Kisah Sufi Yunus bin Adam: Halwa, Makanan dari Surga
Senin, 22 November 2021 - 13:50 WIB
Ia masuk ke salah satunya, dan di dalamnya berdiri suatu makhluk menyerupai seorang manusia, tetapi bukan manusia: penampilannya masih muda, namun bijaksana dan jelas sudah sangat tua.
"Hamba adalah pemimpin bangsa jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sebagai jawaban atas panggilan Tuan dan karena Tuan menggunakan Nama Agung yang diberikan pada Tuan oleh Darwis Yang Agung. Apa yang Tuan ingin hamba lakukan?" kata ," makhluk.
"Wahai Pemimpin kaum Jin yang perkasa," sahut Yunus, "Aku adalah seorang Pencari Kebenaran, dan jawaban yang kucari hanya bisa kutemukan di dalam benteng mengharumkan di dekat tempatku berada ketika engkau membawaku kemari. Berilah padaku, aku mohon, kekuatan untuk menerobos benteng dan berbicara dengan putri yang terpenjara di sana."'
"Jadilah menurut permohonanmu!" kata pemimpin Jin. "Namun ingatlah, di atas segalanya, bahwa seorang manusia memperoleh jawab atas pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti dan mengolahnya sendiri."
"Kebenaran adalah kebenaran," balas Yunus. "Dan aku akan mendapatkannya, tak masalah apa itu bentuknya. Berikan padaku karunia itu."
Segera saja Yunus dikirim kembali dalam wujud tak terlihat (dengan kekuatan sihir Jin) disertai sekelompok jin kecil-kecil, yang ditugaskan oleh pemimpin mereka untuk menggunakan kemampuan khusus mereka membantu manusia itu dalam pencariannya.
Di tangannya, Yunus memegang sebuah cermin-batu yang kata pemimpin in harus diarahkannya ke benteng agar ia dapat melihat rintangan-rintangan tak kasat mata.
Dari batu itu, Yunus melihat bahwa benteng dijaga oleh segerombol raksasa, tak tampak namun mengerikan, yang menghantam siapa saja yang mendekat.
Jin-jin pengawal yang unggul atas tugas ini berhasil menyingkirkan raksasa-raksasa itu. Kemudian, ia menemukan bahwa ada semacam jaring tak kelihatan yang membungkus seluruh benteng itu. Ini pun dihancurkan oleh para jin yang terbang dan mempunyai kecerdikan khusus untuk merobek jaring itu.
Rintangan terakhir berupa batu besar tak tampak, yang memenuhi ruang antara benteng dan tepi sungai. Para jin menyingkirkannya, lalu sesudah itu menghabarkan salam dan terbang pergi laksana kilat, kembali ke asal mereka.
Yunus menoleh dan menyaksikan sebuah jembatan, dengan sendirinya, muncul dari dasar sungai, dan ia berjalan memasuki benteng tanpa perlu berbasah kaki. Seorang pengawal gerbang segera membawanya kepada putri, yang sungguh jauh lebih mempesona dibandingkan kali pertama terlihat oleh Yunus.
"Kami sangat berterima kasih pada Tuan karena Tuan telah menghancurkan rintangan-rintangan yang melingkupi benteng ini," kata putri itu. "Dan aku kini bisa kembali kepada ayahandaku dan ingin sekali memberikan hadiah atas kepahlawanan Tuan. Mintalah apa saja yang Tuan mau, niscaya akan dikabulkan."
"Mutiara tanpa banding," sahut Yunus. "Hanya satu hal yang kuidamkan, kebenaran. Dan sudah sepantasnya bagi mereka yang memiliki kebenaran untuk mengaruniakannya kepada siapa pun yang bisa memetik manfaat darinya. Hamba mohon pada Paduka Putri, sudilah kiranya Paduka mengaruniakan kebenaran itu kepada hamba."
"Katakanlah Tuan, kebenaran yang sekiranya bisa kusampaikan, niscaya akan kusampaikan."
"Baiklah, Yang Mulia, bagaimana dan dengan aturan apa Makanan Surga, yaitu halwa menakjubkan, yang Paduka kirimkan pada hamba setiap hari, ditakdirkan dikirimkan dengan cara demikian?"
"Yunus, putra Adam," jawab putri itu. "Halwa itu, begitulah engkau menyebutnya, kulempar ke sungai setiap hari sebenarnya sisa-sisa bahan riasan yang kupakai setelah mandi susu."
"Akhirnya aku paham," kata Yunus. "Bahwa pengertian manusia terkondisi sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti. Bagi Paduka, halwa adalah sisa-sisa bahan perawatan tubuh setiap hari. Tetapi bagi hamba, itu adalah Makanan Surga."
***
Idries Shah menyebut kisah ini ditulis oleh Halqawi. Dan menurut Halqawi, hanya ada sedikit kisah Sufi, yang bisa dibaca oleh siapa pun saat kapan pun dan tetap mempengaruhi 'kesadaran batin' secara konstruktif.
"Hamba adalah pemimpin bangsa jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sebagai jawaban atas panggilan Tuan dan karena Tuan menggunakan Nama Agung yang diberikan pada Tuan oleh Darwis Yang Agung. Apa yang Tuan ingin hamba lakukan?" kata ," makhluk.
"Wahai Pemimpin kaum Jin yang perkasa," sahut Yunus, "Aku adalah seorang Pencari Kebenaran, dan jawaban yang kucari hanya bisa kutemukan di dalam benteng mengharumkan di dekat tempatku berada ketika engkau membawaku kemari. Berilah padaku, aku mohon, kekuatan untuk menerobos benteng dan berbicara dengan putri yang terpenjara di sana."'
"Jadilah menurut permohonanmu!" kata pemimpin Jin. "Namun ingatlah, di atas segalanya, bahwa seorang manusia memperoleh jawab atas pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti dan mengolahnya sendiri."
"Kebenaran adalah kebenaran," balas Yunus. "Dan aku akan mendapatkannya, tak masalah apa itu bentuknya. Berikan padaku karunia itu."
Segera saja Yunus dikirim kembali dalam wujud tak terlihat (dengan kekuatan sihir Jin) disertai sekelompok jin kecil-kecil, yang ditugaskan oleh pemimpin mereka untuk menggunakan kemampuan khusus mereka membantu manusia itu dalam pencariannya.
Di tangannya, Yunus memegang sebuah cermin-batu yang kata pemimpin in harus diarahkannya ke benteng agar ia dapat melihat rintangan-rintangan tak kasat mata.
Dari batu itu, Yunus melihat bahwa benteng dijaga oleh segerombol raksasa, tak tampak namun mengerikan, yang menghantam siapa saja yang mendekat.
Jin-jin pengawal yang unggul atas tugas ini berhasil menyingkirkan raksasa-raksasa itu. Kemudian, ia menemukan bahwa ada semacam jaring tak kelihatan yang membungkus seluruh benteng itu. Ini pun dihancurkan oleh para jin yang terbang dan mempunyai kecerdikan khusus untuk merobek jaring itu.
Rintangan terakhir berupa batu besar tak tampak, yang memenuhi ruang antara benteng dan tepi sungai. Para jin menyingkirkannya, lalu sesudah itu menghabarkan salam dan terbang pergi laksana kilat, kembali ke asal mereka.
Yunus menoleh dan menyaksikan sebuah jembatan, dengan sendirinya, muncul dari dasar sungai, dan ia berjalan memasuki benteng tanpa perlu berbasah kaki. Seorang pengawal gerbang segera membawanya kepada putri, yang sungguh jauh lebih mempesona dibandingkan kali pertama terlihat oleh Yunus.
"Kami sangat berterima kasih pada Tuan karena Tuan telah menghancurkan rintangan-rintangan yang melingkupi benteng ini," kata putri itu. "Dan aku kini bisa kembali kepada ayahandaku dan ingin sekali memberikan hadiah atas kepahlawanan Tuan. Mintalah apa saja yang Tuan mau, niscaya akan dikabulkan."
"Mutiara tanpa banding," sahut Yunus. "Hanya satu hal yang kuidamkan, kebenaran. Dan sudah sepantasnya bagi mereka yang memiliki kebenaran untuk mengaruniakannya kepada siapa pun yang bisa memetik manfaat darinya. Hamba mohon pada Paduka Putri, sudilah kiranya Paduka mengaruniakan kebenaran itu kepada hamba."
"Katakanlah Tuan, kebenaran yang sekiranya bisa kusampaikan, niscaya akan kusampaikan."
"Baiklah, Yang Mulia, bagaimana dan dengan aturan apa Makanan Surga, yaitu halwa menakjubkan, yang Paduka kirimkan pada hamba setiap hari, ditakdirkan dikirimkan dengan cara demikian?"
"Yunus, putra Adam," jawab putri itu. "Halwa itu, begitulah engkau menyebutnya, kulempar ke sungai setiap hari sebenarnya sisa-sisa bahan riasan yang kupakai setelah mandi susu."
"Akhirnya aku paham," kata Yunus. "Bahwa pengertian manusia terkondisi sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti. Bagi Paduka, halwa adalah sisa-sisa bahan perawatan tubuh setiap hari. Tetapi bagi hamba, itu adalah Makanan Surga."
***
Idries Shah menyebut kisah ini ditulis oleh Halqawi. Dan menurut Halqawi, hanya ada sedikit kisah Sufi, yang bisa dibaca oleh siapa pun saat kapan pun dan tetap mempengaruhi 'kesadaran batin' secara konstruktif.