Kisah Sufi Hatim al-Tha'i dan Raja yang Ingin Menjadi Dermawan
Sabtu, 27 November 2021 - 13:38 WIB
Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes" menyampaikan kisah klasik Urdu, Kisah Empat Darwis, yang menggambarkan ajaran-ajaran penting Sufi. Berikut kisahnya:
Konon, seorang Raja Iran berkata kepada seorang darwis, "Ceritakan padaku sebuah kisah."
Darwis itu berkata, "Yang Mulia, saya akan ceritakan kisah Hatim al-Tha'i, Raja Arab dan manusia paling murah hati sepanjang masa; bila paduka dapat menyamai kemurahan hatinya, niscaya paduka akan menjadi raja teragung yang pernah ada."
"Ceritakanlah," kata sang raja. "Tetapi kalau kau tidak menghiburku dan merendahkan kemurahan hatiku, kau akan kehilangan kepalamu."
Raja itu berkata demikian sebab di Persia sudah biasa bahwa orang-orang di istana akan menyanjung-nyanjung raja sebagai orang paling agung di antara semua manusia; dulu, sekarang, atau besok.
"Saya lanjutkan," kata darwis itu dengan tenang (sebab para darwis tak mudah dibuat gentar). "Kemurahan hati Hatim al-Tha'i, dalam karakter maupun jiwa, melampaui semua manusia." Dan inilah kisah yang dituturkan darwis itu.
Seorang Raja Arab yang lain merasa iri atas kekayaan, desa dan oase, onta, serta prajurit yang dimiliki Hatim al-Tha'i. Orang ini pun menyatakan perang terhadap Hatim, mengutus suruhan dengan pesan: "Tunduklah padaku. Kalau tidak, aku akan melumat kau dan negerimu, dan merampas semua kepunyaanmu."
Ketika pesan itu sampai ke istana Hatim, para penasihatnya serta-merta menyarankan agar raja mengerahkan seluruh prajurit untuk mempertahankan kerajaan itu. Kata mereka, "Tak diragukan lagi bahwa lelaki dan perempuan bertubuh sehat di negeri ini akan dengan senang hati menyerahkan nyawa untuk membela raja yang mereka cintai."
Tetapi, Hatim, diluar dugaan para penasihat itu, berkata, "Tidak, dari pada kalian bertempur dan menumpahkan darahmu bagiku, lebih baik aku pergi meninggalkan negeri ini. Kiranya jauh dari jalan kemurahan hati bila aku menjadi sebab pengorbanan hidup seorang lelah atau perempuan."
"Kalau kalian menyerah tanpa perlawanan, raja ini hanya akan menuntut pengabdian dan pajak, dan kalian tidak akan menderita dibuatnya. Sebaliknya, kalau kalian melawan dan kalah, maka sesuai dengan kebiasaan perang ia akan merampas harta kalian, dan dengan begitu tak ada lagi sepeser pun milik kalian."
Tak lama kemudian, Hatim beserta seorang hamba yang gagah berani pergi ke dekat pegunungan, di mana ditemukannya sebuah gua. Di sana, ia membenamkan diri dalam perenungan.
Sebagian rakyat sangat terharu atas pengorbanan Hatim Tai yang merelakan kekayaan dan kedudukannya demi keselamatan mereka. Tetapi yang lain, terutama orang-orang yang senang mendapat nama dalam hal keberanian, menggerutu.
"Bagaimana Hatim tahu bahwa orang ini sebenarnya bukan seorang pengecut?"
Dan yang lain lagi, yang agak berani, berkata, "Ia tampaknya hendak menyelamatkan dirinya sendiri, sebab ia menyerahkan kita kepada nasib yang tak diketahui. Barangkali kita akan menjadi budak dari raja yang tidak kita kenal ini, raja lalim yang menyatakan perang atas negeri tetangga."
Yang lain tetap diam, sebab tak yakin apa yang mesti dipercayai hingga mereka memperoleh sejumlah pertimbangan untuk menyusun pikirannya.
Dan demikianlah raja lalim itu, beserta ribuan prajurit, merebut negeri Hatim. Raja itu tidak memungut pajak lebih tinggi dari pada yang dipungut Hatim. Tetapi, ada satu hal yang mengganggunya, yaitu bisik-bisik orang banyak bahwa negeri yang baru dimilikinya itu merupakan buah dari kemurahan hati Hatim al-Tha'i yang menyerahkan negeri itu kepadanya.
"Aku tidak dapat menjadi raja sejati atas negeri ini," pikir raja lalim itu, "sebelum aku menangkap Hatim Tai. Selama ia masih hidup, sebagian rakyat masih akan setia kepadanya. Mereka tidak akan sepenuhnya tunduk kepadaku, meskipun mulut mereka berkata begitu."
Raja itu pun mengumumkan bahwa barangsiapa yang menyerahkan Hatim al-Tha'i akan mendapat hadiah lima ribu keping emas.
Hatim al-Tha'i tidak mengetahui perihal maklumat tersebut sampai suatu hari ketika ia duduk di mulut gua dan mendengar percakapan antara tukang kayu dan istrinya.
Tukang kayu berkata, "Istriku sayang, sekarang aku sudah tua dan kau masih sangat muda. Kita memiliki anak yang masih kecil, dan dalam urutan alamiah peristiwa-peristiwa, sudah sewajarnya aku akan mati lebih dahulu darimu sementara anak kita masih belia. Seandainya kita bisa menemukan Hatim Tai dan menangkapnya, untuk memperoleh hadiah lima ribu keping emas dari raja, masa depan kalian tentu akan terjamin."
"Yang kau katakan itu memalukan!" sergah istrinya, "Lebih baik kau mati, dan aku serta anak kita kelaparan, dari pada tangan kita bernodakan darah orang yang paling murah hati sepanjang masa, yang mengorbankan segalanya bagi kebaikan kita."
"Begitu ya," kata orang tua itu, "Tetapi seorang lelaki harus memikirkan kepentingannya sendiri. Bagaimanapun aku punya tanggung jawab. Lagipula, dari hari ke hari semakin banyak orang yang menganggap Hatim itu pengecut. Hanya masalah waktu saja sebelum mereka mencari ke semua tempat persembunyian dan menangkapnya."
"Anggapan bahwa Hatim pengecut dilandasi oleh hasrat mendapat emas. Lebih banyak lagi pembicaraan serupa ini dan Hatim akan hidup sia-sia."
Pada saat itu Hatim al-Tha'i berdiri dan menemui pasangan itu. "Aku adalah Hatim al-Tha'i," katanya, "serahkanlah aku pada raja baru itu dan ambil uang hadiahmu."
Tukang kayu itu merasa malu, dan air matanya tumpah. "Tidak, Hatim yang Agung," katanya, "aku tidak mungkin tega menyerahkanmu."
Sementara mereka berbicara, sekelompok orang yang mencari raja dalam pelarian dan akan menangkapnya berada di dekat sana.
"Kalau kau tidak mau menyerahkanku," kata Hatim, "aku akan menyerahkan diriku pada raja dan mengaku bahwa kau telah membantuku bersembunyi. Dengan begitu, kau akan dihukum karena berkinianat."
Sekelompok orang tadi, yang mengenali Hatim, segera menangkapnya dan membawanya kepada raja lalim itu. Tukang kayu itu mengikuti dengan sedih di belakang.
Ketika mereka sampai di istana, masing-masing orang dalam kelompok tadi mengaku dirinya sebagai penangkap Hatim.
Bekas raja itu, yang membaca keraguan di wajah penggantinya, minta izin untuk berbicara, "Ketahuilah, wahai Raja, bahwa penjelasanku seharusnya juga didengarkan. Aku ditangkap oleh tukang kayu ini dan bukan oleh sekelompok orang itu. Karena itu, berilah kepada orang tua ini hadiahnya, dan lakukan apa yang kau mau atas aku ..."
Mendengar hal itu, si tukang kayu maju dan mengatakan kepada raja bahwa Hatim telah menyerahkan dirinya, bukan ditangkap; bahwa Hatim berkorban agar tukang kayu dan keluarganya memperoleh hadiah.
Raja baru itu sungguh takjub oleh cerita tersebut sehingga ia pun menarik mundur prajuritnya dan pulang ke negerinya sendiri. Tahta pun dikembalikan kepada Hatim Tai.
Ketika mendengar kisah ini, Raja Iran, yang melupakan ancamannya atas sang Darwis, berkata, "Suatu kisah yang bagus sekali, darwis, dan bisa dipetik manfaatnya. Kau mungkin tak bisa, sebab telah melepaskan semua kenikmatan hidup dan tak berhasrat memiliki apa pun lagi. Tetapi, aku seorang raja. Dan aku sangat kaya. Raja-raja Arab itu, yang hidup pada borok kadal, tak mungkin bisa menandingi Raja Persia dalam hal kedermawanan sejati. Hmm, aku punya ide! Mari kita kerjakan!"
Didampingi oleh sang darwis, Raja Iran mengumpulkan para ahli bangunan yang terbaik di suatu tanah lapang yang sangat luas. Ia pun menyuruh mereka merancang dan membangun sebuah istana megah berikut aula besar dengan empat puluh jendela di atas tanah luas itu.
Raja juga memerintahkan agar alat-alat transportasi segera dibuat dan istana itu dipenuhi dengan keping-keping emas. Ketika istana itu selesai dibangun, keluarlah pengumuman, "Dengarkanlah! Raja atas segala raja, Sumber Kedermawanan, telah menitahkan agar dibangun sebuah istana megah dengan empat puluh jendela. Setiap hari, dari jendela-jendela itulah nanti raja sendiri akan mendermakan emas kepada orang-orang miskin."
Demikianlah, setiap hari kerumunan ramai orang miskin datang ke istana tersebut.
Raja itu muncul setiap hari dari jendela yang berbeda dan memberikan satu keping emas kepada tiap orang.
Kemudian, raja menyadari bahwa ada seorang darwis yang setiap hari datang, meminta sekeping emas dan pergi. Mulanya raja berpikir, "Barangkali ia mengambil emas untuk diberikan kepada seorang yang membutuhkan."
Lalu, ketika dilihatnya darwis itu lagi, ia membatin, "Barangkali ia sedang melaksanakan amal tersembunyi sebagai prinsip para darwis, dan membawakan emas untuk orang lain."
Dan setiap hari ketika dilihatnya Darwis itu, ia menepis prasangka buruknya. Tetapi pada hari keempat puluh, habislah kesabarannya.
Raja menangkap tangan darwis itu, lalu berkata, "Dasar orang celaka yang tak tahu pamrih, tak sekalipun kau bilang terima kasih atau penghargaan kepadaku. Kau tidak senyum, tidak pula membungkuk, tetapi kembali kemari setiap hari. Akan berapa lama seperti ini? Apa kau mengambil pemberianku untuk memperkaya dirimu, atau kau pinjamkan emas itu dengan riba? Kelakuanmu sungguh tercela, tak seharusnya dilakukan oleh mereka yang mengenakan jubah tambal sulam terhormat para Darwis."
Segera sesudah makian tersebut keluar dari mulut raja, sang darwis membuang keempat puluh keping emas yang telah diterimanya.
Katanya kepada raja itu, "Ketahuilah, wahai Raja Iran, bahwa kedermawanan tidak mungkin ada tanpa tiga hal. Pertama, memberi tanpa perasaan ingin menjadi dermawan; kedua, kesabaran; ketiga, tidak menaruh prasangka."
Tetapi, raja itu tak pernah memahami. Baginya, kedermawanan ditentukan oleh pikiran orang lain tentang dirinya, dan oleh perasaannya tentang menjadi 'dermawan'.
Idries Shah mengomentari kisah ini mengatakan, keinginan menyamai tanpa adanya sifat-sifat dasar untuk menopangnya akan berakhir sia-sia. Kedermawanan tak bisa dilatih kecuali bila kebajikan lainnya telah dikembangkan.
Beberapa orang tidak mampu belajar bahkan dari ajaran-ajaran yang dibukakan, inilah yang digambarkan dalam kisah ini oleh darwis pertama dan kedua.
Kisah ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi".
Konon, seorang Raja Iran berkata kepada seorang darwis, "Ceritakan padaku sebuah kisah."
Darwis itu berkata, "Yang Mulia, saya akan ceritakan kisah Hatim al-Tha'i, Raja Arab dan manusia paling murah hati sepanjang masa; bila paduka dapat menyamai kemurahan hatinya, niscaya paduka akan menjadi raja teragung yang pernah ada."
"Ceritakanlah," kata sang raja. "Tetapi kalau kau tidak menghiburku dan merendahkan kemurahan hatiku, kau akan kehilangan kepalamu."
Raja itu berkata demikian sebab di Persia sudah biasa bahwa orang-orang di istana akan menyanjung-nyanjung raja sebagai orang paling agung di antara semua manusia; dulu, sekarang, atau besok.
"Saya lanjutkan," kata darwis itu dengan tenang (sebab para darwis tak mudah dibuat gentar). "Kemurahan hati Hatim al-Tha'i, dalam karakter maupun jiwa, melampaui semua manusia." Dan inilah kisah yang dituturkan darwis itu.
Seorang Raja Arab yang lain merasa iri atas kekayaan, desa dan oase, onta, serta prajurit yang dimiliki Hatim al-Tha'i. Orang ini pun menyatakan perang terhadap Hatim, mengutus suruhan dengan pesan: "Tunduklah padaku. Kalau tidak, aku akan melumat kau dan negerimu, dan merampas semua kepunyaanmu."
Ketika pesan itu sampai ke istana Hatim, para penasihatnya serta-merta menyarankan agar raja mengerahkan seluruh prajurit untuk mempertahankan kerajaan itu. Kata mereka, "Tak diragukan lagi bahwa lelaki dan perempuan bertubuh sehat di negeri ini akan dengan senang hati menyerahkan nyawa untuk membela raja yang mereka cintai."
Tetapi, Hatim, diluar dugaan para penasihat itu, berkata, "Tidak, dari pada kalian bertempur dan menumpahkan darahmu bagiku, lebih baik aku pergi meninggalkan negeri ini. Kiranya jauh dari jalan kemurahan hati bila aku menjadi sebab pengorbanan hidup seorang lelah atau perempuan."
"Kalau kalian menyerah tanpa perlawanan, raja ini hanya akan menuntut pengabdian dan pajak, dan kalian tidak akan menderita dibuatnya. Sebaliknya, kalau kalian melawan dan kalah, maka sesuai dengan kebiasaan perang ia akan merampas harta kalian, dan dengan begitu tak ada lagi sepeser pun milik kalian."
Tak lama kemudian, Hatim beserta seorang hamba yang gagah berani pergi ke dekat pegunungan, di mana ditemukannya sebuah gua. Di sana, ia membenamkan diri dalam perenungan.
Sebagian rakyat sangat terharu atas pengorbanan Hatim Tai yang merelakan kekayaan dan kedudukannya demi keselamatan mereka. Tetapi yang lain, terutama orang-orang yang senang mendapat nama dalam hal keberanian, menggerutu.
"Bagaimana Hatim tahu bahwa orang ini sebenarnya bukan seorang pengecut?"
Dan yang lain lagi, yang agak berani, berkata, "Ia tampaknya hendak menyelamatkan dirinya sendiri, sebab ia menyerahkan kita kepada nasib yang tak diketahui. Barangkali kita akan menjadi budak dari raja yang tidak kita kenal ini, raja lalim yang menyatakan perang atas negeri tetangga."
Yang lain tetap diam, sebab tak yakin apa yang mesti dipercayai hingga mereka memperoleh sejumlah pertimbangan untuk menyusun pikirannya.
Dan demikianlah raja lalim itu, beserta ribuan prajurit, merebut negeri Hatim. Raja itu tidak memungut pajak lebih tinggi dari pada yang dipungut Hatim. Tetapi, ada satu hal yang mengganggunya, yaitu bisik-bisik orang banyak bahwa negeri yang baru dimilikinya itu merupakan buah dari kemurahan hati Hatim al-Tha'i yang menyerahkan negeri itu kepadanya.
"Aku tidak dapat menjadi raja sejati atas negeri ini," pikir raja lalim itu, "sebelum aku menangkap Hatim Tai. Selama ia masih hidup, sebagian rakyat masih akan setia kepadanya. Mereka tidak akan sepenuhnya tunduk kepadaku, meskipun mulut mereka berkata begitu."
Raja itu pun mengumumkan bahwa barangsiapa yang menyerahkan Hatim al-Tha'i akan mendapat hadiah lima ribu keping emas.
Hatim al-Tha'i tidak mengetahui perihal maklumat tersebut sampai suatu hari ketika ia duduk di mulut gua dan mendengar percakapan antara tukang kayu dan istrinya.
Tukang kayu berkata, "Istriku sayang, sekarang aku sudah tua dan kau masih sangat muda. Kita memiliki anak yang masih kecil, dan dalam urutan alamiah peristiwa-peristiwa, sudah sewajarnya aku akan mati lebih dahulu darimu sementara anak kita masih belia. Seandainya kita bisa menemukan Hatim Tai dan menangkapnya, untuk memperoleh hadiah lima ribu keping emas dari raja, masa depan kalian tentu akan terjamin."
"Yang kau katakan itu memalukan!" sergah istrinya, "Lebih baik kau mati, dan aku serta anak kita kelaparan, dari pada tangan kita bernodakan darah orang yang paling murah hati sepanjang masa, yang mengorbankan segalanya bagi kebaikan kita."
"Begitu ya," kata orang tua itu, "Tetapi seorang lelaki harus memikirkan kepentingannya sendiri. Bagaimanapun aku punya tanggung jawab. Lagipula, dari hari ke hari semakin banyak orang yang menganggap Hatim itu pengecut. Hanya masalah waktu saja sebelum mereka mencari ke semua tempat persembunyian dan menangkapnya."
"Anggapan bahwa Hatim pengecut dilandasi oleh hasrat mendapat emas. Lebih banyak lagi pembicaraan serupa ini dan Hatim akan hidup sia-sia."
Pada saat itu Hatim al-Tha'i berdiri dan menemui pasangan itu. "Aku adalah Hatim al-Tha'i," katanya, "serahkanlah aku pada raja baru itu dan ambil uang hadiahmu."
Tukang kayu itu merasa malu, dan air matanya tumpah. "Tidak, Hatim yang Agung," katanya, "aku tidak mungkin tega menyerahkanmu."
Sementara mereka berbicara, sekelompok orang yang mencari raja dalam pelarian dan akan menangkapnya berada di dekat sana.
"Kalau kau tidak mau menyerahkanku," kata Hatim, "aku akan menyerahkan diriku pada raja dan mengaku bahwa kau telah membantuku bersembunyi. Dengan begitu, kau akan dihukum karena berkinianat."
Sekelompok orang tadi, yang mengenali Hatim, segera menangkapnya dan membawanya kepada raja lalim itu. Tukang kayu itu mengikuti dengan sedih di belakang.
Ketika mereka sampai di istana, masing-masing orang dalam kelompok tadi mengaku dirinya sebagai penangkap Hatim.
Bekas raja itu, yang membaca keraguan di wajah penggantinya, minta izin untuk berbicara, "Ketahuilah, wahai Raja, bahwa penjelasanku seharusnya juga didengarkan. Aku ditangkap oleh tukang kayu ini dan bukan oleh sekelompok orang itu. Karena itu, berilah kepada orang tua ini hadiahnya, dan lakukan apa yang kau mau atas aku ..."
Mendengar hal itu, si tukang kayu maju dan mengatakan kepada raja bahwa Hatim telah menyerahkan dirinya, bukan ditangkap; bahwa Hatim berkorban agar tukang kayu dan keluarganya memperoleh hadiah.
Raja baru itu sungguh takjub oleh cerita tersebut sehingga ia pun menarik mundur prajuritnya dan pulang ke negerinya sendiri. Tahta pun dikembalikan kepada Hatim Tai.
Ketika mendengar kisah ini, Raja Iran, yang melupakan ancamannya atas sang Darwis, berkata, "Suatu kisah yang bagus sekali, darwis, dan bisa dipetik manfaatnya. Kau mungkin tak bisa, sebab telah melepaskan semua kenikmatan hidup dan tak berhasrat memiliki apa pun lagi. Tetapi, aku seorang raja. Dan aku sangat kaya. Raja-raja Arab itu, yang hidup pada borok kadal, tak mungkin bisa menandingi Raja Persia dalam hal kedermawanan sejati. Hmm, aku punya ide! Mari kita kerjakan!"
Didampingi oleh sang darwis, Raja Iran mengumpulkan para ahli bangunan yang terbaik di suatu tanah lapang yang sangat luas. Ia pun menyuruh mereka merancang dan membangun sebuah istana megah berikut aula besar dengan empat puluh jendela di atas tanah luas itu.
Raja juga memerintahkan agar alat-alat transportasi segera dibuat dan istana itu dipenuhi dengan keping-keping emas. Ketika istana itu selesai dibangun, keluarlah pengumuman, "Dengarkanlah! Raja atas segala raja, Sumber Kedermawanan, telah menitahkan agar dibangun sebuah istana megah dengan empat puluh jendela. Setiap hari, dari jendela-jendela itulah nanti raja sendiri akan mendermakan emas kepada orang-orang miskin."
Demikianlah, setiap hari kerumunan ramai orang miskin datang ke istana tersebut.
Raja itu muncul setiap hari dari jendela yang berbeda dan memberikan satu keping emas kepada tiap orang.
Kemudian, raja menyadari bahwa ada seorang darwis yang setiap hari datang, meminta sekeping emas dan pergi. Mulanya raja berpikir, "Barangkali ia mengambil emas untuk diberikan kepada seorang yang membutuhkan."
Lalu, ketika dilihatnya darwis itu lagi, ia membatin, "Barangkali ia sedang melaksanakan amal tersembunyi sebagai prinsip para darwis, dan membawakan emas untuk orang lain."
Dan setiap hari ketika dilihatnya Darwis itu, ia menepis prasangka buruknya. Tetapi pada hari keempat puluh, habislah kesabarannya.
Raja menangkap tangan darwis itu, lalu berkata, "Dasar orang celaka yang tak tahu pamrih, tak sekalipun kau bilang terima kasih atau penghargaan kepadaku. Kau tidak senyum, tidak pula membungkuk, tetapi kembali kemari setiap hari. Akan berapa lama seperti ini? Apa kau mengambil pemberianku untuk memperkaya dirimu, atau kau pinjamkan emas itu dengan riba? Kelakuanmu sungguh tercela, tak seharusnya dilakukan oleh mereka yang mengenakan jubah tambal sulam terhormat para Darwis."
Segera sesudah makian tersebut keluar dari mulut raja, sang darwis membuang keempat puluh keping emas yang telah diterimanya.
Katanya kepada raja itu, "Ketahuilah, wahai Raja Iran, bahwa kedermawanan tidak mungkin ada tanpa tiga hal. Pertama, memberi tanpa perasaan ingin menjadi dermawan; kedua, kesabaran; ketiga, tidak menaruh prasangka."
Tetapi, raja itu tak pernah memahami. Baginya, kedermawanan ditentukan oleh pikiran orang lain tentang dirinya, dan oleh perasaannya tentang menjadi 'dermawan'.
Idries Shah mengomentari kisah ini mengatakan, keinginan menyamai tanpa adanya sifat-sifat dasar untuk menopangnya akan berakhir sia-sia. Kedermawanan tak bisa dilatih kecuali bila kebajikan lainnya telah dikembangkan.
Beberapa orang tidak mampu belajar bahkan dari ajaran-ajaran yang dibukakan, inilah yang digambarkan dalam kisah ini oleh darwis pertama dan kedua.
Kisah ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam bukunya berjudul "Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi".
(mhy)