Kisah Sufi Hatim al-Tha'i dan Raja yang Ingin Menjadi Dermawan
Sabtu, 27 November 2021 - 13:38 WIB
Raja itu pun mengumumkan bahwa barangsiapa yang menyerahkan Hatim al-Tha'i akan mendapat hadiah lima ribu keping emas.
Hatim al-Tha'i tidak mengetahui perihal maklumat tersebut sampai suatu hari ketika ia duduk di mulut gua dan mendengar percakapan antara tukang kayu dan istrinya.
Tukang kayu berkata, "Istriku sayang, sekarang aku sudah tua dan kau masih sangat muda. Kita memiliki anak yang masih kecil, dan dalam urutan alamiah peristiwa-peristiwa, sudah sewajarnya aku akan mati lebih dahulu darimu sementara anak kita masih belia. Seandainya kita bisa menemukan Hatim Tai dan menangkapnya, untuk memperoleh hadiah lima ribu keping emas dari raja, masa depan kalian tentu akan terjamin."
"Yang kau katakan itu memalukan!" sergah istrinya, "Lebih baik kau mati, dan aku serta anak kita kelaparan, dari pada tangan kita bernodakan darah orang yang paling murah hati sepanjang masa, yang mengorbankan segalanya bagi kebaikan kita."
"Begitu ya," kata orang tua itu, "Tetapi seorang lelaki harus memikirkan kepentingannya sendiri. Bagaimanapun aku punya tanggung jawab. Lagipula, dari hari ke hari semakin banyak orang yang menganggap Hatim itu pengecut. Hanya masalah waktu saja sebelum mereka mencari ke semua tempat persembunyian dan menangkapnya."
"Anggapan bahwa Hatim pengecut dilandasi oleh hasrat mendapat emas. Lebih banyak lagi pembicaraan serupa ini dan Hatim akan hidup sia-sia."
Pada saat itu Hatim al-Tha'i berdiri dan menemui pasangan itu. "Aku adalah Hatim al-Tha'i," katanya, "serahkanlah aku pada raja baru itu dan ambil uang hadiahmu."
Tukang kayu itu merasa malu, dan air matanya tumpah. "Tidak, Hatim yang Agung," katanya, "aku tidak mungkin tega menyerahkanmu."
Sementara mereka berbicara, sekelompok orang yang mencari raja dalam pelarian dan akan menangkapnya berada di dekat sana.
"Kalau kau tidak mau menyerahkanku," kata Hatim, "aku akan menyerahkan diriku pada raja dan mengaku bahwa kau telah membantuku bersembunyi. Dengan begitu, kau akan dihukum karena berkinianat."
Sekelompok orang tadi, yang mengenali Hatim, segera menangkapnya dan membawanya kepada raja lalim itu. Tukang kayu itu mengikuti dengan sedih di belakang.
Ketika mereka sampai di istana, masing-masing orang dalam kelompok tadi mengaku dirinya sebagai penangkap Hatim.
Bekas raja itu, yang membaca keraguan di wajah penggantinya, minta izin untuk berbicara, "Ketahuilah, wahai Raja, bahwa penjelasanku seharusnya juga didengarkan. Aku ditangkap oleh tukang kayu ini dan bukan oleh sekelompok orang itu. Karena itu, berilah kepada orang tua ini hadiahnya, dan lakukan apa yang kau mau atas aku ..."
Mendengar hal itu, si tukang kayu maju dan mengatakan kepada raja bahwa Hatim telah menyerahkan dirinya, bukan ditangkap; bahwa Hatim berkorban agar tukang kayu dan keluarganya memperoleh hadiah.
Raja baru itu sungguh takjub oleh cerita tersebut sehingga ia pun menarik mundur prajuritnya dan pulang ke negerinya sendiri. Tahta pun dikembalikan kepada Hatim Tai.
Ketika mendengar kisah ini, Raja Iran, yang melupakan ancamannya atas sang Darwis, berkata, "Suatu kisah yang bagus sekali, darwis, dan bisa dipetik manfaatnya. Kau mungkin tak bisa, sebab telah melepaskan semua kenikmatan hidup dan tak berhasrat memiliki apa pun lagi. Tetapi, aku seorang raja. Dan aku sangat kaya. Raja-raja Arab itu, yang hidup pada borok kadal, tak mungkin bisa menandingi Raja Persia dalam hal kedermawanan sejati. Hmm, aku punya ide! Mari kita kerjakan!"
Didampingi oleh sang darwis, Raja Iran mengumpulkan para ahli bangunan yang terbaik di suatu tanah lapang yang sangat luas. Ia pun menyuruh mereka merancang dan membangun sebuah istana megah berikut aula besar dengan empat puluh jendela di atas tanah luas itu.
Raja juga memerintahkan agar alat-alat transportasi segera dibuat dan istana itu dipenuhi dengan keping-keping emas. Ketika istana itu selesai dibangun, keluarlah pengumuman, "Dengarkanlah! Raja atas segala raja, Sumber Kedermawanan, telah menitahkan agar dibangun sebuah istana megah dengan empat puluh jendela. Setiap hari, dari jendela-jendela itulah nanti raja sendiri akan mendermakan emas kepada orang-orang miskin."
Demikianlah, setiap hari kerumunan ramai orang miskin datang ke istana tersebut.
Hatim al-Tha'i tidak mengetahui perihal maklumat tersebut sampai suatu hari ketika ia duduk di mulut gua dan mendengar percakapan antara tukang kayu dan istrinya.
Tukang kayu berkata, "Istriku sayang, sekarang aku sudah tua dan kau masih sangat muda. Kita memiliki anak yang masih kecil, dan dalam urutan alamiah peristiwa-peristiwa, sudah sewajarnya aku akan mati lebih dahulu darimu sementara anak kita masih belia. Seandainya kita bisa menemukan Hatim Tai dan menangkapnya, untuk memperoleh hadiah lima ribu keping emas dari raja, masa depan kalian tentu akan terjamin."
"Yang kau katakan itu memalukan!" sergah istrinya, "Lebih baik kau mati, dan aku serta anak kita kelaparan, dari pada tangan kita bernodakan darah orang yang paling murah hati sepanjang masa, yang mengorbankan segalanya bagi kebaikan kita."
"Begitu ya," kata orang tua itu, "Tetapi seorang lelaki harus memikirkan kepentingannya sendiri. Bagaimanapun aku punya tanggung jawab. Lagipula, dari hari ke hari semakin banyak orang yang menganggap Hatim itu pengecut. Hanya masalah waktu saja sebelum mereka mencari ke semua tempat persembunyian dan menangkapnya."
"Anggapan bahwa Hatim pengecut dilandasi oleh hasrat mendapat emas. Lebih banyak lagi pembicaraan serupa ini dan Hatim akan hidup sia-sia."
Pada saat itu Hatim al-Tha'i berdiri dan menemui pasangan itu. "Aku adalah Hatim al-Tha'i," katanya, "serahkanlah aku pada raja baru itu dan ambil uang hadiahmu."
Tukang kayu itu merasa malu, dan air matanya tumpah. "Tidak, Hatim yang Agung," katanya, "aku tidak mungkin tega menyerahkanmu."
Sementara mereka berbicara, sekelompok orang yang mencari raja dalam pelarian dan akan menangkapnya berada di dekat sana.
"Kalau kau tidak mau menyerahkanku," kata Hatim, "aku akan menyerahkan diriku pada raja dan mengaku bahwa kau telah membantuku bersembunyi. Dengan begitu, kau akan dihukum karena berkinianat."
Sekelompok orang tadi, yang mengenali Hatim, segera menangkapnya dan membawanya kepada raja lalim itu. Tukang kayu itu mengikuti dengan sedih di belakang.
Ketika mereka sampai di istana, masing-masing orang dalam kelompok tadi mengaku dirinya sebagai penangkap Hatim.
Bekas raja itu, yang membaca keraguan di wajah penggantinya, minta izin untuk berbicara, "Ketahuilah, wahai Raja, bahwa penjelasanku seharusnya juga didengarkan. Aku ditangkap oleh tukang kayu ini dan bukan oleh sekelompok orang itu. Karena itu, berilah kepada orang tua ini hadiahnya, dan lakukan apa yang kau mau atas aku ..."
Mendengar hal itu, si tukang kayu maju dan mengatakan kepada raja bahwa Hatim telah menyerahkan dirinya, bukan ditangkap; bahwa Hatim berkorban agar tukang kayu dan keluarganya memperoleh hadiah.
Raja baru itu sungguh takjub oleh cerita tersebut sehingga ia pun menarik mundur prajuritnya dan pulang ke negerinya sendiri. Tahta pun dikembalikan kepada Hatim Tai.
Ketika mendengar kisah ini, Raja Iran, yang melupakan ancamannya atas sang Darwis, berkata, "Suatu kisah yang bagus sekali, darwis, dan bisa dipetik manfaatnya. Kau mungkin tak bisa, sebab telah melepaskan semua kenikmatan hidup dan tak berhasrat memiliki apa pun lagi. Tetapi, aku seorang raja. Dan aku sangat kaya. Raja-raja Arab itu, yang hidup pada borok kadal, tak mungkin bisa menandingi Raja Persia dalam hal kedermawanan sejati. Hmm, aku punya ide! Mari kita kerjakan!"
Didampingi oleh sang darwis, Raja Iran mengumpulkan para ahli bangunan yang terbaik di suatu tanah lapang yang sangat luas. Ia pun menyuruh mereka merancang dan membangun sebuah istana megah berikut aula besar dengan empat puluh jendela di atas tanah luas itu.
Raja juga memerintahkan agar alat-alat transportasi segera dibuat dan istana itu dipenuhi dengan keping-keping emas. Ketika istana itu selesai dibangun, keluarlah pengumuman, "Dengarkanlah! Raja atas segala raja, Sumber Kedermawanan, telah menitahkan agar dibangun sebuah istana megah dengan empat puluh jendela. Setiap hari, dari jendela-jendela itulah nanti raja sendiri akan mendermakan emas kepada orang-orang miskin."
Demikianlah, setiap hari kerumunan ramai orang miskin datang ke istana tersebut.