surah Fathir ayat 28: إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya diantara para hamba-Nya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama."
Posisi Irab yang menjadi Fail (pelaku) di sana adalah kata الْعُلَمَاءُ dengan tanda irabnya "Dhammah", meski letak posisinya di akhir kalimat. Sedangkan posisi Maf'ul (objek) yang didahulukan adalah justru kata اللَّهَ dengan alamat irabnya "Fathah".
Sekiranya ada orang yang salah baca, kata الَّلهُ dibaca "Dhammah" dan kata "الْعُلَمَاءَ" dibaca "Fathah", maka maknanya berubah menjadi:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ
"Sesungguhnya diantara hamba-Nya hanyalah Allah yang takut pada para Ulama".
Fatal bukan kesalahannya? Maysa Allah takut dengan ulama? Tapi itulah dampak dari kesalahan membaca dan kesalahan posisi Irabnya. Inilah kelebihan dan kedetailan dalam bahasa Arab yang tidak akan ditemukan dalam bahasa lainnya dalam bahasa lain di dunia.
Oleh karena itu, salah satu alasan kekayaan diksi kata bahasa Arab serta keragaman posisi kalimatnya yang begitu sangat detail menjadikanya dipilih sebagai bahasa wahyu kitab suci terakhir yang menyempurnakan kitab-kitab suci umat terdahulu, Injil, Zabur dan Taurat.
Usaha Abu Aswad ad-Du'aly dilanjutkan oleh Imam Sibawaih dengan mengarang kitab Ilmu Nahwu yang diberi judul: Al-Kitab. [ُالكِتَاب]
Pada karya Al-Kitab itu, Imam Sibawaih merumuskan lebih lengkap seperti istilah seperti: Mabny dan Mu'rab, Fi'il, Fa'il dan Maf'ul, Mubtada dan Khabar, Jumlah Ismiyyah dan Fi'liyyah, dsb.
Selanjutnya, karya-karya Imam Sibawaih dilanjutkan oleh para generasi ulama bahasa pada masa-masa berikutnya, seperti Ibnu Jinni, al-Farra, Imam al-Jahidz dan masih banyak pakar bahasa Arab yang mereka tinggalkan karya-karya pemikirannya yang masih bisa kita baca dan pelajari hingga hari ini.
Oleh karenanya, tidak mudah menjadi seorang dai, seorang ulama, jika belum mampu menguasai keilmuan dasar bahasa Arab dalam penguasaan Ilmu Nahwu, Sharaf, Dilalah, Balaghah dan lainnya yang dipergunakan dalam memahami Al-Qur'an.
Wallahu A'lam Bish showab
(rhs)